BENDERRAnews, 27/12/18 (Jakarta): Agar neraca pembayaran Indonesia kembali surplus pada tahun 2019, Pemerintah harus segera melakukan terobosan. Sebab, jika terus defisit seperti tahun ini, rupiah akan sangat tertekan dan memukul semua sektor ekonomi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Senin (17/12/18) pekan lalu, hingga November 2018, Indonesia mencatatkan defisit bulanan delapan kali, yakni Januari senilai US$ 0,76 miliar, Februari US$ 0,05 miliar, April US$ 1,63 miliar, Mei US$ 1,45 miliar, Juli US$ 2,01 miliar, Agustus US$ 0,94 miliar, Oktober US$ 1,77 miliar, dan November US$ 2,05 miliar.
Sedangkan surplus hanya terjadi tiga kali, pada Maret sebesar US$ 1,12 miliar, Juni US$ 1,71 miliar, dan September US$ 0,31 miliar.
Akibatnya, pada periode Januari-November tahun ini, defisit telah mencapai US$ 7,52 miliar. Padahal, periode sama tahun lalu, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan US$ 12,08 miliar.
“Tahun 2018 dipastikan defisit neraca perdagangan, karena surplusnya hanya beberapa bulan saja dan selebihnya defisit. Apalagi, November saja defisit US$ dua miliaran. Kalau untuk tahun 2019, yang pemerintah bisa lakukan ya berusaha surplus, walaupun sulit,” ujar Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto seperti dilansir Investor Daily, di Jakarta, Senin (17/12/18).
Tiga hal penting
Ia menambahkan, ada tiga hal penting yang perlu segera dilakukan pemerintah untuk membuat neraca perdagangan kembali surplus. Pertama, lebih proaktif dalam misi perdagangan antarpemerintah (government to government/G2G) untuk menegosiasikan kepentingan perdagangan Indonesia. Pemerintah Indonesia di antaranya bisa meminta pemerintah India agar urung menaikkan tarif impor minyak sawit dari Indonesia agar lebih kompetitif, seperti juga dilakukan oleh pemerintah Malaysia.
Misi perdagangan G2G perlu dilakukan dengan negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia, tambahnya, agar ekspor Indonesia tidak terus turun. Hal ini sudah mulai dilakukan banyak negara, karena forum-forum formal seperti WTO, G20, dan APEC, saat ini kurang efektif untuk memperjuangkan kepentingan dagang setiap negara.
Misi dagang G2G dinilai lebih efektif, setelah Amerika Serikat dan Tiongkok saling terlibat dalam perang dagang dan cenderung ‘meninggalkan’ forum-forum perdagangan.
Langkah kedua yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia ialah makin memperbaiki fundamental ekonomi dan menyelesaikan masalah di dalam negeri. Ini, antara lain, dengan menekan biaya logistik dengan membangun infrastruktur lebih baik, serta memperbaiki perizinan dan birokrasi yang masih berbelit agar tidak membebani perekonomian. Ketiga, memberi insentif yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing perusahaan.
Ekspor-Impor
Investor Daily menulis, negara mitra yang membuat Indonesia defisit perdagangan nonmigas terbesar ialah Tiongkok, diikuti Thailand,
Australia, Jepang, dan Jerman.
Sedangkan negara mitra yang membuat Indonesia surplus perdagangan nonmigas terbesar, yakni, diikuti Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, dan Taiwan.
Pada kesempatan terpisah, Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto mengatakan, pada November 2018, ekspor Indonesia sebesar US$ 14,83 miliar, turun 6,69 persen dibanding Oktober 2018. “Sektor yang menyebabkan turun adalah migas, yang ekspornya merosot 10,75 persen. Penurunan terjadi karena ekspor hasil minyak turun,” ujar dia di kantornya, Jakarta, Senin (17/12/18).
BPS mencatat, defisit neraca perdagangan bulan November lalu sebesar US$ 2,05 miliar, melebar dari defisit US$ 1,8 miliar di bulan Oktober. Ekspor Indonesia November 2018 mencapai US$ 14,83 miliar, sementara impor mencapai US$ 16,88 miliar.
Impor RI pada November menurun dibandingkan bulan Oktober, tetapi belum mampu menyusutkan defisit karena ekspor juga menurun. Nilai ekspor Indonesia November 2018 mencapai US$ 14,83 miliar atau menurun 6,69 persen dibanding Oktober 2018. Demikian juga dibanding November 2017 menurun 3,28%. Sementara itu, nilai impor Indonesia November 2018 mencapai US$16,88 miliar atau turun 4,47 persen dibanding Oktober 2018, namun jika dibandingkan November 2017 naik 11,68 persen.
