BENDERRAnews, 8/3/19 (Sentani): Penjelajahan James Riady di pedalaman Tanah Papua berlanjut. Dan tengoklah anak-anak Papua berbaris rapi di pinggir landasan, yang dengan wajah ceria, tak henti-hentinya melambaikan tangan.
Saat pesawat berhenti di ujung lapangan, mereka dengan tertib menyanyi dan menari menyambut tamu. Sesudah melihat isyarat boleh mendekat, mereka pun menyerbu tamu yang ditunggu-tunggu dan selanjutnya berlari keliling pesawat.
Dalam catatan perjalanan Primus Dorimulu (Jurnalis senior BeritaSatu.com, dalam tajuk: “Membangun Papua dengan Hati”), menunjuk pemandangan seperti ini bisa disaksikan pada sejumlah teritori yang dikunjungi. Seperti di Mamit, Korupun, Daboto, Danowage, Nalca, dan Karubaga, enam Bandara yang disinggahi pesawat tipe Kodiak dan Cessna serta dioperasikan Mission Aviation Fellowship (MAF) selama tiga hari berturut-turut, Senin (25/2/19) hingga Rabu (27/2/19).
Pemandangan yang sama juga terjadi saat pesawat take off. Namun, berbeda dengan saat penyambutan, perpisahan selalu menyisakan kesedihan, terutama bagi para guru (SLH) dan perawat (Klinik Siloam) yang datang dari jauh.
Tarian suku di Nalca, Papua, menyambut kedatangan pesawat. (Foto: Primus Dorimulu)
Bawa kabar baik
Bagi masyarakat setempat, setiap kedatangan pesawat merupakan kabar baik. Pesawat biasanya membawa berbagai barang kebutuhan sekolah dan rumah sakit. Tanpa ada pesawat yang datang, daerah ini tidak bisa mendapatkan berbagai barang kebutuhan yang tidak dihasilkan di wilayah itu.
Sebuah rumah papan untuk asrama para guru Sekolah Lentera Harapan (SLH), perawat, dan dokter Klinik Siloam di Mamit, Yahukimo, Papua menelan biaya Rp4,1 miliar. Sangat mahal, karena seng, paku, beton, semen, dan berbagai bahan bangunan, selain kayu, dibawa dari luar dengan pesawat.
Pendiri Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) James Riady (kedua dari kiri) berfoto di Siloam Clinic, Danowage, Papua, bersama para staf. (Foto: Primus Dorimulu)
BBM satu harga yang ditetapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat membantu dan penting untuk mewujudkan keadilan sosial. Namun, BBM satu harga itu hanya di SPBU dan Pertashop, yakni stasiun BBM mini yang dibangun Pertamina. Sedang di daerah yang jauh dari SPBU dan Pertashop, harga BBM tetap saja mahal.
Di daerah pedalaman yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat, BBM merupakan barang istimewa. Para misionaris membangun pembangkit listrik tenaga matahari, solar sel.
Kesedihan juga menghinggapi para guru SLH serta perawat dan dokter Klinik Siloam yang berasal dari berbagai daerah. Namun, kesedihan itu tak pernah mengurangi kebahagiaan mereka. Karena bekerja sebagai guru SLH dan tenaga medis Klinik Siloam di tempat terpencil merupakan panggilan.
“Kami berbahagia karena bisa mengabdi,” kata Merry Tobing, Guru SLH di Danau Wage.
Alumnus Teacher College, Universitas Pelita Harapan (UPH) ini mengaku bahagia meski harus meninggalkan kampung halamannya. Bersama SLH, ia bersedia dikirim ke wilayah Papua terpencil lainnya.
Siswa SD Lentera Harapan di Danau Wage, Papua, sedang mengikuti kegiatan kelas. (Primus Dorimulu)
Hanya karena panggilan
Orang tak mungkin bisa memberikan roti jika ia tak memiliki roti. Demikian pula dengan kebahagiaan. Orang tak mungkin membahagiakan orang lain jika ia sendiri tidak bahagia.
Para guru SLH dan pekerja medis Klinik Siloam bekerja dengan sukacita. Mereka mampu tinggal di pedalaman Papua dalam jangka waktu bertahun-tahun karena panggilan.
