BENDERRAnews, 30/9/19 (New York): Hadir langsung di lokasi kegiatan, Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla menegaskan, tidak ada pembahasan tentang referendum Papua selama berlangsungnya Sidang Umum PBB 2019.
Wapres JK membantah info yang menyebut adanya penolakan dari PBB terhadap usulan negara-negara Asia Pasifik terkait referendum Papua.
“Tidak ada. Tidak ada agenda itu. Negara-negara Pasifik beberapa sudah berbicara. Ada Palau, Fiji, Kiribati, dan Tonga, dan tetap tidak ada agenda.”
“Kami juga tidak menganggap tuntutan yang sangat besar untuk kita bicara di sidang umum ini,” kata Wapres kepada wartawan di New York.
JK mengingatkan, Papua bergabung dengan Indonesia merupakan hasil resolusi PBB.
“Jangan lupa bahwa Papua itu hasil dari resolusi PBB. Jangan lupa itu. Jadi justru Papua itu diketok di sini. Itu penting untuk diketahui.”
“Berbeda dengan Timor Timur, itu tidak diketok di PBB. (Sedangkan Papua) ini diketok di Resolusi,” tambah JK menegaskan.
Sementara itu, salah seorang anggota delegasi Indonesia, dalam Sidang Umum PBB, memaparkan tanggapannya atas pernyataan Vanuatu, yang kembali mengungkit isu Papua di hadapan Majelis Umum PBB.
Dalam pernyataannya, Indonesia menyampaikan, Papua akan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Papua adalah, telah, dan akan selalu menjadi bagian dari Indonesia,” kata Rayyanul Sangadji, Perutusan Tetap RI New York.
Indonesia memperingatkan kepada Vanuatu untuk memahami fakta hukum dan sejarah dari Papua hingga menjadi bagian Indonesia. Papua yang juga merupakan salah satu wilayah bekas jajahan Belanda, telah menjadi bagian dari Indonesia melalui sebuah kesepakatan yang dicapai dalam Resolusi PBB 2504 pada 1 Oktober 1962.
Indonesia pun balik menuding Vanuatu telah menjalankan politik luar negeri yang mendukung gerakan separatisme, dimana pada akhirnya justru memicu terjadi konflik, yang merugikan warga Papua.
“Vanuatu ingin menunjukkan kepada dunia kepeduliaan terhadap isu hak asasi manusia, sementara motif sesungguhnya adalah untuk mendukung agenda separatisme.”
“Vanuatu terus melakukan tekanan provokatif… yang tidak disadari Vanuatu adalah bahwa provokasinya telah menciptakan harapan kosong dan bahkan memicu konflik. Ini adalah tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab.”
“Provokasi Vanuatu telah menghasilkan kerusakan infrastruktur yang merupakan milik rakyat Indonesia.”
“Ratusan rumah terbakar, fasilitas publik hancur, dan yang terburuk nyawa warga sipil yang tidak berdosa hilang,” ujar Rayyanul asal Ambon, dalam Sidang Umum PBB.
Indonesia menambahkan, tidak ada negara yang memiliki catatan hak asasi manusia yang sempurna. Namun Indonesia, seperti halnya negara lain, berkomitmen untuk mendorong dan melindungi hak asasi manusia bagi seluruh rakyatnya, tidak terkecuali di Papua.
“Dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, apa yang dilakukan pemerintah selalu diawasi oleh rakyatnya. termasuk oleh institusi nasional hak asasi manusianya yang independen dan kredibel.”
“Indonesia adalah sebuah negara yang pluralistik dan kami akan tetap pluralistik. Kami akan menghormati perbedaan dan adat, kebijaksanaan lokal dari setiap etnis di Indonesia.”
“Keberagaman ini adalah membentuk Indonesia,” kata Rayyanul, seperti dilansir Kompas.com.
Benny Wenda diusir
Semenyara itu, dari New York juga dilaporkan, tokoh separatis Papua Benny Wenda dikabarkan hadir di Markas PBB di New York pekan ini, di mana dirinya berniat menghadiri Sidang Majelis Umum PBB.
Namun, kehadirannya justru berujung pada pengusiran –menurut laporan narasumber dan media.
Di New York, Benny Wenda dikabarkan sibuk melobi agar komisioner HAM PBB dapat berkunjung ke Papua –lanjut ABC Indonesia.
