BENDERRAnews.com, 22/2/20 (Jakarta): DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 menyatakan menolak RUU Ketahanan Keluarga. Karena selain cenderung menyentuh ranah pribadi, juga masalah ini belum jadi prioritas bangsa, karena banyak problematik kebangsaan lainnya lebih urgen untuk dibahas DPR RI.
Demikian dikemukakan Ketua DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP 14.02.46) Bidang Aksi Perempuan dan Pemberdayaan Anak, Rev Dr Siti Hadijah, DTh, DMin, bersama Ketua DPP GPPMP Bidang Aksi Sosial dan Pemberdayaan Kaum Marginal, Vera Sanger, di Jakarta, Sabtu (22/2/20), merespons diskursus Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diusulkan beberapa fraksi di DPR RI.
“Masak urusan tidur anak laki dan anak perempuan saja harus diatur undang-undang. Ini khan mengada-ada? Bagaimana kita harus membangun dan memperkuat kerukunan keluarga, jika setiap anggota keluarga dibatasi untuk berinteraksi,” tandas Siti Hadijah yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) Gerakan Perempuan Merah Putih Indonesia (GPMPI), didampingi Sekumnya, Iimiarti.
Siti dan Vera juga sepakat, Negara seyogianya jangan mengintervensi urusan domestik keluarga, apalagi untuk mengurus serta mengasuh anak-anak.
Terkait itu, demikian Siti dan Vera, DPP GPPMP bersama Depinas GPMPI dalam waktu dekat akan mengajak sejumlah pihak berkompeten, baik itu di lingkup eksekutif, legislatif maupun masyarakat, untuk menggelar “Diskusi Publik: Urgensi RUU Ketahanan Keluarga”.
“Kami juga akan mengundang nara sumber dari dunia kampus dan para pakar serta rohaniwan, agar bisa mengumpulkan sebanyak mungkin informasi, untuk kemudian diberikan ke pihak legislatif, di mana kami semua menolak RUU tersebut,” demikian Siti Hadijah.
Sikap Istana
Sementara itu, senada dengan GPPMP dan GPMPI, Staf Khusus (Stafsus) Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, mengatakan, Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga memang terlalu menyentuh ranah pribadi.
“Katanya ada pasal yang mewajibkan anak laki-laki dan perempuan pisah kamar. Terlalu menyentuh tanah pribadi,” kata Dini Purwono di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (21/2/20) kemarin.
Meskipun RUU tersebut telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas), Dini Purwono menilai, belum tentu pembahasan RUU ini menjadi prioritas. Kalau pun di bahas, maka pemerintah akan memberikan pendapat mengenai substansi RUU tersebut.
“Kalau masalah prolegnas prioritas, kan banyak list-nya. Maksudnya, tidak semua harus prioritas. Tapi nanti kita pasti akan kasih pendapat lah. Setiap Undang-undang kan pasti ada pembahasan juga sama pemerintah kan,” ujar Dini Purwono.
Pemerintah akan menanyakan alasan DPR mengajukan RUU yang masih ke ranah privasi dan mengatur hak asasi manusia. Jangan sampai isi dari RUU Ketahanan Keluarga menjadi perundangan yang inkonstitusional.
“Nanti kita akan pertanyakan juga apa segitunya negara masuk ke ranah privat. Itu juga kan hak asasi manusia. Jangan sampai juga inkonstitusional. Kan ujung-ujungnya kita musti lihat sesuai konstitusi. Kalau sampai dianggap itu melanggar hak asasi manusia, ya inkonstitusional lah,” tandas Dini Purwono.
Golkar menolak
Secara terpisah, Fraksi Partai Golkar mengemukakan, mereka merasakan kecolongan karena ada salah satu anggotanya, yakni Endang Maria, sebagai pengusul RUU Ketahanan Keluarga yang sekarang menjadi kontroversi karena dianggap memasuki ranah privat keluarga.
Seperti disampaikan kolega Maria dari Fraksi Partai Golkar, Tubagus Ace Hasan Syadzily, memang dari sejak awal, fraksinya tidak pernah mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga. RUU itu merupakan usulan perseorangan, bukan resmi Partai Golkar.
“Tidak pernah dalam rapat-rapat Fraksi Partai Golkar, baik di pada Poksi VIII maupun di Poksi Baleg, ada pembahasan usulan RUU Ketahanan Keluarga,” kata Ace yang merupakan Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu, Selasa (20/2/20).
“Soal bahwa Ibu Endang Maria mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga itu, justru Bu Endangnya sendiri katanya belum membaca secara secara keseluruhan RUU Ketahanan Keluarga. Kami telah mengklarifikasi kepada Bu Endang soal RUU Ketahanan Keluarga itu,” tambah Ace.
Pernyataan lebih lugas disampaikan oleh Nurul Arifin yang merupakan wakil ketua umum Partai Golkar. “Kami dari Fraksi Partai Golkar merasa kecolongan tentang adanya seorang anggota yang mengusung RUU ketahanan keluarga,” kata Nurul.
Menurutnya, Endang seharusnya berkonsultasi dan memberikan presentasi terlebih dahulu ke fraksi sebelum menjadi pengusung sebuah RUU. Sementara dirinya sendiri, sebagai representasi Golkar di Badan Legislasi DPR, sudah sejak awal keberatan dengan RUU itu.
“Tidak seharusnya urusan domestik cara mengurus dan mengasuh anak diintervensi negara. Setiap keluarga, bahkan setiap anak memiliki entitasnya masing-masing,” demikian Nurul Arifin.
Opini Yusril
Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga telah menjadi polemik karena dianggap terlalu mengatur ranah pribadi dalam keluarga. RUU itu sendiri diusulkan oleh sejumlah anggota DPR dari beberapa fraksi.
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menilai, hak dan kewajiban dalam sebuah keluarga sebaiknya diserahkan pada hukum agama atau adat istiadat.
“Saya kira lebih tepat menyerahkannya kepada agama dan kepada adat istiadat masyarakat setempat daripada itu harus diatur dalam satu bentuk peraturan perundang-undangan,” kata Yusril, di Jakarta, Jumat (21/2/20).
Saat ini, mantan menteri hukum dan HAM itu menyarankan agar pemerintah dapat mengoptimalkan UU berkaitan dengan keluarga yang sudah terlebih dulu ada. Sehingga tidak perlu lagi membuat UU baru yang mengatur hal-hal tentang keluarga.
“Ketika menyangkut hukum kekeluargaan itu lebih baik tidak usah terlalu banyak disentuh. Hukum kekeluargaan itu kan dia kembali kepada agama. Kecuali pemerintah mau mengangkat norma-norma hukum agama menjadi hukum nasional,” demikian Yusril Ihza Mahendra. (B-BS/jr — Foto Ilustrasi Istimewa)
