Oleh Jerry Sambuaga **)
Baru-baru ini Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) merilis kajian mengenai pelaksanaan tugas dan fungsi DPR. Menurut mereka, fungsi legislasi DPR sangat lemah.
Pernyataan Formappi ini kemudian diarahkan seolah-olah kinerja seluruh aspek fungsi DPR lemah. Padahal, yang disorot Formappi hanya aspek legislasi, dan itupun akan menjadi menarik untuk diteliti secara komprehensif.
Pendekatan kuantitatif
Tentu saja DPR selalu terbuka terhadap masukan dan kritik dari masyarakat, termasuk dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), di mana Formappi adalah bagiannya. Sudah semestinya DPR mengapresiasi kritik masyarakat tersebut. Keterbukaan DPR itu bukan basa-basi. Baru-baru ini DPR menyelenggarakan berbagai lomba kritik DPR baik melalui media tulisan, foto atau gambar, dan bahkan stand up comedy. Jadi, kesan DPR adalah lembaga tertutup dan antikritik, sepertinya kurang tepat, apalagi jika dibandingkan dengan lembaga negara lain atau kementerian yang cenderung lebih tertutup.
Kembali pada rilis Formappi, yang dilakukan lembaga itu adalah gambaran kuantitatif atas kinerja legislasi DPR. Memang ada sedikit ulasan kualitatif, tapi belum menggambarkan apa yang terjadi dalam pelaksanaan tugas legislasi DPR tersebut. Harus diingatkan kembali bahwa DPR adalah lembaga politik, bukan lembaga administrasi atau birokrasi, yang bisa dinilai hanya dengan pendekatan kuantitatif, apalagi hanya untuk satu fungsi. Upaya menghakimi kinerja DPR dengan mengukur memakai pendekatan kuantitatif justru akan mengacaukan fungsi dari lembaga politik itu sendiri.
Semua pakar setuju bahwa proses politik saat pembahasan legislasi selalu merupakan proses yang unik dan tidak bisa digeneralisasi. Setiap kasus, setiap konteks, dan setiap perubahan kejadian selalu punya karakter masing-masing. Itulah sebabnya pendekatan kuantitatif tidak selalu bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi.
Jika kinerja anggota DPR dalam legislasi hanya didekati dengan metode kuantitatif, maka akan mengarahkan anggotanya hanya untuk mengejar kuantitas agar dikatakan produktif. Ini sama seperti pendekatan pengukuran beberapa aspek di birokrasi atau lembaga lain yang metodenya serupa. Yang dikejar adalah kuantitas absen, misalnya, atau kuantitas berapa surat masuk atau keluar, bukan substansi hasil dari pekerjaan mereka. Akibatnya hasil pengukurannya justru tidak valid untuk memberikan penilaian yang adil. Bukan hanya dalam hal administratif, untuk hal-hal lain pendekatan kuantitatif juga sering tidak cocok.
Untuk menilai kinerja sosialisasi mengenai suatu hal, misalnya, yang dilihat hanya jumlah kegiatan dan berapa yang hadir. Padahal persoalannya bukan hanya itu. Jika itu yang dilakukan, maka yang dikejar hanya kehadiran peserta, sementara bagaimana keluarannya tidak diperhatikan. Itu yang sering terjadi. Jadi, pendekatan administratif dengan memakai ukuran kuantitatif tidak selalu tepat. Idealnya publik perlu mengetahui hal ini juga. Kesimpulannya, meskipun pendekatan kuantitatif bisa dipakai untuk beberapa aspek, tapi tidak bisa dipakai sebagai justifikasi tuduhan bahwa kinerja DPR turun bahkan dalam satu fungsi sekalipun, apalagi secara keseluruhan.
Meskipun demikian, pendekatan kuantitatif juga tidak sepenuhnya salah. Benar bahwa tingkat penyelesaian RUU masih belum optimal seperti yang ditargetkan. Namun inipun tidak lepas dari dinamika politik yang berkembang. Tentu dalam setiap periode ada perkembangan-perkembangan baru yang memengaruhi penyelesaian RUU. Dalam periode ini, tampaknya fokus DPR pada tugas pengawasan dan anggaran lebih besar terkait dengan kebijakan perubahan kerangka kebijakan pembangunan nasional dan perubahan konteks strategis, baik di tingkat global maupun regional.
Sidang Paripurna
Selain isu soal hasil produk legislasi, banyak pihak juga mempermasalahkan kehadiran para anggota DPR dalam sidang paripurna. Harus diketahui oleh masyarakat bahwa sidang paripurna adalah tahap akhir dalam pembahasan RUU di DPR. Artinya itulah tahap di mana hampir pasti sebuah keputusan diputuskan, atau sebuah RUU tinggal disahkan. Dan itulah yang sering disoroti oleh publik.
