BENDERRAnews.com, 2/6/20 (Jakarta): Sehubungan dengan momentum Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau HTTS 2020 yang diperingati 31 Mei, para pakar mengingatkan kembali akan ancaman Covid-19 terhadap kesehatan terutama bagi para perokok. Penelitian menunjukkan para perokok lebih berisiko terinfeksi Covid-19. Bahkan banyak pasien yang meninggal disertai penyakit penyerta atau kormobid yang dipicu kebiasaan merokok.
Spesialis Paru sekaligus Ketua Pokja Masalah Rokok Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Dokter Feni Fitriani Sp.P(K) mengatakan, di dalam tubuh manusia ada reseptor yang disebut angiotensin converting enzyme 2 (ACE2). Yaitu enzim yang menempel pada permukaan luar (membran) sel-sel beberapa organ seperti, paru-paru, arteri, jantung, ginjal dan usus. Pada perokok, jumlah reseptor ACE2 ini lebih banyak 40 persen hingga 50 persen dibanding yang bukan perokok.
Ketika virus SARS Cov-2 penyebab Covid-19 masuk ke dalam saluran pernapasan akan hinggap dan melekat pada ACE2. Makin banyak ACE2 dalam tubuh, makin besar pula virus Corona ini menempel dan masuk dalam tubuh.
Perokok berat
Penelitian di Wuhan, Tiongkok, menemukan pasien positif dan yang meninggal ternyata lebih banyak dari kalangan perokok berat. Inilah yang menyebabkan perokok itu lebih berisiko tinggi terhadap Covid-19.
Selain itu, menurut Feny, kondisi pasien yang terinfeksi Covid-19 akan makin berat apabila diperparah dengan penyakit penyerta atau kormobid atau komplikasi.
Kormobid, seperti hipertensi, diabates, jantung, kanker, dan lain-lainnya itu ternyata juga merupakan penyakit terkait dengan kebiasaan merokok jangka panjang. Penelitian yang dilakukan terhadap 9.000 pasien menunjukkan, perokok lebih banyak terkena infeksi berat. Mereka membutuhkan ventilator karena gagal napas, dan berakhir kematian.
“Jadi, perokok sudah berisiko Covid-19 karena lebih banyak ACE2 di dalam tubuh, tetapi juga karena kormobidnya, sehingga akibatnya lebih fatal,” kata Feny.
Hal ini, menurut Feny, sekaligus meluruskan disinformasi yang beredar merokok atau asap rokok bisa membantu meredakan Covid-19. Oleh karena itu, Feny mengimbau masyarakat untuk berhenti merokok.
Berhenti merokok sama dengan mengurangi infeksi dan keparahan akibat ovid-19. Pada orang yang berhenti merokok jumlah reseptor ACE2 dalam tubuh menurun 30 persen hingga 40 persen.
Selama pandemi Covid-19, menurutnya, konsumsi rokok bisa jadi meningkat. Aturan jaga jarak sosial, jarak fisik, tinggal dan bekerja dari rumah, kehilangan pekerjaan, pendapatan berkurang, dan kondisi lain akibat Covid-19 menyebabkan banyak orang stress.
Di saat seperti inilah rokok bisa jadi dijadikan penghilang stres atau kejenuhan. Terutama bagi mereka yang sudah adiksi. Kandungan nikotin rokok seolah memberikan rasa nyaman, tetapi itu semu. Karena begitu berhenti merokok, perasaan senang dan nyaman tadi pun berkurang dan lama-lama hilang.
Kaitan Covid-19 dan merokok
Pada 8 Maret 2020 lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia mengingatkan masyarakat mengenai kaitan antara Covid-19 dengan perilaku merokok. Perwakilan WHO di Indonesia, Dr N Paranietharan, mengatakan, perokok berisiko tinggi untuk penyakit jantung dan penyakit pernapasan, yang merupakan faktor risiko tinggi untuk mengembangkan penyakit parah atau kritis dengan Covid-19. Karena itu, perokok di Indonesia berisiko tinggi terkena Covid-19.
Pernyataan ini sejalan dengan temuan berbagai literatur yang menyebutkan hubungan antara perokok dan karakteristik pasien terinfeksi Covid-19. Di antaranya, sekelompok peneliti dari Tiongkok dengan beragam latar belakang institusi, seperti Beijing Institute of Microbiology and Epidemiology, University of Florida, dan Chinese Centre for Disease Control and Prevention, menyebutkan, keparahan coronavirus pada laki-laki di Tiongkok lebih tinggi dibandingkan perempuan. Ini disebabkan laki-laki di Tiongkok kebanyakan perokok berat. Studi ini juga menyebutkan 61,5 persen penderita pneumonia berat akibat coronavirus ialah laki-laki dan tingkat kematian 4,45 persen pada pasien laki-laki serta 1,25 persen pada pasien perempuan.
Penelitian lain yang dilakukan Wei Liu dan kawan kawan (Chinese Medical Journal pada 2020) menunjukkan, 78 pasien coronavirus dengan pneumonia selama dua minggu perawatan ditemukan, 11 pasien memburuk dan 67 pasien kondisinya membaik. Yaitu, 27 persen dari kelompok memburuk memiliki riwayat merokok, sementara dari kelompok yang kondisinya membaik hanya tiga persen yang punya riwayat merokok.
Kemudian studi “Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan” (Prof Nanshan Chen, dkk, The Lancet, 2020) menyebutkan, 99 orang pasien dari Wuhan Jinyintan Hospital dirawat selama 20 hari, di mana 11 orang meninggal pada akhir penelitian, tiga di antaranya perokok dengan dua kematian pertama merupakan perokok laki-laki. (B-BS/jr)