BENDERRAnews.com, 22/8/20 (Jakarta): Badan Pengawasan Obat dan Makanan diminta jangan membuat standar ganda dalam memberikan izin obat Covid-19 buatan Indonesia. Pasalnya obat yang sudah melalui tahapan uji klinis sesuai standar BPOM ini belum diberi izin edar. Sementara HerbaVid19, obat tradisional Covid-19 yang didaftarkan PT Satgas Lawan Covid-19 sudah. DPR pun mengharapkan jangan ada persaingan bisnis di sini.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Evita Nursanty mengapresiasi langkah Universitas Airlangga (Unair), TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk terlibat dalam pembuatan obat Covid-19. Keberadaan obat itu bisa menjadi alternatif obat yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan angka kesembuhan Covid-19 di Indonesia.
“Saya ingin mengapresiasi inovasi dari Unair dan dukungan all out yang diberikan oleh TNI dan BIN. Saya mendorong agar universitas lain juga melakukan hal yang sama. Karena, bangsa ini sedang membutuhkan inovasi segera untuk membantu kita keluar dari krisis. Ayo, kita berlomba-lomba untuk berkontribusi bukan malah menunjukkan sikap negatif,” kata Evita di Jakarta Jumat (21/8/20).
Hal itu disampaikan Evita terkait perdebatan yang terjadi terakhir ini terkait izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang belum diberikan kepada obat Covid-19 dari Unair ini dengan alasan uji klinisnya belum valid.
Evita pun memuji pihak Unair yang terakhir menyatakan akan melakukan evaluasi dan menyempurnakan uji klinis.
“Kita menghargai jiwa besar Unair, sekaligus menjadi kritik kepada BPOM bahwa mereka harus membuat standar atau perlakuan yang sama antara obat ini dengan obat lain yang sudah dikeluarkan izinnya. Jangan diskriminatif. Jangan ada standar ganda,” tambah Evita.
Disebutnya, selama ini ada banyak obat yang diberikan izin oleh BPOM, termasuk obat flu atau obat batuk yang tidak jelas efektivitasnya, termasuk dari impor. Bahkan, ujarnya, ada obat yang berisiko juga diberikan izin edar. Termasuk juga izin kepada obat HerbaVid19, obat tradisional Covid-19 yang didaftarkan PT Satgas Lawan Covid-19 DPR, dan pabriknya berlokasi di Jakarta Utara.
“Pertanyaanya, kenapa obat Covid-19 dari Unair ini sulit sekali meskipun sudah melalui rangkaian uji dan terbukti kesembuhannya? Kenapa tidak bisa menjadi obat alternatif, seperti ada banyak obat flu atau obat batuk yang beredar? Ingat, ini obat, bukan vaksin,” ujar Evita.
Jangan karena persaingan bisnis
Dia berharap jangan sampai terjadi persaingan bisnis dalam urusan ini. Evita menilai obat dari Unair ini bisa menjadi alternatif baru untuk terapi penyembuhan Covid-19.
Apalagi, sejauh ini obat buatan Unair tersebut sudah melakukan uji klinis obat kombinasi sesuai protokol yang disetujui BPOM melalui Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK).
Uji klinis obat kombinasi dilakukan terhadap 754 subjek. Jumlah ini melebihi target dari BPOM yang hanya 696 subjek.
Uji klinis tahap III ini dilaksanakan pada 7 Juli hingga 4 Agustus 2020 di RSUA, Dustira (Secapa AD), Pusat isolasi Rusunawa Lamongan, dan RS Polri Jakarta.
Dikatakan, 85 persen sampel yang diujicobakan dengan obat tersebut sembuh berdasarkan hasil tes PCR. Proses penyembuhan disebut berlangsung mulai dari satu hingga tiga hari. (B-BS/jr)