BENDERRAnews.com, 16/11/20 (Jakarta): Saat ini ada kekhawatiran para pengamat dari Republik Rakyat Tiongkok terkait Michèle Angélique Flournoy, bakal calon potensial kepala Pentagon atau Menteri Pertahanan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan presiden terpilih Joe Biden.
Pasalnya, Flournoy, yang sebelumnya merupakan Wakil Menteri Pertahanan dalam Pemerintahan Presiden ke-44 Barack Obama, menyarankan pasukan AS harus ditempatkan di Laut Tiongkok Selatan (LTS) untuk mencegah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) semakin mengklaim perairan tersebut.
LTS merupakan perairan penuh sengketa beberapa negara Asia, dan juga menjadi pusat keterlibatan AS di Indo-Pasifik, dengan staf senior Presiden ke-45 Donald Trump dan pejabat RRT memperdebatkan klaim kedaulatan di wilayah tersebut.
Dalam tulisannya di jurnal Foreign Affairs pada awal 2020, Flournoy menyerukan peningkatan kehadiran angkatan laut AS di LTS. Dia mengatakan, Washington kehilangan kemampuan untuk melawan agresi militer Beijing di perairan yang disengketakan tersebut.
“Misalnya, jika militer AS memiliki kemampuan untuk secara kredibel mengancam untuk menenggelamkan semua kapal militer, kapal selam, dan kapal dagang Tiongkok di LTS dalam waktu 72 jam, para pemimpin RRT mungkin berpikir dua kali sebelum, katakanlah, meluncurkan sebuah blokade atau invasi Taiwan; mereka harus bertanya-tanya apakah layak mempertaruhkan seluruh armada mereka,” tulis Flournoy, dikutip dari Express UK.
Perempuan kelahiran 14 Desember 1960 ini juga belum lama ini menegaskan kembali sikap anti-Tiomgkok dan keinginannya untuk pertahanan Amerika yang lebih kuat di Indo-Pasifik.
“Kita harus memiliki keunggulan yang cukup, yang pertama dan terpenting kita dapat mencegah Tiongkok menyerang atau membahayakan kepentingan vital kita dan sekutu kita. Itu berarti tekad,” kata Flournoy dalam sebuah wawancara dengan Defense News.
Namun Flournoy itu juga menginginkan perubahan dari pandangan pemerintahan Trump tentang Tiongkok selama ini, dan menyatakan keinginan untuk beberapa kerja sama antara Beijing dan Washington.
“Ada serangkaian ancaman, apakah itu mencegah pandemi berikutnya, atau menangani perubahan iklim, atau berurusan dengan proliferasi nuklir Korea Utara di mana, suka atau tidak, kita harus berurusan dengan China sebagai mitra atau kita tidak bisa menyelesaikan masalah,” tambahnya.
Tiongkok siap membalas
Para pengamat Tiongkok menolak proposal Flournoy untuk kehadiran besar Angkatan Laut AS di LTS, mengatakan RRT siap untuk membalas jika Amerika Serikat (AS) secara besar-besaran meningkatkan kehadirannya di perairan tersebut.
“Ancaman seperti itu hampir tidak dapat bekerja, karena PLA telah dan selalu memperhitungkan campur tangan Amerika secara langsung ketika merencanakan operasi militer di Taiwan,” kata Wu Xinbo, direktur Pusat Studi Amerika Universitas Fudan kepada South China Morning Post (SCMP).
Collin Koh, peneliti dari S Rajaratnam School of International Studies di Nanyang Technological University Singapura, juga mencatat Flournoy dan sikap administrasi Biden terhadap Tiongkok.
“Terlepas dari siapa yang ada di Gedung Putih, kemampuan untuk mempertahankan pencegahan yang kredibel dan jika perlu, mengalahkan agresi (Tentara Pembebasan Rakyat/PLA) terhadap Taiwan sesuai dengan Undang-Undang Hubungan Taiwan, akan dipandang sebagai pemberian,” tambah Koh.
Biden: Xi Jinping ‘preman’
Sesudah mengalahkan Trump dalam pemilihan AS, Biden telah menjelaskan, dia akan tegas pada Tiongkok dengan cara yang sama seperti pendahulunya.
Selama kampanye, Biden mengecam Presiden RRT, Xi Jinping sebagai “preman” dan berjanji untuk memimpin kampanye internasional guna “menekan, mengisolasi, dan menghukum Tiongkok”.
Biden juga bersikap tegas dalam penilaiannya terhadap penahanan dan perlakuan Tiongkok terhadap Muslim Uighur, yang dianggap sebagai kegiatan genosida.
Tapi Biden juga diharapkan mengejar kepentingan nasional AS dan berkolaborasi dengan RRT dalam kebijakan perubahan iklim. Demikian CNBC Indonesia.
Pilpres AS dan kesamaannya dengan di Indonesia
Sementara itu, dari Deleware, Kompas.com mengutip kata-kata andalan Donald Trump ketika masih menjadi pembawa acara realitas The Apprentice: “You are fired!”
Hmm….kini kata-kata itu digunakan sebagian pemilih Amerika Serikat kepada sang presiden, sehingga ia tercatat sebagai salah satu dari sembilan petahana yang ditolak rakyat untuk menjabat pada periode kedua.
Sebagai catatan penting, di AS tidak ada lembaga semacam KPU. Karena itu, dari Pilpres ke Pilpres, publik hanya percaya hasil reportase media dalam alam demokrasi tertua di dunia. Dari waktu ke waktu, pihak yang kalah dalam Pilpres pun segera memberi selamat kepada pemenang, seperti dilakukan Hillary Clinton kepada Donald Trump, 2016 lalu. Trump juga hanya mendasarkan pada pemberitaan media, ketika dirinya menyatakan kemenangan waktu itu.
Namun, memang, kepergian Trump pada tanggal 20 Januari 2021 nanti, jika transisi kekuasaan berjalan lancar sesuai jadwal, bisa saja akan meninggalkan banyak tantangan bagi penerusnya, Joe Biden dari Partai Demokrat.
Pasalnya, masyarakat AS mengalami perpecahan yang semakin tajam, terutama sesudah peristiwa kematian warga kulit hitam, George Floyd, di tangan polisi dan masa kampanye sengit untuk memperebutkan tiket ke Gedung Putih.
Baca juga: Jajak Pendapat: 80 Persen Rakyat AS Setuju Joe Biden Menang Pilpres
Ya, hingga kini Presiden Donald Trump dari Partai Republik belum mengakui kekalahan dan justru bertekad melayangkan gugatan hukum terkait proses pemilihan presiden. Sikap seperti itu jelas dikhawatirkan akan semakin memupuk keretakan sosial.
“Meskipun Donald Trump sekarang masih presiden, dia sebentar lagi harus menyerahkan posisinya ke Joe Biden, tetapi dia tidak mau. Dan kalau dia tidak mau, pendukungnya juga tidak mau. Pendukungnya mengira posisinya dia (Trump) diambil darinya secara tidak adil. Nah, mana mungkin hal seperti itu dipulihkan oleh Joe Biden ini,” kata Lindy Backues, guru besar di Eastern University, Philadelphia.
Lindy Backues, yang pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun, menyandingkan kondisi di AS saat ini mirip dengan hajatan politik di Indonesia pada 2019 lalu. Prabowo Subianto, yang saat itu merupakan calon presiden nomor urut dua, sudah mendeklarasikan diri sebagai pemenang pemilihan presiden sebelum hasil resmi diumumkan.
Kemudian, sesudah hasil resmi menyatakan Joko Widodo sebagai pemenang Pilpres, kubunya melayangkan gugatan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi, namun gugatan ditolak. Suhu politik dan tensi di masyarakat pun sempat tinggi. “Orang Indonesia mungkin sangat mengerti posisinya orang Amerika saat ini.”
Demikian Lindy Backues membandingkan imbas pemilihan presiden Amerika saat ini dan Pilpres di Indonesia pada 2019.
Dua kubu yang perlu ditenteramkan
Oleh karenanya, menurut Backues, mengatasi polarisasi masyarakat menjadi salah satu tantangan berat bagi presiden terpilih Joe Biden dan jalannya harus segera dirintis.
