Oleh Guntur Soekarno**)
Sejumlah kota besar di Indonesia, di antaranya Jakarta Raya, bila musim hujan tiba hampir pasti di beberapa lokasinya akan terendam hantu banjir. Baik hantu banjir kecil-kecilan maupun hantu banjir besar yang tingginya dapat mencapai 2-3 meter.
Jangankan saat ini, di tahun 1950-an pun hantu banjir sudah melanda beberapa kawasan, termasuk tidak tanggung-tanggung kawasan Istana Merdeka di sayap kanannya (sekarang kawasan Masjid Baiturrahim). Di tempat itu banjir dapat mencapai selutut orang dewasa.
Padahal pada era tersebut, situ-situ yang mengelilingi Jakarta masih dalam keadaan berfungsi baik sebagai tempat penampungan air hujan. Sederas-derasnya hujan turun setiap hari di musim hujan, Sungai Ciliwung di depan Istana Negara tidak pernah banjir. Bahkan di kala itu buaya-buaya sering datang sebagai tamu yang tidak diundang.
Genangan air di kawasan kanan Istana Merdeka mulai hilang setelah pembangunan Masjid Baiturrahim dimulai. Bung Karno ketika itu menginstruksikan kepada bagian pembangunan Istana agar memperbaiki seluruh saluran air di kawasan Istana Merdeka dan Istana Negara, antara lain dengan membuat saluran terowongan air yang menembus halaman depan Istana Merdeka sampai kali Ciliwung yang melintas di samping kanan depan Istana Merdeka, sehingga air hujan tidak lagi menggenangi kawasan yang akan dibangun masjid.
Perlu diketahui Masjid Baiturrahim saat itu adalah satu-satunya masjid di Indonesia yang kubahnya terbuat dari beton. Masjid-masjid yang lain masih berkubah logam atau aluminium. Perhitungan kubah beton tadi dilakukan oleh Bung Karno sebagai insinyur sipil dan Sudarsono sebagai arsitek.
Pada tahun 1960-an boleh dikatakan Jakarta masih bebas hantu banjir. Hal ini antara lain karena adanya instruksi Bung Karno kepada Gubernur Henk Ngantung berupa sebuah surat tertanggal 11 Februari 1959, yang isinya dengan meminjam istilah dari Judi Latif (pakar aliansi kebangsaan) yaitu “Jiwa Kota” yang berisi 5P. Setiap kota apalagi kota besar seperti Jakarta, dalam perkembangannya harus memenuhi syarat 5P agar rakyat kota dapat hidup dengan nikmat. Adapun 5P tersebut adalah perut, pakaian, perumahan, pergaulan, dan pengetahuan.
Kelima syarat tersebut adalah kebutuhan mutlak bagi rakyat dalam suatu kota. Dalam poin ke-4 dan ke-5 termasuk pula di dalamnya “pembudayaan” yang membuat kebahagiaan hidup bagi rakyat. Jadi menurut Bung Karno harus meliputi juga keindahan, taman-taman yang indah, kota-kota yang cantik, desa-desa yang menentramkan jiwa, di samping itu penting adanya city planning (tata kota) dari sebuah kota (Sukarno; Bung Karno dan Seni).
Jadi sebenarnya jauh-jauh hari sebelum ibu kota Jakarta terkena penyakit tahunan hantu banjir, Bung Karno telah meletakkan dasar-dasar pokok bagi para gubernurnya dalam mengelola tata kota dan organisasi pemerintahan, agar dapat memenuhi kebutuhan mutlak dari penduduk ibu kota sehingga mereka merasakan adanya kenyamanan hidup di Jakarta. Dengan kata lain, syarat 5P tadi adalah merupakan jiwa pokok dari kebutuhan rakyat ibu kota.
Tolok Ukur
Dengan adanya 5P tersebut, kita akan secara mudah mengukur kinerja seorang gubernur memimpin Jakarta. Sebagai contoh Gubernur Henk Ngantung yang latar belakangnya adalah seorang seniman. Hal tersebut karena Bung Karno berpendapat seorang Gubernur DKI selain harus dapat merealisasikan ke 5P tadi juga harus dapat memberikan sentuhan keindahan pada Ibu Kota Republik Indonesia ini, seperti adanya patung-patung yang menggetarkan hati, taman-taman indah yang menenteramkan jiwa, bahkan adanya sungai-sungai, situ-situ dan waduk-waduk yang airnya bening dan bersih, sehingga membuat rasa nyaman bagi yang melihatnya.
Jadi seorang gubernur yang tidak berhasil melaksanakan 5P tadi, plus sentuhan keindahan berarti yang bersangkutan belumlah menjadi seorang gubernur yang paripurna. Pendek kata seorang pemimpin ibu kota yang belum dapat diberi acungan jempol.
Banyak kalangan menilai bahwa Gubernur Ali Sadikin atau dikenal secara akrab sebagai Bang Ali merupakan gubernur yang paling sukses memimpin Jakarta. Benarkah demikian? Untuk diketahui Ali Sadikin diangkat oleh Bung Karno selain karena cerdas dan jujur, juga karena koppig atau keras kepala.
Bung Karno saat itu menilai DKI memerlukan seorang gubernur yang keras kepala. Ternyata dalam kenyataannya memang Ali Sadikin berhasil mengubah Kota Jakarta yang semula, katakanlah, kurang bergengsi, menjadi sebuah kota metropolitan yang modern dan memenuhi syarat 5P. Di samping itu berhasil pula menekan sekecil-kecilnya hantu banjir di Ibu Kota. Seluruh saluran air, selokan di gang-gang kecil di seluruh Jakarta dibersihkan melalui proyek Mohamad Husni Thamrin (MHT), sehingga hantu banjir tahunan dapat diminimalisasi semaksimal mungkin.
Gubernur-gubernur lainnya yang dianggap berhasil membangun Jakarta adalah Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok, dengan program pembersihan daerah aliran sungai dari bangunan-bangunan liar, kemudian pembersihan seluruh selokan di seluruh kawasan DKI yang dilakukan oleh pasukan oranye. Hantu banjir tahunan pun dapat ditekan seminimal mungkin. Sayang gubernur yang satu ini terpaksa harus masuk tahanan oleh karena hal yang menurut saya tidak masuk di akal.
Setelah Ahok harus “bertapa” selama 2 tahun, gubernur-gubernur berikutnya masih tetap dipusingkan oleh adanya hantu banjir tahunan yang membuat beberapa kawasan Jakarta selalu terendam banjir. Di era Fauzi Bowo, bila tidak salah, pernah dibuat masterplan penanggulangan hantu banjir di Jakarta bila musim hujan tiba.
Apalagi menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) curah hujan awal tahun ini lebih lebat dibandingkan tahun lalu. Perkiraan BMKG tersebut terbukti dengan adanya banjir besar yang menimpa Jakarta beberapa minggu yang. Misalnya, di daerah Kemang, Bangka, air mencapai ketinggian 2-3 meter. Begitu pula di daerah Kebayoran Lama, Kebon Jeruk, Angke, Cempaka Putih dan lain-lain. Pendek kata banyak kawasan DKI terendam banjir!
Beberapa daerah yang biasanya tidak pernah mengalami serangan hantu banjir kini ikut terendam. Secara logika walaupun ada kenaikan curah hujan yang cukup signifikan akan tetapi bila masterplan penanggulangan banjir tadi ada dan dilaksanakan, sebenarnya serangan banjir tidak akan separah beberapa minggu yang lalu. Nyatanya tidak demikian.
Logislah bila Pemprov DKI Jakarta mendapat sorotan dari publik mengenai masalah banjir tersebut. Satu hal yang pasti dengan kondisi hantu banjir yang separah beberapa minggu yang lalu, mustahil syarat absolut 5P dari Bung Karno tersebut dilaksanakan. Atau mungkin Pemprov DKI saat ini merasa tidak perlu menerapkan syarat absolut 5P dari Bung Karno atau masterplan penanggulangan banjir?
Terus terang saya tidak akan menebak-nebak apakah yang sebenarnya terjadi. Biarlah masyarakat yang menarik kesimpulannya!
_______
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Sabtu, 27 Maret 2021 | 22:17 WIB, dengan judul asli “Hantu Banjir Tahunan”
**) Penulis Pemerhati masalah sosial, pernah jadi aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), putra sulung Presiden I RI Bung Karno