Tahap yang kurang disorot masyarakat adalah pada tahap pertama, baik di Badan Legislasi (Baleg), komisi maupun di panitia khusus (pansus) atau panitia kerja (panja). Padahal, sebenarnya dalam hal kehadiran di pembicaraan tahap pertama ini, anggota DPR cukup baik tingkat kehadirannya. Ini bisa dilihat di risalah-risalah sidang. Kalau diperhatikan perdebatan di pembicaraan tahap pertama juga sangat hangat dengan argumentasi dan data yang variatif.
Mekanisme itu dijalani oleh anggota DPR dengan cukup baik dan tidak selalu menggambarkan atau tidak selalu bisa disamakan dengan apa yang terjadi di sidang paripurna. Dalam sidang paripurna anggota atau fraksi tinggal menyetujui atau tidak menyetujui. Memang ada beberapa RUU yang cukup alot sampai di sidang paripurna, tapi sebagian besar RUU lebih dinamis pembahasannya di pembicaraan tahap pertama. Jadi, selama memenuhi kuorum untuk pengambilan keputusan, sidang paripurna tetap bisa dijalankan.
Idealnya, ketidakhadiran anggota di sidang paripurna tidak harus dimaknai dengan sudut pandang negatif. Jika dirunut satu per satu, kita akan tahu bahwa tugas anggota DPR sangat banyak. Jadi memang sepertinya para anggota DPR harus bijaksana dalam membagi waktu, tenaga, dan pikiran agar semua bisa dilakukan secara optimal.
Kalau anggota tidak hadir di sidang paripurna, selain dengan pertimbangan pribadi, tentu mereka juga berkoordinasi dengan fraksi agar kuorum tetap bisa tercapai. Selanjutnya, mereka yang tidak hadir menyelesaikan tugas-tugas mereka di lingkup fungsi lain seperti pengawasan dan anggaran.
Fraksi tentu akan mempertimbangkan apakah sebuah RUU sudah pada tingkat persetujuan semua fraksi atau belum. Jika sudah dianggap selesai perdebatannya di pembicaraan tahap pertama, tentu fraksi akan mengatur supaya anggota-anggota yang mempunyai tugas lain yang juga mendesak, maka para anggota tersebut bisa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas lain tersebut. Anggota yang sedang tidak mengerjakan tugas urgen, bisa hadir untuk memberikan persetujuan. Jadi ketidakhadiran di sidang paripurna harus dilihat secara jernih dan proporsional. Untuk memahami secara jernih itu memang diperlukan literasi mengenai tugas dan fungsi DPR umumnya, dan pelaksanaan tugas legislasi khususnya. Ini memang jadi tugas kita bersama.
Namun demikian, sekali lagi ini, kritik terhadap DPR merupakan kritik yang sangat baik. Ada beberapa hal yang mungkin bisa diperbaiki dalam hal ini.
Pertama, mungkin dalam beberapa aspek kinerja DPR secara umum memang harus dibenahi. Ini adalah masukan kepada anggota, fraksi, dan alat kelengkapan DPR yang lain.
Kedua, diperlukan penyampaian yang baik kepada khalayak mengenai pelaksanaan tugas-tugas DPR. Selama ini sebenarnya baik lembaga maupun perorangan anggota DPR telah punya kanal informasi namun mungkin belum maksimal dalam menyampaikan apa yang mereka lakukan.
Ketiga, diperlukan peningkatan literasi masyarakat mengenai pelaksanaan tugas DPR. Ini sangat perlu agar hubungan masyarakat dengan wakil rakyatnya bisa berlangsung baik, tanpa prasangka yang tidak perlu.
Keempat, diperlukan pengukuran kinerja DPR yang lebih tepat agar kelemahan-kelemahan pendekatan kuantitatif yang sekarang umum digunakan bisa tertutupi. Kajian tentang DPR adalah sumber yang baik bagi perbaikan mutu lembaga dan anggota. Namun tanpa pendekatan dan metode yang tepat bisa mengakibatkan salah persepsi di masyarakat. (B-BS/jr)
*) Artikel opini ini telah dimuat juga oleh ‘BeritaSatu.com’, Edisi Rabu, 5 Desember 2018 | Jam 17:00 WIB, dengan judul asli: “Penilaian Kinerja DPR”
**) Penulis adalah doktor ilmu politik jebolan Universitas Indonesia dan University of Columbia, dosen Universitas Pelita Harapan, dan kolumnis Suara Pembaruan, serta Wakil Ketua Umum DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP)