Tak terasa tahun 2018 berlalu. Kini kita berada di tahun 2019, puncak tahun politik, kata banyak orang.
Panasnya suasana politik yang telah dimulai sejak tahun 2018 lalu akan menemui titik kulminasinya dalam kuartal pertama tahun ini. Kita tentu berharap bahwa kita bisa melewati tahun ini dengan baik agar kelanjutan pembangunan sosial dan pembangunan fisik kita terus berjalan.
Sering kali kita harus membahas kampanye dan propaganda dalam politik. Itulah propaganda yang dilakukan para oknum yang bukan saja menakutkan bagi proses demokrasi, tetapi juga bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tahun 2018 masih merupakan kelanjutan dari tren penggunaan fitnah, hoax, ujaran kebencian, dan politisasi identitas. Pemerintah dengan susah payah berusaha meredam dan mengantisipasi eskalasi praktik-praktik semacam itu. Jika dihitung secara lebih kuantitatif, biaya untuk itu mungkin sudah mencapai puluhan triliun. Biaya sebesar itu dipergunakan dalam berbagai bidang dan kementerian, seperti pembentukan satuan tugas khusus di kepolisian, sistem di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), anggaran di kementerian-kementerian lain hingga pendidikan di masyarakat.
Tidak mudah menyelenggarakan pemerintahan di tengah adukan semua propaganda dari para oknum itu. Dalam taraf yang paling sederhana, pemerintah didegradasi legitimasinya. Pada tingkatan yang lebih lanjut, praktik propaganda politik itu memperbesar peluang masuknya tantangan, hambatan, dan ancaman baru. Pemerintah harus bisa mengambil langkah-langkah yang strategis sekaligus taktis dengan mengeksekusi langkah-langkah yang tepat. Jika langkah yang diambil salah, alih-alih meredakan dampak buruk dari praktik propaganda politik, negara dan masyarakat justru bisa hancur.
Oleh karenanya, kita perlu memuji apa yang sudah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Pemerintahan Jokowi berhasil melakukan langkah sistematis untuk mengantisipasi itu. Tanpa banyak bicara, Presiden memberikan respons yang terencana dan terstruktur, bukan aksi-aksi reaktif yang semu. Kita masih ingat tragedi kasus hoax Ratna Sarumpaet. Dalam kasus itu sudah terlihat ada skenario untuk menggiring opini pada isu sensitif, yaitu komunisme dan permainan intelijen yang mengintervensi politik. Isu identitas nampaknya juga akan dibangkitkan ulang untuk memperbesar eskalasi kegaduhannya. Hanya dalam waktu singkat, pemerintah melalui kepolisian mengungkap fakta sebenarnya dengan segala bukti-bukti pengiring. Echo dan amplifikasi hoax yang terus meninggi segera buyar.
Ujaran-ujaran kebencian dan hoax juga mengiringi penyelenggaraan annual meeting IMF dan World Bank. Bahkan di kala bencana, pemerintah juga tak surut tertimpa ujaran kebencian dan fitnah. Pun di tengah keberhasilan penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games yang dipuji setinggi-tingginya oleh masyarakat dunia, tetap saja fitnah tak reda. Berbagai meme hoax dan ujaran kebencian bertebaran. Syukurlah, serangan propaganda itu bisa diantisipasi dengan baik.
Selain dari propaganda-propaganda tersebut, terdapat juga kritik-kritik soal kebijakan Freeport, misalnya. Meskipun dalam kasus Freeport, argumentasi yang dilakukan oleh oposan cenderung tidak punya dasar yang cukup baik, tapi tetap itu merupakan kritik yang lebih baik daripada kampanye hitam, hoax, ujaran kebencian, dan politisasi identitas. Kita menghargai kritik soal sumber dana divestasi, kita menghargai kemungkinan alternatif selain melakukan divestasi sekarang, kita juga menghargai kritik bagaimana nilai optimal yang seharusnya dibayarkan. Sekali lagi, meskipun sering tidak diiringi argumentasi dan data yang baik, kritik seperti itu lebih esensial daripada kritik soal identitas dan segala macam turunannya.
