BENDERRAnews, 11/5/19 (Jakarta): Gerakan people power yang digaungkan kelompok pendukung pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dinilai terlalu berlebihan.
Demikian pernilaian Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Robaytullah Kusuma Jaya, saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (11/5/19).
Roy, sapaannya, mengatakan, pihak-pihak yang tidak dapat menerima hasil akhir Pemilu mestinya menempuh langkah sesuai konstitusi.
“People power ini gerakan berlebihan. Padahal di negara ini sudah disiapkan ruang hukum apabila ada peserta Pemilu yang tidak terima dengan hasil KPU. Ini gerakan yang sangat-sangat naif dan sangat tidak berguna,” tegasnya, seperti diberitakan CNN Indonesia.
Tahan diri
Roy meminta pada siapapun termasuk kader GMNI untuk bersabar dan menahan diri terkait hasil akhir Pemilu. Pasalnya, saat ini KPU masih melakukan proses penghitungan dan baru akan diumumkan secara resmi pada 22 Mei mendatang.
“Jalur konstitusi yang sesuai undang-undang kan sudah ditetapkan, silakan diikuti. Kalau memang tidak diterima silakan melalui Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Sejumlah tokoh pendukung Prabowo-Sandi, seperti Amien Rais, dan Eggi Sudjana melontarkan sejumlah pernyataan tentang people power. Mereka mengingatkan KPU, agar adil dan tidak curang, sebab dikhawatirkan bila penyelenggara Pemilu curang, akan berhadapan dengan people power.
Pergeseran makna
Hal senada disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Saddam Al Jihad, yang menilai, gerakan people power saat ini telah mengalami pergeseran makna dan sangat politis.
“Jelas itu sangat politis karena momentum yang dibangun adalah persoalan politik dan ini sangat potensial menggiring opini antara (kubu) 01 dan 02,” ujarnya.
“Saya sangat tegas menolak gerakan-gerakan delegitimasi secara inkonstitusional. Artinya dalam skala politik pun kita harus berbasis hukum,” kata Saddam. “KPU, Bawaslu, sudah disumpah jabatan secara konstitusi maka dia punya kewenangan konstitusional. Ini yang harus kita hargai”, demikian Saddam Al Jihad. (B-CNN/jr)