BENDERRAnews.com, 10/9/20 (Jakarta): Belakangan ini muncul wacana untuk tidak memberikan hak pilih bagi aparatur sipil negara (ASN) dalam pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada). Gagasan ini hendak meniru aturan bagi anggota TNI dan Polri yang tidak memiliki hak pilih sebagaimana terakhir diatur dalam pasal 200 UU 7/2017 tentang Pemilu yang berbunyi, “Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.”
Pemikiran anggota ASN tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu mulai dibicarakan beberapa bulan terakhir ini saat dimulainya proses dan tahapan Pilkada Serentak 2020 untuk memilih 270 pasangan kepala daerah di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota pada 9 Desember nanti. Tampak jelas gagasan meniadakan hak pilih ASN ini dipicu oleh kekhawatiran ketidaknetralan ASN pada pilkada, dan bahwa dengan mudah ASN, fasilitas, dan jaringannya, dapat dimanfaatkan oleh petahana agar kembali terpilih.
Suara untuk mengkaji ulang penggunaan hak pilih ASN justru datang dari kalangan ASN sendiri. Seperti yang diungkapkan dalam webinar pada 30 Juni 2020 oleh Direktur Pengawasan dan Pengendalian Badan Kepegawaian Negara (BKN) Achmad Slamet Hidayat yang menyatakan, “hak pilih ASN memang perlu dikaji ulang, … perlu pertimbangan dan kajian yang matang untuk memikirkan bagaimana ASN benar-benar netral.”
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan pada webinar yang sama menyatakan, “jika bisa memilih, barangkali ASN tidak ingin mendapatkan hak suaranya. Sebab ketika tidak netral akan berisiko, begitu juga saat bersifat netral akan banyak tekanan dari pihak luar dan dalam.”
Memang, penyalahgunaan wewenang dan pengaruh ASN untuk kepentingan mereka yang berkompetisi dalam setiap pemilu merupakan kenyataan yang telah berlangsung dari pemilu ke pemilu, termasuk pilkada. Yang paling nyata terjadi pada lima kali pemilu di masa Orde Baru pada 1971 sampai 1997. Pada masa itu ASN (sebelumnya pegawai negeri sipil/PNS) melalui Korpri, secara terang-terangan dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk memilih Golongan Karya. Pejabat TNI dan Polri, yang masih tergabung dalam ABRI, sampai ke tingkat akar rumput dikerahkan untuk mengampanyekan dan memilih kekuatan sosial politik yang dikehendaki penguasa.
Perubahan oleh Reformasi
Reformasi 1998 mengubah secara radikal sistem politik Indonesia, terutama kebebasan mendirikan partai politik, kebebasan pers, dan penyelenggaraan pemilu legislatif (untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD), pemilu presiden (pilpres), dan pilkada yang dilaksanakan oleh lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sejak itu, KPU telah melaksanakan lima kali pemilu legislatif atau pileg (1999, 2004, 2009, 20014, dan 2019), empat kali pilpres (2004, 2009, 2014, 2019) dan tiga kali pilkada (belum serentak; 2005, 2010, 2015), sehingga dinilai berhasil menyelenggarakan proses pergantian kekuasaan berdasarkan pilihan rakyat secara teratur, terbuka, dan demokratis.
Sejak reformasi terjadi berbagai kemajuan dan peningkatan kualitas kehidupan politik dan sistem politik, infra dan suprastruktur, termasuk pelaksanaan pemilu, perkembangan partai politik, LSM, dan pers. Namun demikian berbagai gejala tidak sehat juga mulai bermunculan dan berkembang seperti kampanye dengan mengeksploitasi sentimen suku, agama, dan antargolongan (SARA) yang merusak persatuan bangsa, serta politik transaksional (money politics). Berbagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan juga terjadi termasuk dengan memanfaatkan ASN untuk kepentingan peserta pemilu, parpol, maupun calon kepala daerah petahana, meskipun aturan dan perangkat umum pemilu semakin lengkap untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya penyimpangan.
Faktanya, kenyataan buruk seperti itu tidak membenarkan untuk menghilangkan hak pilih ASN yang merupakan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Hal itu ditegaskan UUD 1945, pasal 27 (1), “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Apabila diantisipasi dan memang tetap potensial terjadi penyimpangan oleh ASN dalam setiap pelaksanaan pemilu dan pilkada, yang harus diperbaiki atau dilengkapi adalah peraturan dan penegakan hukum yang melarang dan menindak ASN yang berperilaku atau melakukan kegiatan yang melanggar hukum. Juga yang perlu ditingkatkan adalah meningkatkan pengawasan masyarakat dan pengawasan internal serta keterbukaan instansi pemerintahan tempat ASN bekerja, yang memungkinkan berlangsungnya pengawasan sosial.
