BENDERRAnews, 28/3/19 (Jakarta): Motivasinya tetap kejar profit. Yakni, menggunakan label-label khusus untuk memancing minat konsumen. Itu juga yang akhir-akhir ini terjadi dalam bisnis perumahan. Yakni ada pengrmbrng yang menawarkan properti khusus hanya untuk kelompok sosial tertentu. Dan itu semakin banyak bermunculan dan bertambah marak.
Pengembang juga memasukkan konsep agama ke dalam persaingan bisnis propertinya.
Memasukkan konsep agama ke dalam bisnis properti dapat menimbulkan komodifikasi agama. Terlebih jika harga rumah yang ditawarkan mengikuti pasar. Artinya, tetap saja profit oriented.
Dan tengok saja, iklan yang menawarkan rumah tinggal khusus untuk kalangan tertentu, atau agama itu, dapat dengan mudah ditemui di situs-situs perumahan.
Pendangkalan relasi anter kelompok
Tentunya, bisa saja hal ini menguntungkan calon pembeli yang ingin tinggal dan berkumpul atau berada di lingkungan sebagaimana diinginkan.
Namun menurut Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto, dimasukkannya konsep agama dalam bisnis properti perumahan dapat menyebabkan pendangkalan relasi antar kelompok, mengingat perumahan ini hanya menyasar kalangan tertentu.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, jika rumah dipasarkan dengan identitas keagamaan atau kelompok tertentu berisiko memicu munculnya segregasi sosial lantaran perbedaan ras, etnisitas, maupun agama.
“Khawatirnya memang meningkatkan perasaan in group dan out group,” ujar Bagong seperti dilansir Kompas.com, Rabu (27/3/19) kemarin.
Bagong menambahkan, hal ini terjadi karena mayoritas masyarakat yang tumbuh dan tinggal di lingkungan homogen tidak terlatih untuk melihat kelompok yang berbeda.
Memicu tumbuhnya jarak sosial
Dengan kata lain, fenomena ini dapat memicu tumbuhnya jarak sosial antar kelompok masyarakat karena orang lebih nyaman berkumpul dengan komunitasnya sendiri.
“Bisa jadi (timbul jarak sosial), karena tidak melatih melihat kelompok yang berbeda,” ujarnya lagi.
Ia menggarisbawahi, memasukkan konsep agama ke dalam bisnis properti dapat menimbulkan komodifikasi agama. Terlebih jika harga rumah yang ditawarkan mengikuti pasar.
“Mungkin hanya sekadar strategi marketing saja,” tutur sosiolog Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman. (B-KC/jr)