BENDERRAnews.com, 20/8/20 (Jakarta): Berdasarkan undang-undang, setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat, termasuk memberikan kritikan terhadap pemerintahan.
Namun, jika kritikan tersebut, seperti yang dilakukan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), bersifat tendensius dan tidak objektif, bisa mengarah kepada bentuk pelanggaran hukum.
“Sebatas pemberitaan viral di media sosial masih dalam tataran kritik/pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah, itu dijamin oleh konstitusi dalam kerangka kebebasan berpendapat dan belum bisa dikategorikan pemberitaan provokatif,” ujar pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji di Jakarta, Selasa (18/8/20).
Namun, kata Indriyanto, apabila KAMI melakukan kritik/pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah atau pernyataan yang tendensius dan tidak objektif, hal itu bisa disebut sebagai bentuk penghinaan formil.
Provokasi penggantian pucuk pimpinan negara
Indriyanto mencontohkan kritik/pernyataan yang dimaksud, antara lain tuduhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanggar konstitusi dengan melanggar politik bebas aktif, pemerintah melakukan pembiaran dengan masuknya militer Tiongkok dengan alasan tenaga kerja asing (TKA), dan tudingan munculnya PKI gaya baru yang dibiarkan pemerintah.
Contoh lain terkait dengan pendapat-pendapat yang membungkus seolah kebebasan berpendapat sebagai jaminan konstitusi, yang puncaknya ialah provokasi penggantian pucuk pimpinan negara dilakukan dengan cara-cara sebagai kritik/pernyataan tegas dan jelas jalannya kasar, tidak obyektif, tidak sopan, tidak konstruktif, dan tidak zakelijk sifatnya.
“Sehingga, ini membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian (hatred), ejekan/cemoohan (ridicule), atau penghinaan (contempt). Maka, kritik/pernyataan seperti itu menjadi bentuk penghinaan formil yang strafbaar sifatnya. Jadi, haruslah dibedakan antara kritik/pernyataan dalam konteks kebebasan berpendapat dengan penghinaan formil yang melanggar hukum,” ujar Indriyanto.
Selain itu, pernyataan-pernyataan seperti itu bisa mengarah kepada makar dengan ukuran objektif. “Karena, sebagaimana dikatakan Prof Eddy OS Hiariej, niat (voornemen) dan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) yang sudah mendekati delik yang dituju (voluntas reputabitur pro facto) merupakan cara-cara inkonstitusional yang menghendaki (niat) perlawanan terhadap pemerintahan yang sah sebagai pemenuhan unsur delik makar Pasal 107 KUHP”.
“KAMI sebaiknya bersikap secara konstitusional, karena pernyataan kebebasan berpendapat secara politik tidak pernah bersifat absolut tanpa batas. Dalam kehidupan bernegara, ada limitasi-limitasi regulasi dan doktrin hukum yang memberikan pagar politik dan hukum secara implementatif. Jangan sampai ada destruksi rambu-rambu untuk melanggar hukum,” ujar Indriyanto Seno Adji. (B-BS/jr)