Ia bahkan dikabarkan ‘menebeng’ delegasi Vanuatu untuk masuk ke dalam sesi Sidang Umum.
Vanuatu –yang sejak Desember 2014 merupakan tempat berdiri dan markas ULMWP– merupakan satu-satunya negara anggota PBB yang mengangkat isu Papua di majelis tahun ini.
Namun, terkait hal tersebut, delegasi Indonesia di PBB telah menggunakan hak jawab (rights of reply) yang berisi kecaman dan meluruskan komentar sebagaimana dibuat oleh PM Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas.
Soal kehadirannya di New York, Benny Wenda mengatakan, “Pesan saya ke masyarakat internasional, kami sangat membutuhkan pasukan penjaga perdamaian PBB untuk masuk ke Papua,” ujarnya dalam wawancara kepada stasiun TV SBS Australia.
Pemerintah Indonesia telah menuduh Benny Wenda berada di balik kerusuhan di Propinsi Papua dan Papua Barat yang meletus sejak Agustus lalu hingga saat ini –termasuk di Wamena pada 23 September yang menewaskan puluhan orang.
Tidak diizinkan PBB
Tokoh Papua Nick Messet memastikan, PBB tidak mengijinkan Benny Wenda dan rombongannya masuk ke ruang sidang PBB dan bergabung bersama delegasi Vanuatu. Karena yang bersangkutan bukan warga negara Vanuatu.
“Tidak benar Benny Wenda ikut dalam ruang sidang bersama delegasi Vanuatu karena PBB membuat aturan yang ketat dan hanya mengijinkan perwakilan negara yang masuk dalam ruang sidang di New York,” kata Messet, seperti dilansir ANTARA, Minggu (29/9/19).
“Peraturan yang diterapkan PBB sangat ketat. Hanya warga negara yang bisa mewakili negaranya dan masuk dalam delegasi di Sidang Umum PBB,” lanjut Messet
Nick Messet yang ikut dalam delegasi RI bersama Maikel Manufandu menegaskan, selain Benny Wenda, rekan-rekannya juga tidak diijinkan masuk untuk mengikuti sidang.
Messet mengaku, dirinya sendiri yang menjadi Konsul Kehormatan Republik Nauru di Jakarta tidak bisa mewakili negara tersebut, karena masih berkewarganegaraan Indonesia. Sehingga, dalam Sidang Majelis Umum PBB, dirinya tergabung dalam delegasi Indonesia.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI mengaku tak bisa berkomentar banyak soal isu tersebut.
“Saya tidak di New York, jadi kurang memahami kondisi di sana,” ujar Teuku Faizasyah.
Namun ia menjelaskan ketatnya peraturan soal delegasi yang bisa masuk ke dalam ruang sidang majelis.
“Dari sisi aturan, untuk bisa hadir memang mengharuskan akreditasi, misalnya sebagai wakil negara. Kalau dia tidak bisa masuk, artinya dari sisi ketentuan mendasar
Tidak ada agenda
Nick Meset menambahkan, dalam rangkaian agenda Sidang Majelis Umum PBB di New York pekan ini, “tidak ada agenda yang membicarakan soal Papua dan referendum,” ujarnya seperti dikutip dari Antara.
“Apa yang disebarkan oleh kelompok tersebut (ULMWP pimpinan Benny Wenda) tidak benar atau hoaks,” lanjutnya.
“Karena itu, saya berharap agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan isu yang diembuskan Benny Wenda dan kelompoknya”, harap Meset yang pernah menjabat Menteri Luar Negeri OPM.
Disebut Nick Meset, kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah di Papua akibat provokasi Benny Wenda .
“Apa yang selalu dikatakan masalah Papua akan dibahas di PBB itu lagu lama karena sebelumnya dirinya bersama rekan-rekannya sudah lakukan bertahun-tahun yang lalu, sebelum Benny Wenda melakukannya,” kata Meset seraya mengajak agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan apa yang diungkapkan karena itu hanya janji palsu.
“Mari bersama-sama ciptakan rasa aman agar pembangunan dapat terus dilakukan hingga masyarakat di Papua benar-benar sejahtera,” ajak Nick Meset. Demikian Liputan6.com. (B-KC/L6/jr)