Biden sendiri dengan nada tegas, padat serta berhikmat, dalam pidato kemenangannya pada Sabtu (07/11/20) malam di Delaware, berikrar menjaga persatuan seraya meminta para pendukungnya untuk “berhenti memperlakukan lawan kita sebagai musuh”.
Tapi, adapun Presiden Trump masih bersikukuh dengan tuduhannya, walau tanpa disertai bukti-bukti, seolah terjadi kecurangan dalam Pemilu dan Demokrat mencuri kemenangan dari Republik. Sikap itu kemudian diperkuat oleh tim kampanyenya yang menegaskan “pemilu jauh dari usai”.
“Donald Trump tidak akan berubah, dia akan tetap begini.”
Baca juga: Ahli Kesehatan AS Anthony Fauci Siap Kerja Sama dengan Joe Biden untuk Lawan Corona
“Tapi Joe Biden dan timnya harus menenteramkan hati para pendukung Trump dan harus mencari titik temunya di mana mereka bisa tahu atau merasa bahwa posisinya mereka tidak dibajak, posisinya mereka tidak dicuri, bahwa mereka akan didengarkan, mereka akan dirangkul dan mereka tidak perlu khawatir bahwa kepentingan mereka akan diabaikan,” tambah Lindy Backues.
Namun pada saat yang sama, lanjut Backues, Joe Biden harus pula memisahkan kepentingan apa saja yang paling menonjol bagi pendukung Trump dan pendukungnya sendiri.
Basis kuat Donald Trump berada di wilayah pedesaan yang mayoritas penduduknya berkulit putih, sedangkan kantong pendukung Joe Biden pada umumnya tinggal di perkotaan.
“Karena mereka juga yang menyoblos dan bersuara bagi dia. Jadi mereka harus diutamakan. Nah justru itu yang membuat sangat sulit, dua-duanya harus seimbang. Dengan pendukungnya dia harus kuat. Tapi dengan Donald Trump kalau diabaikan, karena mereka hampir 50 persen dari orang yang bersuara, mereka masih mendukung Donald Trump,” jelasnya.
Serupa dengan di Indonesia
Lindy Backues, yang bekerja di Indonesia selama periode 1989-2007, mengamati bahwa tantangan ini juga pernah dialami Indonesia.
“Itu tantangannya mirip sama waktu Pak Harto turun di mana Golkar dan lainnya harus ditenteramkan, harus dipuaskan. Ini sama dengan di sini. Tergantung situasi dan konteksnya. Dan selama ini terjadi maka Donald Trump dan anteknya akan anti, akan melawan.”
Untuk tahap ini, masyarakat di AS pada umumnya belum merasakan ketenteraman, antara lain karena pendukung Presiden Trump marah atas kekalahan Trump dan berharap apa yang diklaim sebagai kecurangan Pemilu dapat membalikkan keadaan.
“Situasinya masih sangat rumit dan belum pasti apa yang akan terjadi. Pemerintahan Trump masih berusaha membuat gangguan. Saya kira kebanyakan orang Amerika senang dengan hasil Pemilu, tetapi banyak juga yang tidak senang sama sekali dan siapa tahu apa yang akan terjadi dengan mereka.” Itulah pengamatan Patricia Henry, pensiunan guru besar dari Northern Illinois University yang fasih berbahasa Indonesia.
Keterpurukan ekonomi, rasisme picu kemarahan
Sejauh ini masih terjadi kebuntuan di Senat terkait dengan penggelontoran dana untuk menopang ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kubu Republik menolak jumlah dana yang diajukan Demokrat, meskipun Presiden Trump sendiri telah membujuk Republikan untuk berkompromi.
Padahal talangan dana pemerintah federal dirasa amat diperlukan untuk menggelindingkan roda perekonomian.
Sejak pensiun sebagai guru besar di Northern Illinois University di DeKalb, Patricia Henry menetap di Chicago, salah satu kota terbesar di AS. Ia merasakan betapa lesu perekonomian di kota yang kaya akan gedung pencakar langit tersebut.
“Dulu kami di sini, aduh rasanya enak sekali. Bisa naik bus dan tidak susah jalan-jalan, ada banyak restoran dan rumah makan yang bagus, ada sandiwara dan lain-lain. Tapi sekarang semua sudah tutup,” kata Patricia Henry dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, melalui sambungan telepon.
Disebutnya, tempat-tempat usaha tersebut akan memerlukan waktu lama untuk bangkit lagi. “Kalau restoran saya kira akan banyak yang harus tutup selama-lamanya dan dan orang yang bekerja di bagian pelayanan memang akan lama sekali baru dapat kembali beroperasi.”
Keterpurukan ekonomi sebagai dampak dari pandemi ini, menurut Prof Henry, turut memicu kemarahan masyarakat.
“Kemarahan orang, ketidaktenangan orang, saya kira itu yang menimbulkan banyak demonstrasi dan lain sebagainya, selain ada dasar dalam beberapa hal, seperti kemiskinan dan rasisme. Tapi Covid ini menjadi api lagi.”
Biden warisi masalah ekonomi
Mantan wartawan Tempo dan sekarang menjadi chief operations officer di _Indonesianlantern.com_, portal komunitas Indonesia di Amerika Serikat, Didi Prambadi, menggarisbawahi, jurang antara pendapatan dan pengeluaran semakin membengkak.
“Joe Biden bakal mewarisi masalah ekonomi Amerika dengan defisit sangat besar yaitu 3,3 triliun dollar AS (sekitar Rp48 kuadriliun),” ujarnya.
Sementara menurut hemat Lindy Backues, profesor madya di Eastern University, Philadelphia, kekeliruan yang dibuat Presiden Trump ialah memisahkan antara pandemi dan ekonomi.
Baca juga: Apa Saja Janji-janji Joe Biden terhadap Muslim Amerika dan Dunia?
“Kita harus lihat beberapa bulan yang lalu mulai Februari sebetulnya ekonomi di sini dan dari semua angka ekonominya itu baik sekali. Jadi dari ekonomi yang baik ini, kira-kira Donald Trump akan menang pilpres ini lagi, pasti akan menang. “Tapi ekonomi memburuk. Kenapa? Karena pandemi. Sebetulnya pandemi dan ekonomi bukan hal yang berbeda. Pandemi itu yang menyebabkan ekonomi memburuk dan turun. Jadi pandemi harus dianggap sebagai faktor ekonominya, dan mereka harus menangani itu,” jelasnya.
Rekor dunia Covid-19
Presiden Trump dikritik kurang fokus menangani pandemi, bahkan menganggap remeh virus corona dan juga mempertanyakan sains dalam urusan ini, seperti manfaat penggunaan masker untuk mencegah penularan.
Ini semua terjadi ketika Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang mengalami rekor tertinggi di seluruh dunia dari segi jumlah kematian maupun penularan, termasuk Trump yang terinfeksi virus corona.
“Masalahnya, Donald Trump membuat ini sebagai masalah politik, dan dia kira kalau ini masalah politik, maka ekonominya tidak ada kaitan dengan pandemi,” demikian Backues dalam wawancara dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Penghitungan suara pemilihan presiden AS belum final, tetapi Joe Biden telah diproyeksikan berhasil melewati ambang batas 270 suara elektoral sebagai pemenang, sementara tim kampanye Trump berusaha menggugat proses pemilihan dan penghitungan suara di negara-negara bagian penentu.
Sebagai catatan penting, di AS tidak ada lembaga semacam KPU. Karena itu, dari Pilpres ke Pilpres, publik hanya percaya hasil reportase media dalam alam demokrasi tertua di dunia. Dari waktu ke waktu, pihak yang kalah dalam Pilpres pun segera memberi selamat kepada pemenang, seperti dilakukan Hillary Clinton kepada Donald Trump, 2016 lalu. Trump juga hanya mendasarkan pada pemberitaan media, ketika dirinya menyatakan kemenangan waktu itu.
Jika peralihan kekuasaan berjalan mulus, Biden akan menetap di Gedung Putih selama empat tahun sesudah pelantikan pada tanggal 20 Januari nanti dengan banyak tantangan, sebagian di antaranya disebutkan oleh para nara sumber. (B-CNBC/KC/jr)
Baca juga: Biden Sebut Trump Memalukan karena Menolak Hasil Pilpres AS