Oleh Theo L Sambuaga**)
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa kelahiran UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua didorong oleh gerakan reformasi tahun 1998. Gerakan itu bermuara pada Sidang Umum MPR RI pada Oktober 1999 yang antara lain menghasilkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) versi reformasi.
Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, pada Bab IV Arah Kebijakan, huruf G tentang Pembangunan Daerah, antara lain secara khusus mengatur tentang Irian Jaya (sebelum berganti nama menjadi Papua). Di dalamnya ditegaskan dua kebijakan, yaitu, pertama, Mempertahankan integrasi bangsa di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan undang-undang. Kedua, menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat.
Komitmen terhadap reformasi dan dua arah kebijakan tersebut menjadi dasar lahirnya undang-undang yang memberikan status otonomi khusus (otsus) bagi Papua yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 21 November 2001. Pada bagian pertama, mengembalikan nama Papua menggantikan Irian Jaya. UU tersebut menegaskan bahwa pemberlakuan “kebijakan khusus dalam kerangka NKRI bagi Provinsi Papua dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua.”
UU tersebut memberlakukan otsus dengan pertimbangan dan latar belakang bahwa sebelumnya, penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi masyarakat Papua.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa pemberlakuan otsus “didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan HAM, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli.”
Status Otsus
Setelah berlaku selama 20 tahun, termasuk diterbitkannya UU Nomor 35 Tahun 2008 sebagai perubahan pertama atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang menetapkan pemberlakuan Otonomi Khusus juga bagi Provinsi Papua Barat, pemerintah telah menyampaikan usul perubahan UU Otonomi Khusus tersebut kepada DPR untuk dibahas bersama. Usul perubahan dari pemerintah terutama menyangkut pasal-pasal mengenai keuangan porsi APBN, seperti Dana Otsus sebesar 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) bagi provinsi Papua dan Papua Barat yang berakhir sesudah 20 tahun.
Tetapi reaksi publik yang beredar mulai dari perpanjangan Otsus, perubahan secara menyeluruh sampai pada pengakhiran Otsus. Mengenai soal perpanjangan sudah jelas bahwa di UU Otsus tidak diatur tentang akhir masa berlakunya. Ini berarti UU Otsus bagi Papua tersebut berakhir apabila pemerintah dan DPR mengambil keputusan politik seperti itu.
Hal inilah yang sejak lama dengan segala alasan dan cara dituntut oleh pihak-pihak yang masih memperjuangkan pemisahan Papua dari NKRI. Tuntutan seperti tidak perlu dilayani karena di samping tidak sesuai dengan keberadaan UU Otsus itu sendiri, juga secara prinsip bertentangan dengan kenyataan sejarah, de facto dan de jure bahwa Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) telah menjadi bagian integral NKRI.
Kemajuan Pembangunan
Selama 20 tahun berlakunya Otsus, pembangunan masyarakat dan daerah Provinsi Papua dan Papua Barat telah menunjukkan berbagai kemajuan, terutama dalam bidang ekonomi dan infrastruktur. Dukungan dana pemerintah pusat sebesar Rp 137 triliun yang terdiri dari dana Otsus Rp 94 triliun dan dana tambahan infrastruktur Rp 43 triliun, memungkinkan terselenggaranya pembangunan di Provinsi Papua dengan 29 kabupaten/kota, serta Provinsi Papua Barat dengan 13 kabupaten/kota.
Tetapi di sisi lain, harus pula diakui bahwa kemajuan yang dicapai masih jauh dari yang diharapkan. Malahan di beberapa sektor atau bidang terjadi penurunan. Hal ini jika dibandingkan dengan perhatian besar pemerintah pusat dan dukungan dana yang dikucurkan.
Oleh karena itu DPR RI dan pemerintah yang saat ini sedang membahas perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua, perlu mendengar masukan dari masyarakat dengan mempertimbangkan sejumlah hal.
Pertama, agar Dana Otsus 2% dari DAU nasional yang menurut ketentuan UU No 21/2001 berlaku 20 tahun, supaya diperpanjang 20 tahun lagi. Sedangkan ketentuan Pasal 34 ayat 3 huruf b tentang Dana Bagi Hasil dalam rangka Otsus yang menetapkan bahwa sesudah 25 tahun berlakunya UU, porsi Provinsi Papua dan Papua Barat serta kabupaten/kota untuk sumber daya minyak bumi 70% dan untuk pertambangan gas alam 70%, diturunkan menjadi masing-masing 50%, supaya diubah menjadi sesudah 40 tahun.
Kesehatan dan Pendidikan
Selanjutnya, kedua, perlu digenjot pembangunan bidang kesehatan dan pendidikan yang masih sangat tertinggal dibandingkan daerah lain. Pendidikan dan kesehatan merupakan faktor utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna mengawal proses pembangunan dalam segala bidang.
Pembangunan kesehatan dan pendidikan harus menjangkau sampai ke kampung- kampung pelosok wilayah Papua yang sangat luas. Oleh karena itu pembangunan infrastruktur transportasi harus memprioritaskan jalan darat dan laut yang dapat menjangkau kampung di pelosok sehingga masyarakatnya tidak terisolasi lagi.
Dengan pendidikan dan latihan yang memadai, perlu ditingkatkan pembangunan usaha mikro dan kecil serta birokrasi distrik, kota, kabupaten khususnya bagi pelaku dari kalangan penduduk asli. Jangan terjebak pada stigma bahwa penduduk asli Papua tidak bisa bekerja di pemerintahan dan bisnis. Justru dengan pendidikan dan kesehatan, prestasi harus diraih setinggi-tingginya di lapangan pengabdian manapun.
Sejalan dengan tujuan otonomi khusus. pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat perlu berjalan seiring dengan upaya membangun kehidupan bersama masyarakat yang rukun, harmonis, tertib, dan produktif berdasarkan hukum, keamanan, serta penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.
Oleh karena itu proses pembangunan harus terbuka terhadap saran, masukan dan kritik dari berbagai kalangan. Semuanya itu akan bermanfaat bagi upaya membangun Papua dan masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan daerah. Hal ini dilakukan bersama dengan seluruh masyarakat dari daerah lain dalam bingkai nusantara dan rumah NKRI yang maju dan berjaya. ***
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Rabu, 27 Januari 2021 | 07:30 WIB
**) Penulis adalah Ketua Dewan Redaksi Suara Pembaruan