BENDERRAnews, 28/1/19 (Davos): Suasana pertemuan puncak para elite dunia di World Economic Forum, Davos, Swiss pekan lalu, Selasa (22/01/19) hingga Jumat (25/01/19), cenderung pesimistis. Ini berbeda dengan WEF tahun 2018.
Namun demikian, perkembangan dan transformasi digital dengan Industrialisasi 4.0 menjadi harapan besar para peserta World Economic Forum (WEF) yang datang dari ratusan negara. Cukup banyak pembahasan mengenai dinamika ‘data economy’ yang membangkitkan optimisme.
Pertemuan setahun sekali ‘Winter Davos’ dihadiri lebih dari 2.500 elite bisnis dan politik dunia, termasuk para pimpinan negara, pengusaha, akademisi, dan LSM dari berbagai belahan dunia. Pertemuan empat hari itu membahas situasi dunia dengan tujuan utama memperbaiki dan memajukan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dunia.
Pewakilan Indonesia di WEF tahun ini didimpin Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Dari kalangan menteri hadir sejumlah menteri, di antaranya Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong. Sedang dari dunia usaha, hadir James T Riady dari Lippo Group, Dirut PT Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmodjo, Dirut PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto, Komut Bakrie & Brothers Anindya Bakrie, Dirut PT Indorama Tbk Sri Prakash Lohia, dan Dirut Tokopedia William Tanuwidjaja.
Bersikap hati-hati
James Riady, mitra senior Board International Business Council WEF, dalam pembahasannya menyatakan, pemain dunia bersikap hati-hati melihat tantangan politik dan risiko global yang terus meningkat.
Dikemukakan, Ekonomi Tiongkok mengalami penurunan yang signifikan ditandai pengetatan pemberian kredit perbankan. Selama ini, kredit perbankan merupakan sumber utama pembiayaan swasta.
Sementara itu, menurutnya, Ekonomi Amerika Serikat juga sudah memasuki pertumbuhan tahap akhir dan tak lagi memiliki kapasitas untuk terus bertumbuh setelah berkembang positif hampir sepuluh tahun terakhir. Investasi tambahan sudah minim, sehingga ke depan, laju pertumbuhan tidak lagi sekencang periode sepuluh tahun terakhir.
Ekonomi dunia lainnya, termasuk Asia Tenggara sangat tergantung pada dua mesin ekonomi dunia yakni RRT dan AS. Selain itu, kata James Riady, banyak pembahasan isu negatif termasuk perdagangan, Brexit, pemanasan global, dan berbagai konflik geo-politik. Demikian dilansir Investor Daily. (B-ID/nr)