BENDERRAnews.com, 20/4/21 (Jakarta): Hmmm…di tengah polemik proses penelitian vaksin Nusantara, Kementerian Kesehatan, TNI, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan menyepakati, vaksin yang menggunakan metode sel dendritik tidak memerlukan izin edar.
Seperti diketahui, Vaksin Nusantara yang diinisiasi mantan Menkes Terawan Agus Putranto merupakan vaksin Covid-19 dengan menggunakan metoda sel dendritik.
Sel dendritik atau sel pertahanan diambil dari darah responden. Melalui uji lab, sel dendritik ini kemudian dipertemukan dengan rekombinan antigen Covid-19. Tujuannya agar sel dendritik mengenali “calon lawan” yakni virus SARS-CoV-2.
Sesudah kenal dengan virus corona, sel dendritik akan disuntikkan kembali ke tubuh responden yang sama dalam bentuk vaksin. Vaksin jenis ini diklaim aman bagi semua usia dan bahkan mereka yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid sebab vaksin yang dsuntikkan berasal dari darahnya sendiri.
Namun, tahapan penelitian uji klinik fase II vaksin Nusantara belum juga mendapatkan izin dari BPOM sebagai otoritas perizinan di Indonesia. Pasalnya uji klinik fase I dinilai tidak memenuhi sejumlah standar penelitian dan keamanan.
Selama ini selain pengawasan penelitian dan izin penggunaan, BPOM merupakan lembaga yang berwenang memberikan izin edar.
Kesepahaman penelitian
Sementara itu, Nota Kesepahaman terkait penelitian vaksin berbasis sel dendritik ini ditandatangani oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kepala BPOM Penny K Lukito di Markas Besar TNI AD, Jakarta, Senin (19/4/201).
Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy.
Judul kesepahaman tersebut ialah Nota Kesepahaman “Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas Terhadap Virus SARS-CoV-2”.
Disebutkan dalam siaran pers Pusat Penerangan TNI AD, penelitian vaksin menggunakan sel dendritik ini akan dilakukan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.
Penelitian berpedoman pada kaidah penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
Tak perlu izin
Penelitian juga bersifat autologus, yang hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri, sehingga tidak dapat dikomersialkan. Juga tidak diperlukan persetujuan izin edar.
Dijelaskan pula, penelitian yang dimaksud dalam nota kesepahaman ini bukanlah kelanjutan dari proses penelitian vaksin Nusantara.
Hal ini tertuang dalam pernyataan, penelitian ini bukan merupakan kelanjutan dari “Uji Klinis Adaptif Fase 1 Vaksin Berasal dari Sel Dendritik Autolog dimana Sebelumnya Diinkubasi dengan Spike Protein Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus-2 (SARS-CoV-2) pada Subjek yang Tidak Terinfeksi Covid-19 dan Tidak Terdapat Antibodi Anti SARS-CoV-2”.
Uji klinik fase I program Vaksin Nusantara, dalam siaran pers itu disebutkan, masih harus merespons beberapa temuan BPOM yang bersifat critical and major.
Seperti diberitakan, BPOM sampai saat ini belum mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) untuk uji klinik fase II vaksin Nusantara.
Dalam beberapa kesempatan Kepala BPOM Penny K Lukito menyebutkan, Vaksin Nusantara belum memenuhi Cara Pengolahan Yang Baik (Good Manufacturing Practices/GMP), Praktik Laboratorium yang Baik (Good Laboratory Practice/GLP), dan konsepnya belum jelas apakah terapi atau vaksin.
BPOM menyebut Vaksin Nusantara tidak lolos tahap uji klinik fase I. Penny mempersilakan tim peneliti vaksin Nusantara melakukan perbaikan terkait prosedur dan kaidah agar bisa memenuhi persetujuan uji klinik fase I.
TNI punya mekanisme kerjasama
Sementara itu, Puspen TNI menggelar konferensi pers terkait vaksin Nusantara di Balai Wartawan Puspen TNI Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (19/4/21).
Disebutkan dalam konferensi pers tersebut, program Vaksin Nusantara bukan program dari TNI.
Namun demikian, sesuai dengan sikap pemerintah terkait berbagai bentuk inovasi dalam negeri seperti vaksin dan obat-obatan untuk penanggulangan Covid-19, TNI akan selalu mendukungnya dengan catatan telah memenuhi kriteria dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh BPOM.
Hal tersebut disampaikan Kapuspen TNI, Mayjen TNI Achmad Riad.
Turut mendampingi Achmad Riad antara lain Kepala Pusat Kesehatan TNI Mayjen TNI Tugas Ratmono, Wakil Kepala RSPAD Gatot Soebroto Mayjen TNI Lukman Ma’ruf, Direktur Yankes RSPAD Brigjen TNI Nyoto Widyoastoro, Wakapuskesad Brigjen TNI Agung Hermawanto.
Konferensi pers terkait vaksin Nusantara, di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (19/4/21).
Kapuspen TNI menjelaskan, terkait berbagai bentuk inovasi tersebut, ada tiga kriteria dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh BPOM harus dipenuhi, yaitu keamanan, etifikasi dan kelayakannya.
Selain itu juga perlu pengurusan perizinan kerja sama antara TNI dengan berbagai pihak dan penggunaan fasilitas kesehatan dan tenaga ahli kesehatan atau peneliti.
“Mekanisme kerja sama akan diatur sebagai dasar hukum atau legal standing dan tanpa mengganggu tugas-tugas kedinasan atau tugas pokok satuan,” ujar Achmad Riad.
Achmad Riad mengatakan, TNI telah berkomitmen untuk mendukung program Pemerintah dalam penanganan Covid-19 dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki baik Personel TNI maupun Alutsista dan prasarana lainnya seperti pemanfaatan Rumah Sakit TNI di seluruh Indonesia, sebagai vaksinator dan tracer.
Pada kesempatan sama, Tugas Ratmono menyampaikan, TNI dalam inovasi vaksin betul-betul memberikan dukungan dan tentunya harus menjunjung tinggi kaidah keilmuan yang baik dan tahapan-tahapan dari suatu inovasi termasuk dalam tahapan penelitian.
Kapuspen TNI Mayjen TNI Achmad Riad (tengah) didampingi Kapuskes TNI Mayjen TNI Tugas Ratmono (kanan) dan Wakil Kepala RSPAD Gatot Subroto Mayjen TNI Lukman Maruf (kiri).
“Kesehatan TNI mempunyai aturan dalam hal kerja sama antara lingkup nasional maupun internasional dan ini sudah tertuang di suatu keputusan Panglima TNI,” ujarnya.
Kerja sama, katanya, bisa dilakukan sesuai dengan fase-fase dari suatu penelitian. “Kalau kita lihat penelitian ini terutama dalam uji klinik ada beberapa fase mulai dari fase 1, 2, 3 dan 4 di mana fase-fase tertentu bisa dilakukan dengan suatu multicenter study,” kata Tugas Ratmono. (B-BSjr)