Tanpa panggilan orang tak mungkin bisa bertahan di daerah terpencil seperti di pedalaman Papua.
Karena panggilan itu, mereka bekerja dengan penuh sukacita dan dengan hati yang riang, mereka mampu menjalankan tugas dengan tulus-ikhlas.
Anak Papua cerdas Matematika
Di kelas V SD asuhan SLH di Mamit, Selasa (26/2/19), satu per satu siswa dipersilakan ke depan untuk mengerjakan soal matematika yang diberikan ibu guru.
Mereka menjawab soal yang sudah ditulis di papan. Rekan sekelasnya diminta mengevaluasi. Ada lima anak yang ke depan, satu di antaranya, wanita. Semua soal dijawab dengan benar.
Tidak ada suasana tegang di kelas. Guru bicara dengan jelas sambil tersenyum. Anak murid pun menyambut dengan rileks.
Aplikasinya, matematika jauh dari kesan rumit dan menakutkan. “Anak-anak Papua umumnya cerdas dalam Matematika,” kata ibu guru.
Generasi baru ‘Mutiara Hitam’
Anak-anak Papua mampu belajar semua bidang ilmu, asalkan ada guru berkualitas dan tentu ditunjang nutrisi yang baik pula.
Jika persyaratan ini dipenuhi, dalam 15 tahun, dunia akan melihat lahirnya generasi baru ‘Mutiara Hitam’ yang hebat.
Kita mungkin masih ingat istilah ‘Mutiara Hitam’ yang sangat populer dilantunkan oleh kelompok musik Black Brothers, pimpinan Hengky Mirontone dari Bitung, Sulawesi Utara (Sulut). Band yang terdiri dari mayoritas anak muda Papua di era 1970-an itu, sempat melahirkan sejumlah hits, di antaranya ‘Mutiara Hitam’. Lagu ini menggambarkan sosok-sosok legenda sepakbola Indonesia dari Tanah Papua seperti Timo Kapissa, Johannes Auri dkk, yang sempat merajai Asia Tenggara, bahkan ditakuti di pentas Asia.
Nah, kali ini, lewat dunia pendidikan (kehadiran banyak SLH) dan kesehatan (adanya klinik-klinik Siloam), James Riady bertekad melahirkan generasi ‘Mutiara Hitam’ baru, bagi kegemilangan peradaban dan kemanusiaan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia tercinta.
“Kita harus mulai dengan pendidikan dan kesehatan, lalu ajari cara berekonomi dan berkegiatan lainnya untuk meningkatkan mutu hidup. Kita harus hentar mereka merasakan eratnya dekapan kasih mesra Ibu Pertiwi, Indonesia Raya tercinta,” tambah James Riady.
Aktivitas belajar mengajar di SD asuah Lentera Harapan di Mamit, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Membasuh luka sesama
Guru merupakan profesi terhormat. Tidak semua orang bisa menjadi guru. Selain memiliki kapabilitas dan integritas yang diperlukan, mereka harus mempunyai panggilan.
“Yah, ada bisikan Tuhan yang selalu memanggilnya untuk berkarya sebagai pendidik,” kata James T Riady, pendiri dan ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) — yang mengelola banyak Sekolah Lentera Harapan (SLH) di berbagai pelosok Tanah Air, utamanya di Papua.
Menjadi tenaga medis, dokter dan perawat, juga sama. Pekerjaan mereka (kata firman-NYA), ialah: “membasuh luka sesama”.
Pekerjaan yang berat ini ditambah pula oleh lokasi nan jauh, jika tanpa panggilan, orang tak mungkin bisa mengabdi di pedalaman Papua dan wilayah serupa di Indonesia.
Kisah bertemu pembunuh ayahnya
Di Mamit ada Pasutri yang sudah berusia di atas 80 tahun, yakni Wesley Dale asal Australia dan Ester Dale asal Kanada. Ayah Wesley, Stanley Dale, tewas pada usia 52 tahun dengan usus terburai akibat belasan anak panah yang menancap di perutnya, 25 September 1968.
Wesley dan Ester Dale di Mamit, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Dua tahun sebelumnya, 1966, Stanley Dale terkapar di tempat yang sama akibat 16 anak panah yang menancap di tubuh, termasuk di perut. Sesudah menjalani perawatan di Australia, Dale Senior sembuh. Ia pun kembali ke Papua dan masuk ke lokasi yang sama, yakni Kawasan Yahukimo.
“Orang suku Yali heran. Papa saya, kok, masih hidup. Mereka pun menarik busur dan memberondongkan anak panah ke tubuh ayah,” kata Wesley. Saat itu, ia masih remaja dan ikut ayahnya tinggal di Sentani. Sesudah ayahnya meninggal, ia dan saudaranya kembali ke Australia.
Sembilan tahun setelah kematian ayahnya, Wesley kembali ke Papua. Ia terpanggil untuk meneruskan karya ayahnya sebagai misionaris. Pada tahun 1981, ia bertemu pembunuh ayahnya. “Mereka malu dan merasa bersalah. Tapi, saya bilang, saya sudah memaafkan para pembunuh sejak ayah saya dinyatakan meninggal,” kata Wesley kepada BeritaSatu.com.
Cerita Wesley merupakan contoh konkret sebuah panggilan. Ketika Tuhan memanggil untuk menjadikan kita alat-Nya, kita tak bisa menampik. Wesley sudah membuktikannya. Begitu pula para guru SLH dan paramedis yang berasal dari berbagai wilayah Nusantara. Demikian James Riady memberi ilustrasi konkret.
Berjuang membangun Papua
Mereka ke Papua untuk membangun anak Papua. Membebaskan orang Papua dari buta aksara dan penyakit.
Mereka yakin, setiap manusia mampu meraih prestasi terbaiknya. Seperti kata James T Riady, setiap manusia diberikan sekitar 300 talenta oleh Tuhan.
Tugas orangtua dan guru ialah mendampingi anak didik untuk menemukan satu-dua bakat yang terbesar.
“Jika bakat terbesar itu ditemukan dan dikembangkan, anak akan menjadi orang paling hebat di bidangnya,” kata James.
Dia menyarankan, agar para orangtua dan guru atau siapa pun untuk tidak mendewa-dewakan satu bidang studi, matematika dan fisika, misalnya.
Setiap bidang studi penting bagi hidup manusia, karena manusia terdiri atas aspek badan, jiwa, dan rohani.
Pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia paripurna, lengkap. Otak kiri dan kanan harus seimbang. Otak kiri berperan untuk mengingat dan menganalisis. Otak kanan untuk emosi dan seni. Di sinilah pentingnya setiap disiplin ilmu.
Sekolah dan asrama dibiayai
Penampilan para guru SLH dan paramedis Klinik Siloam memberikan kesan tersendiri bagi Wally Wiley, chief advisor Mission Aviation Fellowship (MAF), maskapai yang menangani penerbangan ke daerah terpencil di pedalaman Papua.
Ia berterimakasih kepada Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) dan RS Siloam yang sudah mengirimkan tenaga guru serta paramedis berkualitas.
“Mereka sesungguhnya adalah misionaris,” kata Wally Wiley, pria asal AS yang sudah di Indonesia lebih dari 40 tahun.
Ia mengaku terpanggil untuk membangun Papua, dan ajaibnya, dua anaknya yang sekolah di AS kembali ke Indonesia serta memilih menetap di Papua, masing-masing, bersama suami besert istrinya.
Dua anak Wally, pria dan wanita, lahir di Indonesia, dimana keduanya memilih untuk menjadi misionaris seperti ayah serta ibu mereka.
Misionaris asal Amerika, Wally Wiley. (Foto: Primus Dorimulu)
Selain memiliki kapabilitas, integritas, dan panggilan, para guru serta paramedis di bawah YPHP tinggal di asrama selama mereka belajar di Universitas Pelita Harapan (UPH), Lippo Village, Karawaci.
Para calon guru dididik selama empat tahun di Teacher College dan perawat selama tiga tahun Medical College di UPH. Mereka berasal dari berbagai wilayah Indonesia yang diseleksi ketat.
“Sekolah dan asrama sepenuhnya dibiayai oleh Yayasan,” kata James.
Dalam setahun, biaya pendidikan yang dikeluarkan Yayasan sekitar Rp1,5 triliun.
Sumber dana berasal dari orangtua murid siswa dan dana yang disisihkan Lippo Group sekitar Rp200 miliar setiap tahun untuk menutup kekurangan. Dengan dana ini, Yayasan bisa memberikan bea siswa dan mengasramakan calon guru dan perawat serta membiayai siswa tidak mampu.
Sekolah gratis dan beasiswa
Saat ini Lippo Group memiliki sejumlah yayasan pendidikan, yaitu Yayasan Pelita Harapan (YPH), Yayasan Dian Harapan (YDH), Yayasan Lentera Harapan (YLH), dan Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP). Jumlah murid di bawah yayasan-yayasan ini sekitar 21.601 orang dan guru mencapai 1.731 orang.
YPH mengelola enam sekolah, termasuk Hope Academy di Puri Indah. YDP mengorganisasi 14 sekolah yang tersebar di Lippo Village, Cikarang, Bogor, Jakarta, Palembang, Bangka, Lubuk Lingga, Medan, Makassar, Ranotana (Manado), Holland Village (Manado), dan Kupang. YDH juga mengelola UPH College di Lippo Village.
Sedang YLH mengelola 24 SLH di berbagai lokasi yang tersebar dari Merauke hingga Sabang. Ada tujuh SLH di Sumatera, dua di Jawa, tiga di NTT, empat di Sulawesi, satu di Maluku, dan tujuh di Papua.
Khusus untuk Papua dibentuk satu yayasan, yakni YPHP. Selain enam di pedalaman Papua, YPHP juga mengasuh Kampung Harapan di Sentani.
Semua siswa di pedalaman Papua sekolah gratis. Para guru dan perawat sepenuhnya dibiayai yayasan.
Para siswa SD Lentera Harapan di Mamit, Papua, bertemu dengan para pengelola Yayasan Pendidikan Harapan Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
“Kami sangat ketat mendidik guru. Tidak semua calon guru yang masuk Sekolah Guru otomatis menjadi guru,” tukas James.
Di tengah jalan, calon yang tidak menunjukkan komitmen terhadap panggilan dikeluarkan dari sekolah.
Peran asrama sangat penting dalam pembentukan karakter para calon guru dan paramedis. Selama masa pendidikan, mereka dibekali pengetahuan, motivasi, dan kebiasaan hidup yang baik. Mereka dibiasakan hidup sebagai pelayan dan pemimpin yang mengajar dengan contoh hidup yang benar.
Pihak Lippo pernah menawarkan bea siswa kepada anak Papua lewat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua pada era Gubernur Barnabas Suebu tahun 2010. Ada dua program, yakni pertama, beasiswa ke luar negeri dengan masa persiapan di UPH. Program ini dibiayai Pemprov Papua. Kedua, UPH merekrut dan mendidik anak Papua di UPH dengan biaya sepenuhnya dari UPH.
“Pemprov sempat membiayai dua tahun pertama. Selanjutnya, Pemprov tidak lagi membiayai,” kata Andi Rumrar, guru SLH di Mamit, Papua.
Ia mahasiswa Teacher College, UPH, angkatan 2013 yang sempat dibiayai Pemprov Papua.
Panel surya sebagai pembangkit listrik di Daboto, Papua. (Foto Primus Dorimulu)
Para orangtua murid di Danowage, Mamit dan Nalca meminta YPHP untuk membangun sekolah hingga SMP dan SLTA. Mereka menunjuk contoh gagalnya anak Papua yang mengenyam pendidikan di kota kabupaten dan provinsi karena karakternya belum sungguh terbentuk. Saat nilai agama dan budaya belum kuat dihayati, anak mudah terpengaruh kehidupan modern di kota.
Asrama bagi anak Papua dinilai sebagai salah satu solusi yang tepat untuk membangun karakter. Dalam kehidupan bersama di asrama, mereka membiasakan diri untuk menghayati nilai-nilai agama dan budaya yang baik dari leluhur.