Saatnya Dicabut
Jelaslah, hak pilih ASN harus tetap dipertahankan. Jangan meniru ketentuan yang mengatur bahwa dalam pemilu, anggota TNI dan anggota Polri tidak menggunakan hak pilihnya, karena ketentuan ini pun sudah saatnya untuk dicabut.
Sejak pemilu pertama di masa Orde Baru pada tahun 1971, diberlakukan ketentuan bahwa anggota ABRI (TNI dan POLRI) tidak menggunakan hak pilih dan hak dipilih. Alasannya, sebagai aparatur negara yang bertugas menjaga kedaulatan negara dan integritas wilayah serta memelihara keamanan dalam negeri dan mengayomi masyarakat, politik ABRI adalah politik negara. Jangan sampai ABRI sebagai pelopor persatuan bangsa terkotak-kotak dalam berbagai kekuatan sosial politik.
Sebagai gantinya, dari 460 kursi DPR, golongan ABRI terwakili di 75 kursi, golongan fungsional/profesional (guru, buruh, petani, wanita, pemuda, cendekiawan, pengusaha, wartawan) 25 kursi (pada Pemilu 1982 menjadi 21 kursi, karena 4 kursi diberikan ke dapil Provinsi Timor Timur yang baru bergabung dengan RI). Selebihnya, 360 kursi diperebutkan melalui pemilu oleh 10 kekuatan sosial politik, yang pada Pemilu 1977 disederhanakan menjadi tiga, Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dengan komposisi dan porsi yang dipilih dan diangkat juga berlaku secara proporsional di DPRD provinsi dan Kabupaten/Kota.
Sebagai hasil reformasi, sejak Pemilu 1999, semua kursi lembaga perwakilan rakyat dipilih melalui pemilu. Tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat termasuk yang dari ABRI, yang juga sebagai hasil reformasi, menjadi dua instansi terpisah yaitu TNI dan Polri. Yang patut dibanggakan adalah komitmen TNI dan Polri terhadap reformasi yang ditunjukkannya, meskipun masih sebagai Fraksi TNI/POLRI, saat membahas dan menyetujui keputusan Sidang-sidang MPR tahun 1998 dan 1999. Keputusan dimaksud menetapkan semua anggota DPR, DPRD, dan DPD dipilih dalam pemilu, yang berarti penghapusan jatah pengangkatan TNI dan Polri di parlemen.
Tetapi penghapusan jatah pengangkatan anggota DPR/DPRD dari ABRI (TNI dan Polri) tidak diikuti oleh pengembalian hak pilih anggota TNI dan Polri. Padahal sebagai warga negara, sebagaimana warga negara lainnya dan juga ASN, hak pilih adalah hak konstitusional dan hak asasi manusia, termasuk anggota TNI dan Polri.
Sejak reformasi, lebih-lebih sejak persiapan pelaksanaan Pemilu 2004 berlanjut sampai persiapan Pemilu 2009, 2014, dan 2019, telah berulang kali dibahas antara pemerintah dan DPR, agar anggota TNI dan Polri bisa menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Tetapi selalu berakhir dengan kesimpulan bahwa memang hak pilih adalah hak konstitusional anggota TNI dan Polri, tetapi belum waktunya digunakan, belum tepat untuk diberikan, karena pertimbangan posisi strategis anggota TNI dan Polri yang dapat terganggu serta persatuan bangsa terancam. Hal itu seperti yang tertuang dalam pasal 200 UU 7/2017 tentang Pemilu yang berbunyi, “Dalam Pemilu, anggota TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.”
Sudah saatnya hak pilih anggota TNI dan POLRI diberikan untuk digunakan. Kalau khawatir terjadi pelanggaran dan penyimpangan dilakukan untuk kepentingan partisan, lengkapilah peraturan dan ketentuan hukum, tingkatkan pengawasan, baik pengawasan internal, eksternal, maupun pengawasan sosial, serta tingkatkan penegakan hukum dengan menindak tegas apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran hukum oleh oknum anggota TNI dan Polri.
Pemerintah dan DPR dalam mempersiapkan pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2024 bisa memperbaiki UU 7/2017 perlu merevisi ketentuan Pasal 200, dan menetapkan bahwa anggota TNI dan Polri bisa menggunakan hak pilihnya. Selanjutnya, ketentuan seperti itu diberlakukan juga untuk pileg, pilpres, dan pilkada berikutnya. Saatnya, kembalikan hak pilih anggota TNI dan Polri. *** (B-BS/jr — foto ilustrasi istimewa)
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Jumat, 4 September 2020 | 08:00 WIB, dengan judul asli: Kembalikan Hak Pilih Anggota TNI dan Polri.
**) Penulis adalah Ketua Dewan Redaksi Suara Pembaruan, Preskom PT Lippo Cikarang Tbk, Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar, Ketua Dewan Pakar DPP Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) & Ketua Dewan Penasihat DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP).