Oleh Jerry Sambuaga
Debat Pilpres 2019 yang kedua pada Minggu, 17 Februari lalu memberikan bukti yang sangat gamblang tentang perbedaan antara seorang yang berbicara dengan data dan informasi dengan seorang lain yang berbicara sebatas retorika. Dari pemaparan data dan informasinya, kita dapat mengetahui bahwa pasangan kandidat nomor 01 jelas sekali menguasai masalah dan mengerti benar kondisi di lapangan. Sebaliknya kandidat nomor 02 tetap mengandalkan retorika untuk membangun kepercayaan-kepercayaan semu mengenai kondisi rakyat Indonesia yang dianggap gagal ditangani oleh konsep pembangunan oleh petahana.
Jika dibaca teliti, visi misi Prabowo sebenarnya tidak jauh berbeda dengan visi misi Jokowi. Banyak pihak bahkan menuding bahwa visi misi Prabowo “mencontek” visi misi Jokowi-Ma’ruf Amin. Benar tidaknya tudingan itu mungkin bisa diperdebatkan. Yang jelas memang sangat mirip antara keduanya.
Selebihnya, Prabowo sebenarnya hanya mengemas ulang retorika lamanya dengan dukungan politik identitas yang sangat kuat. Ia tidak beranjak menawarkan solusi yang tepat dan jelas. Solusi-solusi yang ia tawarkan sebenarnya sesuatu yang sudah dilakukan atau bahkan sudah usang. Sayang sekali itu terus diulang-ulangnya dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam debat kedua.
Sangat wajar jika kemudian Prabowo kehilangan kepercayaan diri ketika dihadapkan dengan argumentasi-argumentasi Jokowi. Kita tidak tahu apakah Prabowo sebenarnya tidak tahu dengan konsep-konsep pembangunan yang telah dijalankan oleh pemerintah, sehingga ia mengulangi konsep-konsep yang sama, atau ia sudah tahu tapi tidak menemukan cara yang lain untuk mengkritisi atau membuat satu tawaran gagasan baru.
Yang jelas kita melihat ada stagnansi dari sikap dan wacana yang diusung oleh Prabowo. Ia tidak melakukan pengembangan kapasitas yang cukup dalam hal informasi dan data untuk mendukung retorikanya. Ini sangat disayangkan mengingat seorang penantang dalam event sebesar plpres seharusnya mempunyai gagasan yang baru untuk menjadi antitesis dari gagasan lama yang sudah dilakukan oleh seorang petahana. Atau paling tidak, ia harus mempunyai satu fokus yang mendalam dan tetap dalam hal memberikan suatu kritik. Selanjutnya ia bisa mengusulkan satu solusi atas kelemahan-kelemahan pelaksanaan kebijakan yang telah dilakukan oleh petahana. Dengan begitu publik mendapatkan tawaran baru, atau alternatif lain mengenai konsep pembangunan dan implementasinya.
Jika konsep penantang sama saja dengan apa yang sudah dilakukan oleh petahana maka sebenarnya kehadiran penantang itu sendiri tidak dibutuhkan. Tidak ada alternatif bagi publik untuk memilih tawaran mana yang terbaik. Ya, karena semuanya sama saja.
Kelemahan Prabowo kemudian juga ditunjukkan secara paripurna ketika ia bukan hanya tidak bisa memberikan tawaran-tawaran gagasan baru, tetapi juga cenderung untuk mendukung konsep-konsep yang telah dijalankan oleh Presiden Jokowi. Prabowo yang terlihat galak di luar momen debat pilpres terlihat tak berdaya ketika mendapatkan jawaban dan klarifikasi dari petahana. Informasi-informasi yang mengiringi retorika yang sering diucapkan oleh Prabowo patah dan tidak mempunyai argumen yang cukup kuat ketika berhadapan langsung dengan Jokowi sebagai capres petahana.
Latar belakang
Ini menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah sebenarnya Prabowo mengetahui benar masalah bangsa dan bagaimana solusinya? Atau, jika ia merasa mengetahui masalah bangsa, maka patut dipertanyakan pula dari mana sebenarnya informasi-informasi yang sampai kepadanya selama ini?
Untuk pertanyaan kedua mungkin ada alasan tersendiri. Prabowo sendiri lahir dan tumbuh di kalangan darah biru dalam politik Indonesia. Ia adalah putra dari Profesor Soemitro Djojohadikusumo, begawan ekonomi yang menjadi salah satu konseptor di balik sistem ekonomi terbuka Orde Baru. Kemudian Ia menikah dan punya keluarga dalam trah Cendana. Selanjutnya, Prabowo hidup dengan sangat kecukupan di rumahnya di Hambalang, Kabupaten Bogor. Hanya sekali-sekali ia turun ke lapangan untuk menemui rakyat guna mendengar masukan-masukan mereka. Tetapi selebihnya ia tidak punya pengalaman sendiri tentang bagaimana menjadi rakyat kecil. Sepanjang hidupnya ia menikmati segala macam kemewahan dan ketinggian status, baik material maupun sosial, bahkan status politik.
Melihat latar belakangnya itu maka patut dipertanyakan sejauh mana ia sebenarnya memahami persoalan-persoalan rakyat terutama rakyat kecil yang sering ia jadikan sebagai identitas yang ia bela. Apakah dengan seperti itu ia kemudian bisa belajar dan menyelami benar masalah-masalah rakyat? Jika dilihat dari rekam jejaknya selama ini, berarti ia cenderung terpisah dengan masalah-masalah riil rakyat.
Sebenarnya memang tidak ada bukti bahwa seseorang yang berdarah biru dan terus bergelimang kekayaan dan status sosial yang tinggi kemudian otomatis tidak bisa merasakan penderitaan rakyat. Namun, hal itu tentu harus melalui pembelajaran yang benar. Tanpa pembelajaran yang benar, bias pandangan elit akan keluar ketika menanggapi persoalan rakyat. Maka alih-alih bisa merumuskan satu solusi yang tepat, bisa saja justru tidak mampu menjawab masalah yang sebenarnya.
Hal lain yang juga terlihat menjadi titik lemah Prabowo adalah inkonsistensinya. Ini sangat terlihat ketika ia berulang-ulang membawa wacana keadilan bagi seluruh rakyat seraya mengkritik kepemilikan properti, aset, usaha dan kekayaan oleh segelintir elit sedangkan sebagian rakyat Indonesia hidup berkekurangan. Padahal semua orang tahu bahwa baik Prabowo maupun Sandiaga Uno adalah saudagar-saudagar yang termasuk dalam golongan yang ia anggap menguasai sebagian besar kekayaan, properti, dan akses ekonomi tersebut.
Maka, tidak mengherankan ketika Prabowo tidak mampu berkilah ketika Jokowi menunjukkan bukti bahwa Prabowo adalah bagian dari masalah klise bangsa Indonesia tersebut. Penguasaan lahan sebenarnya hanyalah salah satu bukti dari indikator bahwa Prabowo ada di sebagian kecil elit itu. Sebenarnya, tidak ada salahnya menguasai lahan dengan kerangka hak guna usaha atau izin usaha kehutanan atau apapun namanya selama sesuai dengan perundang-undangan. Maka, kalau Prabowo merasa tidak ada masalah dengan penguasaan tanah beratus ribu hektare itu, orang lain pun seharusnya tidak boleh dipermasalahkan oleh Prabowo. Sebaliknya, jika Prabowo menganggap itu sebagai masalah, maka ia seharusnya tidak menjadi bagian dari kategori yang “menguasai” tanah secara berlebihan tersebut.
Kesimpulannya, debat kedua yang lalu menjelaskan secara gamblang kapasitas masing-masing calon, khususnya dalam soal penguasaan materi dan data. Tentu kita semua berharap pemilih yang cerdas tentu akan menjadikan itu sebagai referensi dalam memilih di 17 April nanti. *** (B-BS/jr)
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Rabu (20/2/19), dengan judul asli: “Hasil Debat Kedua”
**) Penulis adalah doktor ilmu politik jebolan Universitas Indonesia (UI), kini dosen Universitas Pelita Harapan (UPH), kolumnis Suara Pembaruan, dan Wakil Ketua Umum DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP)