BENDERRAnews, 7/3/19 (Sentani): Masih mengacu pada reportase dan tulisan BeritaSatu.com, di “Seri Jelajah” James Riady Edisi ke-4 ini, redaksi mengungkap catatan investigatif menelusur pedalaman Tanah Papua dari jurnalis senior Primus Dorimulu, yang judul aslinya: “Berilah Anak Papua harapan”.
Tulisan ini berdasar pengalaman spektakuler James Riady bersama rombongan menyusur ngarai, gunung, lembah dan dataran luas lagi kaya di empat wilayah Provinsi Papua (Kabupaten Jayapura, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Boven Digoel).
Ketika itu, Papua tampak biru dari udara. Setiap jengkal tanah, dari bibir pantai hingga pegunungan tertinggi, ditumbuhi pepohonan nan subur. Sesekali pemandangan biru diselingi sungai besar yang tampak bagaikan garis putih dari udara. Di bawah tanah, bumi Papua kaya akan berbagai jenis mineral, terutama emas dan tembaga.
Kontras dengan alam yang kaya raya, penduduk Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian orang asli Papua masih terbelakang, bahkan primitif. Sudah banyak dana pusat yang diguyur ke dua provinsi di pulau terbesar ini, yakni Provinsi Papua dan Papua Barat. Namun, dua provinsi itu masih tercatat sebagai yang termiskin di Indonesia.
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), September 2018 menunjukkan, penduduk miskin di Provinsi Papua 915.220 orang atau 27,4 persen dari total penduduk. Sedang di Papua Barat, penduduk miskin 212.670 orang atau 22,6 persen.
Mereka hidup tanpa pemerintahan
Papua Barat dan Papua menempati peringkat teratas sebagai provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia, jauh di atas rata-rata penduduk miskin nasional, 9,6 persen.
Hmmm…..Provinsi terkaya, rakyat termiskin.
Penduduk termiskin berada di wilayah pedalaman Papua dan Papua Barat. Banyak penduduk di dua provinsi ini yang belum mendapatkan pelayanan apa pun dari negara.
Ya, mereka hidup tanpa pemerintahan.
Wilayah yang luas, pola hidup masyarakat yang umumnya nomaden, dan infrastruktur transportasi darat yang minim menyulitkan aparat negara menjangkau mereka.
Mereka benar-benar hidup miskin tanpa masa depan yang lebih baik. Ironi memang.
Perkampungan asli di Mamit, Papua, dengan rumah tradisional Honai yang menggunakan panel surya sebagai sumber listrik. (Foto: Primus Dorimulu)
“They have no money, no clothes, no education, no goverment, and no hope,” kata Stephen Crockett, misionaris asal AS yang menetap di Daboto, Kecamatan Biandoga, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Rabu (27/2/19).
Stephen dan rekan-rekannya menemukan Daboto tahun 2000. Pemerintah Indonesia baru mengetahui ada Daboto setelah penemuan mereka itu.
Begitu mendengar kabar ada atap rumah yang terlihat dari udara di pedalaman Papua, kata Stephen, dia dan rekannya mencoba melacak.
Helikopter mereka mendarat di kebun penduduk. “Kami takut anak panah. Tapi, mereka tidak melukai kami, bahkan sebaliknya bersedia menerima kami,” ujar Stephen yang biasa disapa Steve.
Steve Crockett, misionaris asal AS yang pertama kali menemukan warga Daboto, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Terletak di sebuah lembah yang dikelilingi gunung-gunung tinggi dan lancip, Daboto benar-benar jauh dari dunia luar. Untuk mencapai Nabire, penduduk memerlukan waktu tiga hari tiga malam. Sudah lama wilayah ini tidak mengalami pemerintahan.
Meski akhirnya Daboto masuk Kabupaten Intan Jaya, hingga saat ini belum ada satu pun jenis pelayanan yang diberikan pemerintah.
SLH bawa peradaban baru
Steve dan istrinya, Carolyn, tinggal di Daboto bersama penduduk suku Moi. Jumlah mereka sekitar 500, tersebar di gunung-gunung, dan sebagian lelaki dewasa masih menggunakan koteka. Saat pertama bertemu tahun 2000, suku Moi yang tinggal di sekitar Daboto baru sekitar 100 orang.
Sejak ada Sekolah Lentera Harapan (SLH), orangtua murid memilih tinggal di Daboto agar bisa mengawasi langsung anak mereka. Setiap Jumat sore, mereka kembali ke gunung-gunung untuk bekerja. Dan Minggu kembali ke Daboto untuk beribadah dan sekaligus menetap hingga Jumat berikut guna mendampingi anak-anak mereka.
Nah, sejak SLH masuk, mulai terlihat ada peradaban baru.
Kesediaan orang tua murid di Daboto untuk tinggal bersama anak-anaknya yang sedang belajar, menunjukkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan. Mereka membuat rumah tradisional yang disebut “honai”.
“Kami ingin anak-anak kami hidup lebih baik dari kami,” kata Lukas, penduduk suku Moi.
Meski anaknya masih kecil, Lukas yang selalu menenteng busur dan panah bertekad untuk mendorong anaknya sekolah. “Saya mau anak saya menjadi seperti Bapak dan Ibu,” ujar Lukas dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Lukas (kanan) bersama siswa Sekolah Lentera Harapan di Daboto, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Dompet mereka: “busur-panah”
Busur dan panah bagi orang Daboto, demikian Steve, merupakan dompet mereka. Mereka tidak punya apa-apa. Jangan membayangkan uang rupiah dan tabungan di bank. Mereka tidak mengenal itu semua.
Di rumah tinggal mereka tak ada barang apa pun, selain bahan makanan untuk beberapa hari dan noken, yakni tas buatan sendiri untuk membawa bahan makanan dari kebun serta juga bayi.
Tidak ada mebel dan tak ada pakaian. Ada sedikit perhiasan buatan sendiri, yaitu kalung yang terbuat dari tulang binatang, bebatuan, biji pohon pilihan, dan gigi tikus pohon. Ada jenis logam yang sudah diolah menjadi mata uang. Namun, benda itu hanya dimiliki oleh beberapa kepala keluarga. Alat tukar tidak populer di Papua.
Ada juga beberapa jenis senjata asli Papua, yakni belati dari tulang babi dan kapak batu. Namun, yang selalu melekat di badan pria Papua pedalaman ialah busur-panah.
Tidak salah ketika Steve menyebut senjata itu merupakan dompet mereka. Kebutuhan utama mereka ialah bahan makanan. Ketika tidak punya daging, pria Papua mengangkat senjatanya untuk memanah binatang dan burung. Tentu saja, busur-panah sangat penting untuk berperang dan sekadar mempertahankan diri.
Orang Papua pedalaman, seperti di Daboto, Mamit, Nalca, dan Korupun makan ubi-ubian dan sayur. Protein didapatkan dari binatang darat dan burung. Oleh karena itu, pria Papua pedalaman harus piawai memanah.
Cara memasak tradisional menggunakan batu panas di Nalca, Yahukimo, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Bahan makanan umumnya dibakar dan salah satu cara memasak untuk melayani orang dalam jumlah besar ialah “membakar” batu. Batu dibakar hingga panas. Lalu batu panas dipindahkan ke atas dedaunan yang sudah disiapkan. Di atas batu panas itu diletakkan bahan makanan, mulai dari ubi-ubian, sayuran, hingga daging. Di atas bahan makanan diletakkan lagi daun-daunan.
Setelah 15 menit, bahan makanan sudah menjadi makanan siap saji. Tidak ada garam dan cabai. Makanan siap santap itu langsung dikonsumsi. Lezat… karena kematangannya tidak langsung kena bara atau nyala api.
Babi mati, potong Jari
Satu-satunya ternak orang Papua pedalaman adalah babi. Pada masyarakat yang masih primitif, babi dimasukkan dalam honai dan menjadi bagian dari penghuni rumah.
Babi merupakan binatang yang sangat tinggi nilainya. Selain sumber protein, babi merupakan simbol status sosial dan digunakan sebagai belis atau mas kawin. Mereka yang punya banyak babi, bisa mendapatkan wanita lebih dari satu.
Karena itu, babi piaraan menjadi perhatian utama orang Papua pedalaman. Seorang ibu dari Mamit, tahun lalu memotong jari tangannya sebagai ungkapan perasaan bersalah, karena 15 babinya sakit dan mati.
Sebelum agama Kristen masuk ke pedalaman, Orang Papua masih percaya animisme. Setiap benda hidup dan benda mati dianggap memiliki kekuatan supranatural, yang bisa memberikan keberuntungan dan petaka.
Dengan memotong jari telunjuknya, sang ibu hendak menunjukkan perasaan bersalah sekaligus menyilih dosanya. Dia yakin, babinya mati karena dirinya kurang menunjukkan kasih sayang kepada babi.
“Jangan lagi memotong tanganmu, ya Bu. Manusia jauh lebih berharga dibanding seluruh mahluk di bumi, termasuk babi,” kata Aileen Hambali Riady, anggota Dewan Pengelola Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) di Nalca, Selasa (26/2/19).
Tiga pilar mendidik anak
Manusia, kata Aileen, merupakan mahluk Tuhan tertinggi, yang diciptakan sesuai gambaran dan citra Allah. “Yang harus dimuliakan ialah manusia, bukan mahluk lain. Karena manusia merupakan gambaran Allah sendiri”, tutur Aileen dengan nada penuh kasih.
Yang bisa menolong hidup kita, demikian Aileen, ialah Tuhan. “Karena itu, hanya Tuhanlah yang wajib kita sembah. Kita harus terus-menerus berusaha mengenal dan dekat dengan Tuhan kita serta menjalankan perintah-Nya,” demikian Aileen meyakinkan para ‘Mama Papua’ itu.
Ya, para orangtua murid itu pun mendengarkan dengan penuh takzim sambil duduk bersila.
Pada kesempatan yang sama, Pendiri dan Ketua Dewan Pembina YPHP, James Riady, mengingatkan pentingnya tiga pilar dalam mendidik anak.
Pertama, keluarga sebagai tempat pertama dan utama dalam pendidikan. Anak-anak belajar mengasihi dari orang tua. Dia belajar mengampuni dari orang tua. Kedua, sekolah yang baik. SLH hadir untuk memberikan pendidikan yang baik.
Ketiga, agama. Sebagai umat Kristen, anak-anak diajak ke gereja. Selain mendengarkan firman Tuhan, di gereja mereka berkumpul bersama orang lain untuk saling meneguhkan dan memperkaya iman.
Seorang ibu dari Mamit, Papua (kiri), berkisah telah memotong jari tangannya sebagai ungkapan perasaan bersalah karena 15 babinya sakit dan mati. (Foto: Primus Dorimulu)
Datang memberikan harapan
Selain memiliki Sekolah Lentera Harapan (SLH) di Kampung Harapan, Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, YPHP kini beroperasi di enam wilayah terpencil, yakni Deboto, Kabupaten Intan Jaya; Korupun, Kabupaten Yahukimo; Nalca, Kabupaten Yahukimo; Mamit, Kabupaten Tolikara; Danowage, Kabupaten Boven Digul; dan Karubaga, Kabupaten Tolikara. Dalam tiga hari, Tim BeritaSatu.com mengunjungi enam daerah terpencil itu.
Mulai beroperasi Agustus 2016, SLH di Daboto saat ini mendidik 48 siswa. Dengan lima guru tamatan Teacher College, Universitas Pelita Harapan (UPH), SLH kini menangani tiga kelas SD, yakni kelas I hingga III. YPHP sudah membangun gedung sekolah di tanah yang diserahkan suku setempat.
Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) James T Riady bersama para siswa Sekolah Lentera Harapan di Daboto, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Bersamaan dengan SLH, YPHP juga membangun Klinik Siloam di Daboto. Setiap hari, ada belasan pasien yang datang ke klinik. Mereka dilayani seorang dokter dan dua perawat alumni UPH.
Di keluarga, anak-anak Papua tidak biasa diajari menghormati orang tua. Budaya ini terbawa hingga mereka menempuh pendidikan. Karena itu, tantangan utama para pendidik adalah disiplin anak Papua yang kendor. Tantangan kedua adalah mengubah pandangan orangtua agar memperlakukan anak wanita setara dengan anak pria.
Klinik Siloam di Danowage, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Mamit mendapatkan tempat tersendiri di hati Aileen Hambali Riady dan James T Riady, pendiri dan ketua Dewan Pembina YPHP. Karena di tempat inilah mereka pertama kali membangun SLH dan Klinik Siloam, Agustus 2013.
Tahun ini, SLH sudah mencapai enam kelas, kelas I hingga VI SD. Ada sekitar 243 siswa yang ditangani 19 guru alumni Teacher College, UPH. Sedang Klinik Siloam ditangani dua perawat, alumni sekolah perawat UPH.
Tiga tahun kemudian, Agustus 2016, SLH dibuka di Daboto dan Karubaga. Saat ini baru ada Kelas I hingga III SD di Karubaga. Jumlah murid 66 orang dan ditangani enam guru.
Belum ada Klinik Siloam di ibu kota Tolikara ini, karena sulitnya mendapatkan lahan. Para pendeta setempat, asli Papua, sudah berjanji kepada James untuk memberikan tanah untuk rumah sakit.
Setahun kemudian, Agustus 2017, YPHP mendapatkan kesempatan membangun SLH di Korupun, Danowage, dan Nalca. Di Korupun, SLH mengelola kelas I hingga III SD. Saat ini ada 80 siswa yang ditangani enam guru lulusan Teacher College, UPH. Sedang Klinik Siloam dilayani dua perawat.
Di Danowage, SLH kini mendidik 33 murid Kelas I hingga II SD. Meski tanah Danowage merupakan milik ulayat suku Korowai, sebagian besar siswa berasal dari suku Lani. Misionaris setempat sudah membangun asrama untuk menampung anak-anak suku Korowai dan Lani yang menetap di gunung-gunung dan wilayah dataran yang jauh.
