Oleh Jerry Sambuaga **)
Penembakan 31 pekerja jembatan di Kabupaten Nduga, Papua, belum bisa kita lupakan. Ini adalah kejadian yang sangat memilukan di tengah upaya untuk merangkul saudara kita di ujung timur Indonesia itu.
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya mengaku bertanggung jawab atas penembakan itu. Egianus bahkan menantang TNI untuk berperang. Bagi Indonesia, Papua tetap merupakan masalah internal yang harus diselesaikan secara komprehensif.
KKB, Teroris, atau Separatis?
Kelompok bersenjata Papua yang sering disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) memang sudah lama beroperasi. Mereka menentang Indonesia dengan berbagai teror bersenjata, baik di kawasan permukiman maupun di kawasan-kawasan pembangunan, seperti yang terjadi di Nduga tersebut. Kelompok Egianus Kogoya adalah salah satu kelompok bersenjata itu. Sudah lama pula mereka mengganggu keamanan di Nduga. Pada tahun 2015-2016 serangan mereka menunjukkan peningkatan.
Kegiatan mereka biasanya memang meningkat di Bulan Desember. Ini berkaitan dengan momentum 1 Desember yang menurut mereka adalah peringatan hari kemerdekaan Papua. Untuk bulan Desember kali ini, mereka juga mengadakan peringatan itu. Dan, peristiwa pembantaian itu terjadi pascaperingatan yang mereka adakan.
Tampaknya, menempatkan kelompok bersenjata ini dalam konsep yang jelas memang masih menjadi dilema di Indonesia. Sebagian pihak mendesak mereka dimasukkan sebagai kelompok teroris yang harus segera ditumpas dengan berbagai cara. Sebagian lain ingin menyebut mereka sebagai kelompok separatis sehingga TNI harus intensif turun tangan. Pemerintah di lain pihak, dalam beberapa tahun ini kukuh menyebut mereka sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Penyebutan KKB oleh pemerintah bukan tidak beralasan. Bertahun-tahun pemerintah menyebut mereka sebagai organisasi separatis. Ada konsekuensi dari penyebutan itu, yaitu pelibatan TNI dengan doktrin pertahanan yang kuat. Terjadilah pendekatan militeristik yang kemudian diprotes keras karena dianggap banyak pelanggaran HAM.
Penyebutan sebagai teroris juga akan berkonsekuensi sendiri. Masalah Papua sangat kompleks. Teroris biasanya menyasar sembarang orang. Aktivitas mereka ditujukan untuk menciptakan ketakutan umum. KKB Papua tidak beroperasi seperti itu. Mereka dengan jelas menyebut sebagai tentara nasional Papua. Mereka melakukan teror tetapi tidak kepada semua orang. Mereka melakukan identifikasi dalam kegiatan terornya itu.
Lagipula harus disadari bahwa kelompok bersenjata di Papua mempunyai sejarah yang panjang. Ini bukan hanya menyangkut etno-nasionalisme Papua yang memang sudah tumbuh sejak dahulu. Kekerasan di Papua sudah lama terjadi dan rekonsiliasi sosial memang tidak mudah dicapai.
Maka upaya penyebutan KKB sudah tepat dilakukan. Dalam penyebutan itu ada makna bahwa pemerintah tidak ingin melestarikan pendekatan militeristik pada zaman dahulu. Ada keinginan untuk mendekati persoalan ini dengan cara yang lebih proporsional.
Dalam penyebutan itu pula pemerintah ingin melakukan rekonsiliasi sosial, dan bukan “penyerangan terhadap separatis” sehingga diharapkan integrasi berjalan dengan lebih baik. Kritik-kritik terhadap tindakan pemerintah pusat selama ini ditanggapi serius baik oleh pemerintah maupun oleh TNI dan Polri.
Keadilan Sosial
Demokratisasi memang memberikan sentuhan yang berbeda kepada Papua. Ada beberapa hal yang menonjol berkaitan dengan penyelesaian Papua di era demokrasi. Pertama, diberlakukannya otonomi khusus dengan konsekuensi membanjirnya transfer dana bagi hasil pembangunan dan pertambangan. Kedua, afirmasi partisipasi politik di Papua di mana untuk jabatan-jabatan khusus hanya diberikan kepada orang asli Papua. Jabatan gubernur dan wakil gubernur adalah salah satunya. Selain itu dibentuk pula Majelis Rakyat Papua (MRP) yang fokus pada pengembangan hak-hak adat masyarakat Papua.
Ketiga, makin lunaknya pemerintah pusat terhadap Papua, meskipun tentu saja masih ada ekses-ekses kekerasan yang sebenarnya juga terjadi di daerah lain, bukan hanya Papua. Ini wajar saja, karena prajurit yang bertugas di Papua biasanya berasal dari Papua dan belum sepenuhnya terasimiliasi dalam budaya Papua. Operasi-operasi tertentu masih dilakukan tapi tidak semasif seperti pada masa sebelumnya.
Keempat, pendekatan keadilan sosial makin menjadi arus besar dalam penanganan Papua. Pemerintahan Jokowi-JK patut dipuji dan diapresiasi dalam hal ini. Presiden Jokowi sejak semula ingin menghadirkan negara di Papua. Presiden Jokowi ingin agar seluruh rakyat Indonesia merasakan pembangunan yang sama. “Ini soal keadilan,” begitu presiden berkali-kali menegaskan.
Dapat dipahami jika kemudian Presiden Jokowi berkali-kali ke Papua. Ia bertekad membangun konektivitas di Papua dengan pembangunan infrastruktur yang sangat masif. Presiden Jokowi juga mencanangkan program satu harga BBM yang menekan harga BBM di daerah itu secara signifikan. Sekarang di kota-kota Papua, harga BBM sama dengan di Jawa. Ini adalah prestasi yang sangat besar oleh Pemerintahan Jokowi untuk rakyat Papua. Tidak heran jika nama Jokowi dielu-elukan di provinsi paling timur Indonesia itu.
Dengan pendekatan-pendekatan yang lebih terukur dan lebih berfokus pada keadilan sosial itulah jumlah kelompok bersenjata menurun tajam. Mereka memang masih tersisa di daerah-daerah terpencil atau beroperasi di luar negeri. Namun dibandingkan pada masa lalu, jumlah mereka relatif sangat kecil. Suara-suara untuk menuntut kemerdekaan jelas masih ada, tapi perlahan-lahan suara itu makin tidak relevan karena pesatnya pembangunan. Memang perlu waktu agar rakyat Papua yang masih berpihak pada kelompok bersenjata itu untuk sepenuhnya berintegrasi kepada Indonesia. Namun dengan konsistensi pembangunan Papua, upaya integrasi yang sebenarnya itu hanyalah masalah waktu.
Maka sudah tepat jika Presiden Jokowi tidak mau menghentikan proyek pembangunan Papua pascaterjadinya penyerangan pekerja PT Istaka Karya. Meskipun kelompok bersenjata berkali-kali mengatakan bahwa mereka tidak butuh pembangunan, tapi kita tidak boleh mengiyakan wacana itu. Papua jelas membutuhkan pembangunan dan kesejahteraan.
Kita menginginkan bahwa pada lima tahun lagi seluruh daerah di Papua sudah terhubung dengan infrastruktur yang sangat baik. Dengan itu, arus barang dan jasa akan semakin lancar sehingga kesempatan-kesempatan baru tercipta. Dengan terbukanya lapangan kerja dan lapangan usaha, penduduk Papua bisa bekerja dan mendapatkan kesejahteraan yang cukup. Pembangunan dan kemajuan tinggal diwujudkan dengan meneruskan upaya-upaya itu. Dengan afirmasi yang baik, suatu saat rakyat Papua sendiri yang akan berdaya membangun daerahnya. Itulah makna dari kemerdekaan yang sejati.
Sekalipun begitu, tentu saja tetap akan ada upaya-upaya tegas untuk menegakkan hukum, keamanan, dan ketertiban di Papua. Idealnya itu wajar saja. Di daerah lain pun hal itu terjadi.
Memang diperlukan tindakan-tindakan yang lebih terukur dan lebih terkendali. Tetapi kita semua harus yakin bahwa TNI dan Polri berproses untuk menyempurnakan tindakan mereka kepada Papua. Dengan perbaikan di sana-sini, tindakan-tindakan di Papua akan mampu menjaga keamanan dan ketertiban tapi sekaligus tetap dalam bingkai HAM dan demokrasi.
Itulah yang kita impikan. Pada akhirnya, Papua akan tetap dan memang sepenuhnya merupakan bagian dari Indonesia. Kita ingin semua daerah maju bersama, kita tidak ingin ada elemen bangsa yang tertinggal dan terus berkutat pada masalah keamanan dan keadilan. Keadilan dan keamanan untuk Indonesia, keadilan dan keamanan untuk Papua. (B-BS/jr)
*) Disadur dari ‘BeritaSatu.com’, edisi Rabu, 12 Desember 2018, dengan judul asli: “Keamanan dan Keadilan untuk Papua”,
**) Penulis adalah doktor ilmu politik UI, master international affaire dari Amerika Serikat, dosen Universitas Pelita Harapan (UPH), kolumnis Suara Pembaruan, dan Wakil Ketua Umum DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP).