Oleh Guntur Soekarno**)
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh berita tentang perlakuan panitia turnamen bulutangkis All England di Inggris yang melarang tim bulutangkis Indonesia untuk melanjutkan pertandingan. Adapun alasan pelarangan untuk turun gelanggang sangat tidak masuk akal dan diskriminatif alias pilih kasih. Tim Indonesia dianggap tidak “bersih lingkungan” karena adanya penumpang yang kedapatan terinfeksi Covid-19 dalam pesawat yang ditumpangi para pebulu tangkis kita saat menuju Inggris. Konsekuensinya, seluruh tim diharuskan menjalani karantina sehingga tidak bisa melanjutkan turnamen.
Segala usaha sudah dilakukan oleh pihak terkait seperti tim manager, pengurus pusat PBSI, serta KONI. Namun usaha-usaha masif tadi tidak juga berhasil.
Jadi apa sebenarnya yang terjadi terhadap tim bulutangkis All England Indonesia? Bergantung dari mana kita meninjaunya.
Kalangan kaum patriotik Indonesia pasti meninjaunya dari sudut ajaran dan pikiran Bung Karno, khususnya dalam bidang olahraga. Salah satu ajaran dan pemikiran Bung Karno adalah bahwa olahraga tidak dapat dipisahkan dari politik.
Hal ini terbukti ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962 di Jakarta. Indonesia tidak mengundang Taiwan dan Israel, karena saat itu tidak mengakui berdirinya Negara Taiwan dan Israel, hanya mengakui RRT dan Palestina.
Hal itu jelas menjadi haluan politik luar negeri kita saat itu, sehingga kita berani menentang keputusan Federasi Asian Games yang tidak mengakui hasil-hasil Asian Games Jakarta. Bahkan Indonesia dikenai skorsing. Namun dengan kepiawaian diplomasi luar negeri, akhirnya Asian Games Jakarta diakui resmi oleh dunia Internasional, Asia pada khususnya. Jasa Menteri Olahraga saat itu, Maladi, sangat besar dalam peristiwa tersebut.
Korban Neokolonialisme
Saat ini banyak kalangan, seperti pakar olahraga termasuk juga para akademisi kita yang tidak setuju dengan teori olahraga di dunia tidak dapat dipisahkan dari masalah politik. Jadi olahraga haruslah benar-benar murni masalah prestasi dan jangan dicampuri oleh urusan-urusan politik.
Pendapat ini memang saya akui sangat ideal. Tetapi bila kita berpijak pada kenyataan di lapangan, rasanya sulit memisahkan olahraga dari politik. Sebab, politik dibolak-balik adalah “machtsvorming” dan “machtsaanwending”. Politik adalah penyusunan kekuatan atau kekuasaan, yang bila telah tersusun digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, termasuk tujuan di bidang olahraga.
Oleh sebab itu Indonesia di tahun 1960-an berani melawan Komite Olimpiade Internasional (International Olympic Committee/IOC) dengan mengadakan pesta olah raga dunia yaitu Games of The New Emerging Forces (Ganefo) sebagai tandingan olimpiade versi IOC, yang dianggap pro kepada Oldefos (=Old Established Forces).
Agar dimengerti bahwa neokolonialisme atau kolonialisme tipe baru saat ini belum mati. Menurut Bung Karno, neokolonialisme not yet death akan tetapi dying (mau mati atau sekarat).
Jadi dengan adanya kasus All-England, apa yang harus kita atau pemerintah kerjakan? Dari kalangan dunia bulutangkis ada yang menyarankan agar kita melakukan aksi boikot. Tim Indonesia akan absen dalam turnamen All-England yang akan datang, namun tetap mengikuti turnamen-turnamen yang lain dengan sasaran utama Olimpiade Tokyo yang akan datang.
Pertanyaannya adalah apakah langkah itu berdampak positif bagi dunia bulutangkis kita?
Jalan yang terbaik menurut hemat saya adalah pemerintah pusat mengambil alih semua persoalan-persoalan yang timbul akibat peristiwa All-England dan melakukan protes keras melalui jalan diplomasi antarpemerintah (G to G), serta mendesak agar pemerintah Inggris mengajukan permohonan maaf secara terbuka dan berjanji peristiwa tersebut tidak akan terulang lagi. Bila pemerintah Inggris bersedia memenuhi tuntutan kita maka Indonesia akan menyatakan rasa terima kasihnya yang tulus secara terbuka pula.
Akan tetapi sebaliknya, bila protes kita ditolak, ada baiknya hubungan diplomatik dengan Inggris kalau perlu kita tinjau kembali. Hal ini terpaksa kita lakukan karena dari pengalaman-pengalaman sejarah yang lalu saat melawan neokolonialisme tidak dapat dilakukan secara setengah-setengah melainkan harus tegas dan keras tanpa kompromi.
Hal yang sangat harus dipertimbangkan adalah justru apakah tokoh-tokoh dan pakar-pakar olahraga kita setuju dengan hal tersebut? Mudah-mudahan mereka dapat memahami pendirian tersebut dan tidak membuat pernyataan-pernyataan terbuka yang bertentangan dengan adanya proses pengambilalihan masalah oleh pemerintah pusat. Harus diakui bahwa tindakan tersebut adalah sebuah tindakan yang tidak popular bahkan dapat menimbulkan kontroversi, akan tetapi mau apa lagi?
Pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa perjuangan melawan neokolonialisme tidak dapat dilakukan dengan cara-cara persuasif kompromistis. Dan yang terpenting adalah bagaimana caranya agar para pebulutangkis kita tidak patah semangat untuk dapat tetap bertanding dengan percaya diri di kejuaraan-kejuaraan yang lainnya termasuk di Olimpiade Tokyo. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan untuk Menpora, Menlu bahkan Presiden sekalipun.
Namun, apapun yang terjadi Indonesia harus onward. No retreat! (B-BS/jr)
_________
*) Disadur dari BeritaSaru.com, Edisi Selasa, 13 April 2021 | 19:23 WIB, dengan judul asli: “Neokolonialisme di Dunia Bulutangkis”
**) Penulis adalah Pemerhati masalah sosial, putra sulung Bung Karno