Para staf Sekolah Lentera Harapan dan Klinik Siloam Daboto, Papua, berfoto bersama James T Riady dan siswa sekolah setempat. (Foto: Primus Dorimulu)
Dokter dan ibu guru cantik
Ada Klinik Siloam dengan seorang dokter wanita cantik asal Yogya dan dua perawat. Wilayah Danowage sangat datar, tapi sepi penduduk. Dengan landasan pesawat yang sudah diaspal diharapkan penduduk asli bersedia tinggal di Danowage.
Di Nalca, 96 anak suku Mek kini sedang dididik oleh enam guru SLH tamatan Teacher College, UPH. Baru kelas I dan II SD.
Namun, semangat masyarakat setempat cukup besar untuk menyekolahkan anak. Masyarakat Nalca mendapatkan akses kesehatan lewat Klinik Siloam yang dilayani dua perawat.
Kondisi ekonomi penduduk Papua pedalaman saat ini tidak menunjukkan adanya harapan. Kendati begitu, di dada setiap anak Papua tertanam harapan yang kuat untuk maju dan berdiri sejajar dengan suadara sebangsanya di wilayah Indonesia lainnya.
“Saya harap anak-anak Papua bisa jadi orang kelak. Mereka bisa maju seperti orang lain di Indonesia,” kata Sylvia Makabore, guru SLH di Danowage.
Ibu guru berparas cantik ini berasal dari Serui.
Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) James T Riady menggendong bayi dalam noken di Danowage, Boven Digul, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Dekapan mesra ‘Ibu Pertiwi’
Kehadiran para guru SLH tidak saja membawa anak Papua pada Tuhan. Melainkan juga merangkul anak Papua agar merasakan dekapan mesra Ibu Pertiwi, Indonesia Raya.
“Saya senang sekali ketika anak Papua dengan kesadaran sendiri menggambar burung Garuda dengan simbol-simbol Pancasila,” ujar seorang guru di Daboto.
Orangtua murid Sekolah Lentera Harapan di Nalca, Papua, mendengar penjelasan Aileen Hambali Riady, anggota Dewan Pengelola Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP). (Foto: Primus Dorimulu)
Pada tahun 2016, Papua yang memiliki luas daratan 309.934 km persegi dihuni 3,6 juta penduduk. Kepadatan penduduk 11,8 jiwa per km. Bandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk Indonesia yang mencapai 125 orang per km persegi.
Etnis asli Papua sekitar 52 persen. Ada banyak suku Papua, namun yang terbesar di antaranya ialah suku Amungme, Arfak, Asmat, Dani (Lani), Damai, dan Yali. Satu catatan penting untuk menjadi atensi khusus, sekitar 82 persen penduduk Papua beraga Kristen Protestan dan Katolik.
Almarhum Franky Sahilatua, pria Maluku, pernah menggubah lagu “Aku Papua”. Lagu itu dipopulerkan oleh penyanyi Papua, Edo Kondologit dan kini nyaris menjadi lagi wajib anak Papua. Anak-anak Papua menyanyikan lagu ini dengan semangat menyala-nyala. Di beberapa daerah Papua, lirik lagu ini sedikit diubah. Berikut tiga bait lirik asli lagu Aku Papua karangan Franky.
“Aku Papua
Tanah Papua tanah yang kaya.
Surga kecil jatuh ke bumi.
Seluas tanah, sebanyak batu
adalah harta harapan.
Tanah Papua tanah leluhur.
Di sana aku lahir.
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan.
Hitam kulitku, keriting rambutku.
Aku Papua.
Hitam kulitku, keriting rambutku. Aku Papua.
Biar nanti langit terbelah
aku tetap Papua.”
Merupakan tugas negara dan sesama warga Indonesia yang peduli untuk menjadikan tanah Papua dan tanah Indonesia, Merauke sampai Sabang, tanah harapan bagi anak Papua.
Berilah mereka harapan akan masa depan. Bukan hanya bumi Cendrawasih yang bisa mereka nikmati, melainkan seluruh wilayah Indonesia.
Sylvia Makabore (tengah), guru Sekolah Lentera Harapan di Danowage, Papua. (Foto: Primus Dorimulu)
Kedatangan para misionaris di pedalaman Papua, wilayah terpencil yang tak terjangkau pelayanan negara, mestinya mampu mengetuk nurani kita semua untuk mengambil langkah konkret: memberikan harapan kepada anak Papua. Dan James Riady bersama Aileen Hambali, dengan semangat kasih yang menembus batas, datang dengan hati, memberi harapan kepada anak Papua, merangkul mereka tuk merasakan dekapan penuh kasih mesra sang ‘Ibu Pertiwi’, Indonesia Raya tercinta. (B-PD/BS/jr)