Optimistis
Perubahan tahun, bukan hanya soal teknis dan administratif, tetapi juga perubahan esensial zaman. Dunia yang kita tinggalkan makin cepat berubah dan tahun ini pasti tidak akan sama dengan tahun yang lalu. Kita harus bisa mengikuti perubahan itu kalau tidak ingin tertinggal dari bangsa lain.
Oleh karena itu, idealnya, tahun politik ini bisa kita lalui dengan sangat efisien. Dinamika tentu tetap harus ada, tapi dinamika dalam arti positif, bukan dinamika yang mengarah pada kekacauan, konflik, pembelahan masyarakat, serta hilangnya tatanan norma dan etika. Dinamika demokrasi yang baik akan mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Jika kita analogikan dengan perspektif ekonomi, negara itu seperti perusahaan besar. Setiap perusahaan selalu menghadapi persaingan dengan perusahaan lain. Jika perusahaan kompetitif, ia akan menjadi perusahaan yang maju dan mampu menyejahterakan semua yang ada di dalamnya.
Agar sebuah perusahaan kompetitif, sistemnya harus efisien dan efektif. Perusahaan yang terlalu sibuk menyelesaikan masalah internal akan sulit menjadi perusahaan yang kompetitif. Dalam kondisi seperti itu, perusahaan lebih banyak mengeluarkan biaya atau energi untuk menyembuhkan dinamika internal yang negatif. Yang ideal adalah perusahaan menghabiskan sebagian besar energinya untuk bisa melakukan pertukaran yang optimal dengan perusahaan lain. Dengan begitu ongkos yang ditanggung akan menjadi kecil sementara keuntungan yang didapat akan menjadi besar. Keuntungan itulah yang akan dinikmati seluruh awak perusahaan.
Negara seharusnya juga punya logika seperti itu. Negara yang selalu gaduh dan penuh gejolak di dalam, akan sulit mewujudkan efisiensi sehingga akhirnya tidak kompetitif. Energi yang dikeluarkan bukan untuk meraih kesejahteraan rakyat yang setinggi-tingginya, tetapi hanya untuk menyelesaikan masalah-masalah internal yang tak kunjung selesai.
Tahun politik jangan sampai mengambil alih pembangunan yang lebih esensial. Mari jalani tahun politik ini dengan lebih santai, rasional, dan gembira. Dengan begitu, tahun politik bukan hanya dipandang sebagai tahun persaingan, tetapi juga tahun untuk menjalin kolaborasi. Kompetisi yang ada di tahun ini juga seharusnya semakin sehat. Tak banyak konflik yang tidak perlu berarti akan makin sedikit biaya yang kita keluarkan. Akan lebih baik jika seluruh biaya dan energi itu diserap dalam hal-hal yang produktif.
Tentu saja peran elite yang harus berada di depan. Memang susah untuk menyembuhkan luka yang terus kita gores dalam beberapa tahun ini dengan politisasi identitas, hoax, dan ujaran kebencian. Tetapi, kita harus optimistis bisa melakukannya.
Para elite tidak boleh lagi berpikir sempit, hanya ingin mencapai kepentingan politiknya di momen elektoral 2019 ini. Yang harus dipikirkan lebih dalam adalah bagaimana rakyat mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan dari pemilu, yaitu mendapatkan para pemimpin yang paling baik, mulai dari presiden sampai para anggota legislatif.
Kampanye pemilu kali ini harus kita jadikan sarana untuk itu. Masyarakat terus bergerak maju dan menginginkan kampanye yang cerdas dan mendidik. Kompetisi politik boleh sengit, tapi tetap harus sehat dan enak dinikmati. Berdemokrasi tidak harus selalu tegang, tetapi harus menyenangkan.
Jika itu bisa dilakukan oleh para elite, maka demokrasi kita akan menapaki level kemajuan baru. Kita yakin bisa, dan memang kita harus bisa. Mari sambut tahun politik ini dengan gembira dan optimistis. Demokrasi sudah seharusnya dinikmati dan menyenangkan. *** (B-BS/jr)
Selamat datang 2019!
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Rabu, 2 Januari 2019 | dengan judul asli: “Selamat Datang 2019!”
**) Penulis adalah doktor ilmu politik jebolan Universitas Indonesia, dosen Universitas Pelita Harapan, kolumnis Suara Pembaruan, dan Wakil Ketua Umum DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP)