Oleh Guntur Soekarno **)
Tanggal 17 Agustus 2021 kita akan merayakan HUT ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia. Selain merayakan, ada baiknya kita mengingat kembali perjuangan para pahlawan yang telah bertaruh nyawa demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Pejuang-pejuang kemerdekaan yang kebanyakan dikenal adalah dari kalangan generasi yang dewasa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta. Di kalangan generasi yang lebih muda dikenal nama-nama Sukarni, Sjahrir, Chairul Saleh, dan lain-lain, yang bersama generasi terdahulu bahu-membahu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Di kalangan generasi muda, yang istilah sekarang ini disebut generasi milenial, sebenarnya banyak nama yang bermunculan. Mereka bukan berasal dari tanah Jawa atau Sumatera saja, melainkan dari Kalimantan, Sulawesi, Ambon, bahkan Irian Barat (sekarang Papua).
Salah satunya adalah seorang pejuang remaja dari Sulawesi (Manado) yang bernama Robert Wolter Mongisidi, yang memiliki nama panggilan Bote. Saya banyak mendapatkan kisah heroik yang dilakukan oleh Robert Wolter Mongisidi dari seorang ajudan senior Bung Karno di tahun 1960-an yang kemudian menjadi Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa, Kolonel TNI Maulwi Saelan.
Mengenai kehebatan perjuangan Bote, Maulwi Saelan banyak mengetahui karena kedekatan keluarga Saelan dengan Wolter Mongisidi. Adik kandung Saelan, Emmy Saelan, yang seorang pejuang remaja wanita, merupakan sahabat akrab Wolter Mongisidi. Mereka berjuang bahu membahu melawan kaum kolonialis Belanda (NICA) di Makassar.
Untuk diketahui Wolter Mongisidi lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, pada 14 Februari 1925. Untuk melawan kolonialis Belanda, dia membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946 di Makassar. Sejak saat itu dia menjadi buron nomor 1 di daerah Sulawesi. Kolonialis Belanda benar-benar dibuat pusing atas ulah perjuangannya.
Mongisidi saat itu menjadi pejuang generasi muda di Sulawesi yang karismatik. Berkali-kali posisi strategis Belanda diserang pasukan LAPRIS sehingga kocar-kacir. Belanda kemudian membuat perangkap untuk menangkap Mongisidi agar perjuangannya padam.
Benar saja pada 28 Februari 1947 Mongisidi ditangkap Belanda dan dijatuhi hukuman penjara. Berkat kelihaiannya yang seperti belut, dia berhasil melarikan diri pada 27 Oktober 1947, dan melanjutkan perjuangan melawan kolonialis Belanda.
Peran Antek-antek Belanda
Sedemikian pusingnya kaum kolonialis Belanda, mereka menggunakan kalangan yang menjadi antek-antek NICA untuk menangkap kembali Bote. Seperti, misalnya, Chris Soumokil dan kawan-kawan.
Setelah bersusah payah selama sekitar 2 tahun, Belanda akhirnya kembali menangkap Mongisidi dan menjatuhkan hukuman mati. Eksekusi dilakukan pada 5 September 1949 di depan eksekutor tim penembak. Wolter Mongisidi gugur sebagai kusuma bangsa.
Menurut penuturan Saelan, ketika Bote menghadapi eksekutor, tampak sangat tenang dan berani menghadapi timah panas yang akan menghujam dadanya. Dia gugur dalam usia sangat muda, 24 tahun, di Pacimang, Makassar, Sulawesi Selatan.
Terus terang, saya terkagum mendengar penuturan Maulwi Saelan, karena secara detail mengingat tempat dan tanggal-tanggal kejadian. Hal itu, menurutnya, berkat kedekatan sang adik dengan Wolter Mongisidi.
Untuk diketahui, selain sebagai anggota TNI, Maulwi Saelan adalah juga seorang penjaga gawang andalan PSSI, yang pada babak penyisihan Olimpiade Melbourne, Australia, 1956 berhasil menahan kesebelasan Uni Soviet dengan skor 0-0. Satu prestasi yang membanggakan saat itu.
Penghargaan Pemerintah
Atas jasa-jasanya, Robert Wolter Mongisidi oleh pemerintah diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Di samping itu, juga mendapatkan bintang tertinggi RI, yaitu Bintang Maha Putra Adipradana. Namanya pun diabadikan sebagai nama kapal perang ALRI, KRI Wolter Mongisidi. Banyak kota di Tanah Air yang mengabadikan namanya sebagai nama jalan, yang merupakan bentuk penghargaan atas jasanya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI.
Suri teladan perjuangan Wolter Mongisidi hendaknya dapat menjadi inspirasi bagi generasi milenial saat ini sedemikian rupa, sehingga membuat NKRI dapat abadi. Sekali lagi, The man may be gone, but the legend lives on. “Manusianya boleh hilang, akan tetapi semangatnya akan tetap abadi.” (B-BS/jr)
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Minggu, 15 Agustus 2021 | 21:55 WIB, dengan judul asli “Bote, The Man May Be Gone, But The Legend Lives On”
**) Penulis adalah Putra Bung Karno, Pemerhati Masalah Sosial