Ekspor nonmigas November 2018 mencapai US$ 13,46 miliar, turun 6,25 persen dibanding Oktober 2018. Demikian juga dibanding ekspor nonmigas November 2017, turun 4,12 persen. Sedangkan impor nonmigas November 2018 mencapai US$ 14,04 miliar atau turun 4,80 persen dibanding Oktober 2018, sebaliknya jika dibanding November 2017 meningkat 8,79 persen.
Impor migas November 2018 menurun ke US$ 2,84 miliar atau turun 2,80 persen dibanding Oktober 2018, namun meningkat 28,62 persen apabila dibandingkan November 2017. Sedangkan impor migas Januari-November 2018 naik 27,85 persen, mencapai US$ 6,06 miliar.
Ekspor Januari-November
Suhariyanto menjelaskan lebih lanjut, ekspor nonmigas November 2018 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$ 2,01 miliar, disusul Amerika Serikat US$ 1,46 miliar dan Jepang US$ 1,36 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 35,87%. Sedangkan ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar US$ 1,37 miliar.
Secara kumulatif, lanjutnya, ekspor Indonesia Januari–November 2018 mencapai US$ 165,81 miliar atau meningkat 7,69% dibanding periode yang sama tahun 2017. Namun, impor kumulatif Januari–November 2018 mencapai US$ 173,32 miliar atau meningkat 22,16% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini membuat defisit neraca RI Januari-November 2018 menembus US$ 7,52 miliar.
Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–November 2018 ialah Tiongkok dengan nilai US$ 40,85 miliar (28,07 persen), Jepang US$ 16,61 miliar (11,41 persen), dan Thailand US$ 10,09 miliar (6,94 persen). Sedangkan impor nonmigas dari Asean 20,08 persen dan Uni Eropa 8,93 persen.
Ia menjelaskan, negara mitra yang membuat Indonesia defisit perdagangan nonmigas terbesar Januari-November 2018 ialah Tiongkok, diikuti Thailand, Australia, Jepang, dan Jerman, masing-masing senilai US$ 18,14 miliar, US$ 4,73 miliar, US$ 2,83 miliar, US$ 1,46 miliar, serta US$ 1,23 miliar.
Sedangkan negara mitra yang membuat Indonesia surplus perdagangan nonmigas terbesar ialah India, diikuti Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, dan Taiwan masing-masing senilai US$ 8,07 miliar, US$ 7,80 miliar, US$ 2,42 miliar, US$ 1,61 miliar, serta US$ 0,11miliar.
Tekanan eksternal
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kinerja ekspor RI masih terdampak tekanan eksternal. Ini terutama karena pengurangan permintaan dari negara tujuan utama, seperti RRT. Selain itu, pelemahan kinerja ekspor juga terjadi akibat lesunya perdagangan dengan pasar nontradisional, seperti di Amerika Latin dan Afrika, yang ikut terdampak kondisi global.
“Ini harus dilihat secara hati-hati, karena pertumbuhan ekonomi Tiongkok lagi ada penyesuaian dari sisi internal atau karena ada perang dagang dengan Amerika Serikat. Pasar-pasar baru, barangkali dalam kondisi ekonomi sekarang, tendensinya menjadi lemah. Jadi, kemampuan untuk menyerap ekspor jadi terbatas,” katanya di Jakarta, Senin lalu.
Sri Mulyani menambahkan, ada pula komoditas ekspor yang sensitif terhadap isu-isu nonekonomi, seperti minyak sawit. Ini ikut mengurangi permintaan di negara-negara Eropa.
Melihat kondisi global yang diliputi ketidakpastian tersebut, katanya, pemerintah terus memperkuat daya saing ekspor dengan memberikan insentif kepada eksportir agar gairah sektor perdagangan tidak melemah. “Ekspor dipacu dari sisi daya kompetisi kita, melalui berbagai kebijakan untuk mendukung, seperti insentif. Namun, kita perlu memahami, dinamika pasar global sedang sangat tinggi atau tidak menentu,” ujarnya.
Dari sisi impor, pemerintah akan melakukan kajian lebih mendalam atas kebijakan pengurangan impor yang sudah diterbitkan sebelumnya, seperti peningkatan tarif PPh impor.
“Untuk upaya lain, di sektor migas dan nonmigas, harus tetap memperhatikan kemampuan industri dalam negeri untuk menghasilkan subtitusi impor. Jadi kami tetap fokus dalam porsi itu,” demikian Sri Mulyani.(B-ID/BS/jr)