Bukan soal uang
Kemiskinan Papua bukan karena uang. Dana dari pusat mengalir deras ke Bumi Cendrawasih. Bukan saja dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil kekayaan alam. Pusat juga menggelontorkan dana otonomi khusus (Otsus) dan dana infrastruktur.
Sejak UU Otsus bagi Papua diberlakukan tahun 2001, total dana Otsus yang mengalir ke Papua selama periode 2002-2018 sudah mencapai Rp75,1 triliun. Ditambah dana infrastruktur sebesar Rp23,3 triliun, total dana yang mengalir ke Papua sejak 2002 mencapai Rp98,4 triliun.
Dana itu belum termasuk DAU dan DAK serta dana bagi hasil. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua tahun 2018 sebesar Rp14,1 triliun dan 2019 sebesar Rp13,9 triliun. Pendapatan asli daerah (PAD) hanya enam persen. Selebihnya, 94 persen, merupakan dana transfer dari pusat.
Sebagaimana daerah lainnya, dana pusat juga mengalir ke Papua lewat program dana desa. Setiap desa dan kelurahan mendapatkan dana minimal Rp1 miliar setiap tahun. Pemerintah juga menggulirkan program sosial, termasuk jaminan sosial lewat Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Semua dana ini, kata sejumlah ekonom, cukup untuk menyejahterakan sekitar 3,7 juta penduduk Papua. Namun, mengapa warga Papua tetap miskin dan sebagian masuk kategori terbelakang?
Jawabannya, ialah, kesalahan elite politik, baik yang berada di Jakarta maupun di Papua, dalam mengelola dana-dana itu.
Dana pendidikan dan kesehatan tidak sampai kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan merata ke seluruh masyarakat. Warga Papua di pedalaman tidak mendapatkan pelayanan pemerintah. Di Daboto dan sejumlah wilayah terpencil di Papua, bahkan seperpti “tidak ada pemerintahan” (simak tulisan di dua edisi sebelumnya, Red). Sekolah dan klinik pemerintah tidak ada.
Sedang di daerah yang ada gedung sekolah, kegiatan belajar-mengajar tidak ada. Karena guru hanya hadir sekali dalam sebulan atau dua bulan. Klinik tanpa pelayanan. Di kota kabupaten pun, rumah sakit tidak memberikan pelayanan yang benar kepada masyarakat.
Tidak mencari bisnis
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw mengakui RSUD-nya jauh dari ideal. Karena itu, ia merespons positif tawaran James Riady agar pengelolaannya diserahkan kepada Siloam minimal lima tahun.
Semua biaya yang dikeluarkan Siloam tidak perlu dikembalikan, karena hal itu merupakan bagian dari kegiatan kemanusiaan Lippo Group.
“Kami tidak mencari bisnis di Papua. Di sini, sepenuhnya, kami melakukan kegiatan kemanusiaan,” ujar James dalam diskusi santai dengan bupati Jayapura.
Kerjasama dengan RSUD dan Puskesmas setempat dinilai James sebagai langkah paling cepat untuk membantu rakyat Papua.
Bupati Jayapura Mathius Awoitauw. (Foto: Primus Dorimulu)
Papua ada di hati James
Saat ini, YPHP dan Siloam sedang mencari lokasi baru di Papua untuk membuka SLH dan Klinik Siloam. Salah satu tempat di pedalaman yang segera dibangun YPHP ialah Tumdungmou, Pegunungan Bintang.
Papua memiliki tempat tersendiri di hati James. Tanah Papua diakuinya memberikan dampak besar terhadap perjalanan hidupnya.
Saat didera kegalauan, ke Papua dan di pulau paling timur Indonesia itu ia bertobat pada tahun 1990.
Saat kembali ke Jakarta, Papua selalu memanggilnya. Hati kecilnya selalu membisikkan permintaan untuk membantu Papua.
Ia kemudian memutuskan untuk membentuk yayasan dengan misi utama membangun pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat yang tertinggal, baik di Papua maupun di wilayah Indonesia bagian timur lainnya. Kini SLH ada di 24 lokasi, di antaranya, 15 lokasi di Indonesia bagian timur.
Pendiri Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) James Riady memegang busur dan panah saat berkunjung ke Danowage, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Di setiap titik singgah, James tampak ceria dan penuh semangat. Di Bandara Daboto, ia berlari bersama siswa SLH dan anak Papua yang belum sekolah.
Di Bandara Danowage, ia berlari kecil bersama penari setempat. Di setiap kunjungan ke kelas, ia aktif berdialog dengan para siswa. Ia seperti mendapatkan energi berlimpah saat di tengah anak Papua.
Noblesse oblige
Pembangunan Papua harus dimulai dari pendidikan dan kesehatan. Lalu perlahan mereka diajari kegiatan ekonomi. Untuk itu, infrastruktur perlu dibangun, mulai dari infrastruktur dasar, yakni air bersih dan sanitasi, hingga infrastruktur transportasi, energi, dan telekomunikasi.
Dana untuk pendidikan dan kesehatan harus sampai ke masyarakat, tidak ada yang menguap di tengah jalan. Dana infrastruktur sungguh dimanfaatkan untuk pembangunan agar setiap wilayah terkoneksi dan warga mendapatkan pelayanan.
Anak Papua ditanamkan semangat kemandirian. Mereka yang tidak menjadi pendeta, guru, pegawai negeri dan pekerja di sektor formal perlu dididik menjadi pekerja mandiri. Sektor pertanian, misalnya, sangat terbuka lebar bagi anak Papua.
Membagikan uang tunai kepada warga Papua dalam jangka waktu yang lama sama sekali tidak membantu mengangkat kesejahteraan Papua. Saat mengunjungi Karubaga, ibukota Tolikara, BeritaSatu.com melihat betapa pria dewasa Papua mondar-mandir di pertokoan dan menyusuri jalan-jalan kota.
Sejumlah pemuda di Karubaga, Papua, berkumpul di depan sebuah toko. (Foto: Primus Dorimulu)
Menjawab pertanyaan, sopir yang membawa BeritaSatu.com menjelaskan, pria dewasa Papua diberikan dana desa dalam bentuk tunai. Dengan dana desa itu mereka belanja untuk keperluan konsumsi. Sebagian untuk rokok dan minuman. Belum sampai pertengahan bulan, uang sudah habis. “Yang bekerja di kebun adalah para ibu,” kata sopir kelahiran Karubaga tersebut.
Orang Prancis bilang, “Noblesse oblige“. Artinya setiap orang yang sudah tercerahkan wajib memikirkan dan membantu mereka yang masih tertinggal.
Dana pusat yang mengalir ke Papua wajib dimanfaatkan dengan benar, agar bisa mengangkat kesejahteraan dan martabat rakyat Papua. Elite politik yang berada di Jakarta dan Papua bertanggung jawab penuh terhadap pemanfaatan dana yang sangat besar itu.
Berilah hatimu kepada anak Papua
Membangun Papua tak cukup hanya dengan uang, melainkan harus dengan hati. Setiap orang yang hendak membangun Papua harus juga memberikan hatinya kepada Papua. Mereka merupakan orang yang terpanggil untuk mengabdi di Papua, bukan sekadar bekerja di Papua.
Seorang guru SLH asal Papua di Kampung Harapan, Sentani mengungkapkan harapannya agar generasi baru Papua bangkit. Mereka harus benar-benar menjadi “mutiara dari timur”. Namun, ia mengingatkan, untuk menghasilkan generasi baru Papua yang hebat, setiap yang terlibat dalam pembangunan Papua harus bisa memberikan hatinya.
“Berilah hatimu kepada anak Papua. Mereka akan memberkan kepadamu hatinya,” katanya pada makan malam dengan James T Riady, anggota Dewan Pengelola YPHP, Aileen Hambali Raidy, dan putri bungsu Mochtar Riady, Minny Riady, Selasa (26/2/19).
Bekerja dengan hati ditekankan berulang kali oleh Aileen kepada setiap guru dan paramedis di setiap wilayah Papua yang dikunjungi. Mengutip seorang sosiolog, ia mengatakan, dunia tidak diubah oleh akademisi, melainkan oleh mereka yang dipakai Tuhan. Karena mereka yang dipakai Tuhan sungguh bekerja dengan hati. (B-BS/jr)