BENDERRAnews, 5/3/19 (Jayapura): Ini merupakan artikel kedua dalam seri “Mengulas penjelajahan James Riady di rimba Papua”, yang juga akan ditayang BENDERRAnews pada edisi-edisi berikutnya.
Syahdan !!! Dari penjelajahan James Riady disertai Aileen Hambali Riady di empat wilayah pedalaman Tanah Papua, terkuaklah beragam problematik kehidupan warga di sana.
Faktanya, banyak wilayah di Papua yang belum tersentuh pembangunan. Sistem pendidikan juga baru tingkat sekolah dasar, itu pun atas inisiatif swasta. Demikian sorotan BeritaSatu.com.
Bahkan masih ada ribuan WNI di sana yang belum mendapat akses ke layanan pemerintah, sehingga bisa dikatakan tanpa pemerintahan.
Namun, ihwal terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan, itu menjadi problem paling utama dan sangat mendesak.
“Perlu komitmen lebih untuk memajukan pendidikan bagi anak-anak di Papua. Bukan hanya dari pemerintah, tetapi dari masyarakat yang peduli pula. Sebab, masih sangat banyak anak usia sekolah di Papua belum terjangkau pendidikan dasar,” ungkap James.
Disebutnya, ada beberapa faktor yang patut menjadi atensi serius. Yakni, faktor geografis serta kultur.
Dari hasil penjelajahannya, terungkap pula fakta, pendidikan dasar di Papua juga mendapatkan tentangan tradisi. Sebab, masih ada sub-suku di Papua yang melarang anak perempuan ke sekolah. Ini tantangan kita bersama.
Dikatakannya, banyak anak usia sekolah tidak bisa menikmati pendidikan, karena lokasi gedung sekolahnya jauh. Karenanya, pihaknya menemukan beberapa gedung sekolah yang kurang dimanfaatkan, padahal pemerintah sudah membangunnya dengan biaya mahal.
“Tetapi faktor lainnya, ialah, soal komitmen para pendidik. Pasalnya, ada beberapa sekolah itu tidak memiliki guru. Kalau pun ada, dia tidak siap datang mengajar rutin tiap hari,” ungkapnya lagi.
James terobos pedalaman
James Riady, yang juga selaku pendiri Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP), memang sudah mencanangkan tekadnya untuk datang langsung ke pedalaman serta pelosok pedalaman Papua. Dan itu kesampaikan, ketika dia bersama rombongan berkesempatan berkunjung selama empat hari, sejak Minggu (24/2/19) hingga Rabu (27/2).
Tak tanggung-tanggung, James melakukan penjelajahan dimulai dari Jayapura, hingga ke kawasan pedalaman, seperti Boven Digoel, Yahukimo, Intan Jaya, dan Tolikara.
Pelayanan kesehatan minim
Selain problematik keterpenuhan kebutuhan pendidikan, ternyata warga pedalaman Papua pun sangat butuh akses untuk dapatkan layanan kesehatan dasar.
James menemukan ada kampung di Kabupaten Intan Jaya, yang berjarak lebih dari 400 kilometer dari Jayapura, ibu kota Papua, dan semula tidak memiliki pusat layanan kesehatan.
Layanan kesehatan terdekat dari kampung itu bisa dijangkau dengan jalan kaki selama dua hari.
Sejak tiga tahun lalu, Rumah Sakit Siloam, yang dimiliki keluarga Riady, membuka klinik di kampung itu dengan dilayani seorang dokter dan dua perawat.
Tegasnya, James Riady memperkirakan, ada banyak warga tidak mendapatkan haknya dalam dua kebutuhan dasarnya, yakni pendidikan dan kesehatan.
“Anak-anak usia pendidikan dasar di Papua tak menikmati haknya. Mereka bisa saja terdaftar sebagai siswa, tetapi setiap hari tidak bersekolah. Lihat saja, selama kami melakukan kunjungan, ada bangunan SD yang tertutup, sebab gurunya tak pernah datang,” katanya.
Itulah sebabnya, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw menyatakan, pendidikan di Papua memerlukan perhatian yang lebih. Baik dari pemerintah maupun warga yang peduli.
Pendidikan bagi anak-anak, terutama pendidikan dasar, di Jayapura juga menghadapi masalah pelik, karena kekurangan guru. Tidak banyak orang bersedia ditempatkan di sekolah yang terpencil.
”Kami masih kekurangan guru,” ujar Mathius.
James buka sekolah
Sejak beberapa tahun lalu, James Riady, CEO Lippo Group, ini telah menginsiasi membuka sekolah dan mengirimkan guru-guru berkualitas ke pedalaman Papua.
Di Sentani, Jayapura, misalnya. Di sana sudah ada Sekolah Lentera Harapan (SLH) yang diprakarsai YPHP bersama Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH) bagi warga kurang mampu. SLH ini dibuka pula di Kampung Korupun dan Nalca (Yahukimo), Mamit dan Karubaga (Tolikara), dan Daboto (Intan Jaya).
Seiring perjalan waktu, SLH di Mamit yang beroperasi sejak enam tahun lalu telah memiliki 253 siswa dengan 19 guru.
“Guru-guru ini berasal dari Papua dan daerah lain di seluruh Indonesia. Bahkan, sebagian besar guru-guru itu tak ingin dipindahkan dari Papua. Artinya, komitmen pada pendidikan bagi mereka yang kurang mampu itu yang lebih penting,” tutur James Riady.
Selain itu, James Riady juga menggelar Pelatihan Guru (Teacher Collage) di kampus Universitas Pelita Harapan (UPH) — juga milik Lippo Group — menghasilkan sarjana pendidikan (guru) yang siap ditugaskan ke daerah.
Asal tahu saja, selain daerah terpencil di Papua, SLH juga dibangun di tujuh provinsi lain di Indonesia.
Harus dengan hati
Tetapi, beberapa tokoh Papua optimistis, bila pembangunan, utamanya pendidikan dan kesehatan, dilakukan dengan hati, menghargai kultur setempat, pasti akan berakselerasi secara cepat.
“Marijo katong rame-rame bangun Tanah Papua dengan hati,” demikian ungkapan Yusak Yaluwo, putra Indonesia berdarah Papua, di Boven Digoel, Alumni Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), di Manado.
Disebutnya, harus dihindari kesan, seolah pembangunan itu untuk ‘memberangus’ kultur mereka.
“Ini jelas dan tegas saya utarakan. Orang Papua itu sangat menghormati para pendatang. Bisa bergandengan tangan dengan siapa saja. Tetapi jangan abaikan kultur mereka, termasuk pola hidup yang menjadikan pemerintah sebagai sumber kehidupan, dan harus berbagi dengan mereka untuk kebutuhan apa pun,” kata Yusak Yaluwo, sembari menunjuk bagaimana seorang bupati harus melayani warga yang mengantre dari subuh hingga tengah malam, untuk menyapa satu persatu mereka dengan aneka latar kebutuhannya.
Bahkan, mereka harus merogoh dalam-dalam kantongnya untuk berbagi, dan sering terkadang sulit memposisikannya sebagai jenis pengeluaran apa. Dan ini tak dipahami oleh Pemerintah Pusat.
“Sekarang sudah mulai bagus. Semakin tertib. Dan ada pengertian yang lebih. Juga beberapa kalangan swasta yang baik sudah masuk, termasuk dari Lippo Group, yang menggunakan tatakrama seperti yang dipakai para misionaris gereja, melayani dengan hati, dimana inilah yang disukai warga Papua asli. Artinya, janganlah menyakiti hati mereka,” tegasnya.
James Riady agaknya semakin memahami hal itu, sehingga dalam gebrakannya di lapangan, terus berupaya mengetuk hati para tokoh adat serta pemuka masyarakat, juga birokrat. Yakni, untuk saling menyambung hati serta mempererat gandengan tangan memberi yang terbaik bagi warga Papua, dilandasi hati nurani murni. (B-BS/KC/jr)