BENDERRAnews, 18/9/19 (Manila): Seperti Bung Karno, Presiden Pertama RI yang berkata “go to hell” kepada PBB, Presiden Filipina, Rodrigo Roa Duterte pun dengan geramnya menuding Perhimpunan Bangsa-Bangsa ini sebagai organisasi bodoh.
Duterte bahkan menolak PBB maupun Mahkamah Internasional yang bermaksud menyelidiki dugaan pelanggaran HAM atas aksi pembunuhan yang ia instruksikan terhadap para gembong Narkoba. Juga mengizinkan rakyat Filipina menembak pejabat yang ketahuan korupsi.
Bukan itu saja, Duterte menyatakan, Filipina keluar dari Mahkamah Internasional karena lembaga itu mencoba mengintervensi urusan rumah tangga negaranya.
Apa alasan kedua tokoh bangsa ini? Jelas, menyangkut kedaulatan negara. Republik Indonesia maupun Republik Filipina berdaulat penuh mengurus dan mengatur rumah tangga negaranya berdasarkan konstitusi serta aturan perundangan-undangannya.
Karena itu, segala macam intervensi asing yang sebagian besar bermuatan kepentingan politik, maupun ekonomi, harus ditolak.
Tangkap hidup atau mati
Terkini, Presiden Filipina Rodrigo Duterte kembali memperbarui tawaran hadiah besar bagi pihak jika bisa membantu dalam penangkapan ratusan terpidana yang dibebaskan karena kesalahan biro penjara. Duterte mengatakan, pemerintah bakal memberikan hadiah uang tunai hingga satu juta peso atau sekitar Rp269 juta untuk masing-masing buronan terpidana yang ditangkap.
Duterte juga menambahkan, hadiah akan diberikan meski terpidana tertangkap dalam kondisi hidup atau mati, tapi dia lebih senang untuk pilihan kedua.
“Hadiah satu juta (peso) bagi mereka yang bisa menangkap para buronan itu hidup atau mati. Tapi mungkin mati akan menjadi pilihan yang lebih baik.”
Duterte minta narapidana kasus kejahatan keji yang dibebaskan lebih awal untuk kembali ke penjara.
“Saya akan membayar Anda dengan tersenyum,” kata Duterte kepada wartawan, Selasa (17/9/19) malam lalu, waktu setempat.
Diketahui, kesalahan pembebasan para terpidana itu terjadi karena kekeliruan dalam menafsirkan program penghargaan perilaku baik terhadap lebih dari 1.700 terpidana pelanggaran berat dan berbahaya.
Hukum perilaku baik disahkan pada 2014 lalu di bawah pemerintahan pendahulu Duterte, yakni bertujuan untuk mencoba mengurangi populasi di sejumlah penjara yang paling padat di Filipina.
Lebih dari 21.000 terpidana telah dibebaskan di bawah hukum kelakuan baik tersebut. Namun pejabat kementerian kehakiman mengatakan terdapat lebih dari 1.700 di antaranya yang merupakan terpidana kasus kejahatan berat.
Terpidana kejahatan keji seperti pemerkosaan, Narkoba, pembunuhan, penyuapan, penjarahan, penculikan, dan pembakaran, seharusnya tidak memenuhi syarat untuk dibebaskan lebih awal di bawah hukum tersebut. Hal tersebut menjadi hal yang sangat memalukan bagi Duterte, mantan Walikota Davao City ini, dan telah dipilih jadi Presiden Filipina. Karena salah satu janjinya untuk membuat jalanan di Filipina lebih aman
Pada 4 September lalu, Duterte mengatakan, sekitar 1.700 narapidana yang dibebaskan lebih awal tersebut diberi jangka waktu 15 hari untuk menyerahkan diri dan kembali ke penjara atau akan dianggap sebagai buronan.
Kini setelah batas waktu semakin dekat, Duterte kembali mengingatkan tawaran kepada para terpidana tersebut dan juga warga Filipina untuk membantu penangkapan.
Presiden juga menuntut pengunduran diri kepala penjara, setelah menuduhnya tidak mematuhi perintah untuk tidak membebaskan narapidana yang dihukum atas kasus kejahatan keji.
Undang-undang tahun 2014 di Filipina memang memungkinkan tahanan untuk dapat dibebaskan lebih awal jika berperilaku baik. Namun aturan itu kini sedang kembali dicermati oleh parlemen, setelah dibebaskannya seorang mantan walikota yang sempat dihukum atas kasus pemerkosaan dan pembunuhan dua mahasiswa pada 1993.
Walikota itu terlihat sudah bebas sebelum masa hukumannya berakhir, memicu kemarahan warga. Namun surat pembebasan mereka dianggap tidak valid, karena perintah pembebasan tidak mendapat persetujuan dari Sekretaris Departemen Kehakiman. Demikian dilansir KOMPAS.com.
Tembak koruptor
Di bagian lain, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan kepada warganya untuk menembak pejabat publik yang ketahuan menerima suap. Duterte bahkan menjanjikan kekebalan hukum bagi warganya asalkan pejabat yang mereka tembak tidak tewas.
‘Perintah’ kepresidenan yang tidak biasa itu juga meminta warga Filipina untuk memukuli pejabat korup jika mereka temui, terlepas dari kemungkinan konsekuensi membahayakan bagi hukum dan ketertiban.
“Jika Anda membayar pajak, biaya atau mendapatkan sertifikat, dan pejabat meminta suap, pukul mereka. Jika Anda memiliki senjata, Anda dapat menembaknya, tetapi jangan membunuh, karena selama proses persidangan Anda mungkin tidak menerima pengampunan,” ujar presiden yang kerap berkata blak-blakan itu seperti dikutip dari Russia Today, Sabtu (14/9/19).
Ia menambahkan, mereka yang menerima tawaran itu tidak akan dikirim ke penjara, namun hanya akan dihukum secara fisik.
Duterte menjadi perhatian dunia internasional atas kebijakannya memerangi Narkoba. Ia berulang kali dikritik oleh kelompok-kelompok HAM, PBB dan masyarakat internasional yang lebih luas.
Pada Januari 2019, sekitar 5.000 orang diperkirakan telah tewas dalam perang anti Narkoba Duterte, meskipun kelompok-kelompok HAM mengklaim jumlahnya bisa lebih dari dua kali lipat dari itu.
Meskipun Duterte sangat berhati-hati untuk membedakan tanda terima kasih dari suap, Wakil Presiden Leni Robredo dan Senator Panfilo Lacson memperingatkan, “praktik pemberian hadiah mungkin akan mengembangbiakkan korupsi di kepolisian”.
Sebagai tanggapan, Duterte menyarankan pengritiknya untuk mempelajari lagi hukum.
“Anda dapat menerima hadiah, token, nominal, saya menggunakan kata-kata hukum. Itu ditemukan di Praktik Anti-Korupsi dan Korupsi,” kata Presiden Rodrigo Duterte, seperti diberitakan Sindonews.com. (B-KC/SN/jr)