BENDERRAnews.com, 14/5/20 (Jakarta): Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kesehatan dan Tenaga Kerja, James Riady, mengatakan, untuk menekan jumlah korban jiwa akibat wabah virus corona, salah satu upaya terpenting yang harus menjadi prioritas ialah penambahan kapasitas ruang perawatan intensif atau intensive care unit atau ICU di rumah sakit.
Dalam situasi darurat seperti sekarang dimana membuat pemerintah berpacu dengan waktu, strategi negara lain yang sukses menambah kapasitas ICU dalam waktu singkat bisa ditiru, demikian menurut James Riady, dalam diskusi virtual berjudul “Gaduh Gara-gara Covid-19”, Rabu (13/5/20).
Dikatakan, di awal wabah, banyak negara termasuk Singapura langsung berkonsentrasi menambah kapasitas ICU karena pasien Covid-19 dalam kondisi parah atau kritis butuh penanganan khusus dengan cara yang penuh kehati-hatian agar tidak menular ke pasien lain.
Dalam wabah ini, Indonesia harus menghadapi fakta, kapasitas ICU ternyata masih jauh dari yang diharapkan.
“Kalau Jabodetabek ada 30 juta penduduk, maka kalau 0,1 persen saja kena Covid, itu sudah 30.000. Dan kalau 10 persen perlu ICU, maka 3.000 ICU bed yang harus dikhususkan untuk Covid,” kata James dalam diskusi virtual yang juga menampilkan sejumlah tokoh penting di negeri ini.
“Di Jakarta nggak ada 3.000 [dipan ICU]. Perhitungan kita, estimasi itu kira-kira mungkin ada 800, maksimum 1.000,” ujar James, CEO Lippo Group yang memiliki jaringan Rumah Sakit Siloam.
Perawatan ICU dan penggunaan ventilator dibutuhkan untuk pasien kategori pertama, yaitu berat dan komplikasi.
“Ini yang harus cepat-cepat ditingkatkan — kapasitas untuk ICU. Bisa nggak? Bisa,” kata James.
Dipaksa menambah ICU
Dia menambahkan, negara-negara lain juga dipaksa menambah ICU setelah banyak pasien kritis Covid-19 akhirnya meninggal karena kurangnya kapasitas dan beratnya tekanan kerja di rumah sakit. Dan dalam waktu singkat ternyata ICU untuk pasien Covid-19 bisa ditingkatkan.
Sementara itu pasien kategori dua dengan gejala tingkat sedang bisa ditangani di high care unit (HCU). Sedangkan pasien kategori ketiga yang ringan dirawat di rumah pun bisa, atau di rumah sakit darurat di Wisma Atlet.
Dalam wabah ini, tambahnya, persoalan medis yang utama bukan di kategori dua dan tiga. Tetapi pasien kategori satu yang butuh penanganan ICU.
Rombak manajemen kesehatan masyarakat
Dengan adanya wabah Covid-19 ini pemerintah justru mendapat momentum untuk merombak manajemen kesehatan masyarakat.
“Ini mungkin perlu ditata ulang: untuk Indonesia public health system itu maunya seperti apa?” kata James.
Kemudian dia mengambil contoh pengalaman Singapura dalam mengelola sistem kesehatan menghadapi wabah penyakit menular.
“Jadi waktu [wabah] SARS, pemerintah Singapura ambil Tan Tock Seng Hospital. Satu rumah sakit itu di-plot hanya untuk [SARS],” kata James.
“Tapi sesudah itu mereka mengadakan studi, mereka menyatakan bahwa itu strategi yang salah karena Tan Tock Seng melayani 200.000-300.000 masyarakat. Mereka itu kelabakan semuanya,” kata James.
“Jadi kemudian mereka [Singapura] mengambil satu keputusan setiap rumah sakit mutlak harus menyediakan 20-30 ICU bed,” kata James.
ICU itu memiliki ruang bertekanan negatif (negative pressure room) dan juga ruang isolasi.
Singapura sudah sangat siap
Dalam program ini, pemerintah Singapura memberikan dana dan insentif bagi rumah sakit. Dalam situasi normal, ruang ICU itu bisa dimanfaatkan rumah sakit.
“Tapi kalau pada saat ada pandemi, pemerintah yang menguasai ICU bed,” kata James.
Karena itulah, demikian James, saat terjadi wabah Covid-19, Singapura sudah sangat siap menangani dan mengisolasi pasien kritis, sehingga angka mortality atau kematian di sana relatif sangat rendah.
“Mereka melakukan studi seperti itu dan keluar dengan program-program seperti itu. Ini mungkin yang perlu kita pikirkan,” kata James.
Jaringan RS hingga luar negeri
James menambahkan, selain jaringan Rumah Sakit (RS) Siloam di Indonesia, Lippo Group juga memiliki rumah sakit di Tiongkok, Myanmar, dan Jepang, serta berbagai klinik di Singapura.
Sejak akhir Desember lalu pihaknya sudah diajak berdiskusi oleh pemerintah membahas kemungkinan pandemik, yang kemudian ternyata betul terjadi.
“Karena itu kita khawatir. Nah, dalam situasi khawatir ini kita mengetahui tidak ada sistem yang dirancang dan di-set up untuk [menghadapi] pandemi. Karena itulah ini peran kita untuk membantu, melihat apa yang perlu dilakukan,” kata James Riady, yang juga sosok filantrofi Indonesia, dengan kepedulian tinggi terhadap pendidikan di daerah-daerah terisolasi. (B-BS/jr)