BENDERRAnews, 22/7/19 (Jakarta): Atlet-atlet nasional diharapkan mampu mengharumkan nama bangsa, mengibarkan sang Merah Putih lewat prestasinya di gelanggang olah raga internasional.
Itu sebabnya, mereka sering mendapat atensi khusus Negara termasuk dalam pembiayaan untuk pelatihan dan malah mendapat status PNS.
Sayangnya, Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan menyinyalir ,saat ini banyak atlet berprestasi yang sudah direkrut kelompok radikal dan menyatakan diri ikut dalam kelompok tersebut.
Keyakinan itu didapatkan setelah menerima sejumlah laporan dari kalangan atlet maupun orangtuanya. Sesudah dilakukan penelusuran, ternyata memang ditemukan indikasi adanya puluhan atlet yang telah menyatakan diri masuk ke dalam kelompok radikal.
“Kami pikir para atlet sudah disibukkan dengan banyaknya aktivitas latihan yang padat, bahkan peraturan juga sangat ketat, tetapi ternyata itu bukan jaminan bebas dari perekrutan kelompok radikal,” kata Ken yang juga pendiri NII Crisis Center itu, Minggu (21/7/19) di Jakarta.
Diharapkan jadi kebanggaan
Disebutnya, seorang atlet yang dibiayai negara dan diharapkan bisa menjadi kebanggaan, malah justru terpapar radikalisme, dimana secara ideologi anti terhadap pemerintah dengan menganggap pemerintah tagut serta kafir.
Iya pun menceritakan, dirinya dulu seorang atlet pencak silat. Direkrut saat akan mengikuti pertandingan tingkat nasional di Jakarta. Namun karena ingin silaturahmi dengan kawan-kawan akhirnya direkrut kelompok radikal NII dan bergabung kurang selama tiga tahun.
Ken tidak menyalahkan sepenuhnya jika anak muda bergabung dalam kelompok radikal, karena cara perekrutannya cukup profesional dan multitafsir. Anak muda, menurutnya, memang semangatnya sedang luar biasa dan sedang mencari jati diri. Yang jadi masalah ialah jika bertemu dengan orang salah, sehingga belajar jihad yang keliru.
“Ketika kita tidak punya argumentasi yang kuat dalam berdebat, maka dipastikan kita akan kalah dan mengikuti argumentasi yang menang, itu konsekuensinya,” ujarnya, seperti dilansir BeritaSatu.com.
Melalui tatapan mata
Dikatakan, perekrutan kelompok radikal yang selama ini dikenal dengan cuci otak atau brainswash tidak selamanya benar. Mereka juga bukan dihipnotis, lantas tiba-tiba berubah.
Akan tetapi polanya ialah hipnosis, melalui tatapan mata, pengkondisian bahwa semua mempunyai pendapat yang sama.
Lalu ada pemutusan komunikasi supaya jangan disampaikan kepada siapapun selain kelompoknya saja.
Kemudian yang terakhir ialah indoktrinisasi atau pengulangan materi radikal secara terus-menerus, dimana sugestinya hukum Allah yaitu Alquran.
Bentengi anak mudi
Saat ini dirinya berharap pemerintah bisa segera turun tangan, terutama untuk membentengi kalangan muda khususnya kalangan atlet. Bila dibiarkan, kondisi ini akan terus menyebar dan akan sangat membahayakan.
“Para atlet yang sudah terekrut mungkin belum diajarkan untuk aksi bom, sebab baru teradikalisasi secara pemikiran. Tetapi kelompok radikal mengharapkan mereka akan menjadi virus di masyarakat sekitar,” ungkap Ken.
Ia berharap ke depan, para guru olahraga dan pelatih klub agar diberikan diklat kebangsaan tentang kepemimpinan Pancasila yang diharapkan menjadi training of trainner (TOT) agar bisa disampaikan lagi di lingkungan mereka masing-masing.
Ditegaskan, tidak ada jaminan orang terbebas dari bahaya radikalisme, sekalipun dia sudah tahu hal itu sesat dan menyesatkan. Semua orang sangat berpotensi direkrut kelompok radikal.
Ken Setiawan menjelaskan, persoalan ini merupakan tanggung jawab semua warga negara Indonesia. Bela negara bukan hanya tanggung jawab seorang aparat, namun menjadi tanggung jawab dan tugas semua elemen masyarakat. (B-BS/jr — foto ilustrasi istimewa)