BENDERRAnews, 6/12/18 (Jakarta): Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla harus segera bertindak cepat untuk melakukan sejumlah tindakan menyelamatkan uang negara yang dikorupsi pada era Orde Baru.
Salah satunya, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), meminta agar uang hasil korupsi Yayasan Supersemar segera dikembalikan.
Seruan itu disampaikan ICW dalam diskusi terbatas bertajuk “Jangan Lupakan Korupsi Soeharto” di kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV D No 6, Jakarta Selatan, Kamis, (6/12/18).
Peneliti senior ICW, Emerson Yuntho mengatakan, salah satu yang bisa dilakukan paling cepat ialah mengeksekusi pengembalian uang negara dalam kasus Supersemar.
Perintahkan Jaksa Agung
Ia menyebutkan, ada uang negara yang dikorupsi dalam kasus gugatan Yayasan Beasiswa Supersemar sekitar Rp4 triliun.
“Presiden Jokowi perlu memerintahkan Jaksa Agung dan jajarannya untuk segera melakukan tindakan eksekusi pengembalian kerugian negara sekitar Rp 4 triliun,” kata Emerson seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’.
Selain itu, Pemerintah juga harus melanjutkan gugatan perdata terhadap enam yayasan lain terkait Soeharto, keluarga, maupun kroninya.
Yayasan-yayasan itu ialah Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Dharmais, Yayasan Dakab, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Kasus korupsi Soeharto belum selesai
Bagi ICW, demikian Emerso, kasus korupsi era Soeharto belum selesai dengan perkara menyangkut Supersemar.
Pada kasus Supersemar saja, katanya, ada uang negara senilai Rp4 triliun itu, belum lagi enam yayasan yang lain. “Kami dari ICW menilai salah satu indikasi sukses penanganan korupsi adalah adili korupsi era Soeharto ini,” tegasnya.
Selanjutnya, Emerson mengatakan, pihaknya menilai Pemerintahan Jokowi sebaiknya melakukan kerja sama dengan PBB untuk menindaklanjuti prakarsa Stolen Asset Recovery Initiative (STaR) atau prakarsa PBB untuk menginisiasi recovery aset hasil curian.
Hal itu dalam rangka mengembalikan kekayaan negara yang diduga dicuri oleh Soeharto dengan kisaran US$ 15 miliar hingga US$ 35 miliar.
Pemerintah bisa memanfaatkan momentum perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik antara Indonesia dengan Swiss pada akhir Agustus 2018. “Ini harus dimanfaatkan juga untuk melacak orang dan aset hasil kejahatan, termasuk korupsi yang diduga dilakukan oleh Soeharto,” katanya lagi.
Bagi ICW, semua langkah itu penting. Sebab, saat ini, justru muncul kekhawatiran, publik mulai lupa pada korupsi yang dilakukan oleh rezim orde baru pimpinan Soeharto. Hal itu tampak dari upaya beberapa pihak yang berkampanye politik mengembalikan kejayaan dari Soeharto dan kroni-kroninya, misalnya dengan slogan kampanye ‘Piye kabare, enak Zamanku tho…”
Padahal, Ketetapan MPR XI/MPR/2008 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), masih berlaku sampai saat ini.
Amanat reformasi belum tuntas
Diingatkan Emerson, ada salah satu amanat Reformasi 1998 yang belum tuntas sampai saat ini, yakni tercantum pada Pasal 3 dan 4 Ketetapan (Tap) MPR itu.
Tap itu menyebutkan, perlu pemeriksaan kekayaan dan pemberantasan korupsi secara tegas, kepada pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroni-kroninya, maupun pihak pengusaha/konglomerat termasuk yang dilakukan oleh Soeharto.
Pada kesempatan sama, aktivis antikorupsi Usman Hamid memberikan gambaran soal harta kekayaan keluarga Soeharto. Salah satunya ialah anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy.
Saat Pemerintah melakukan tax amnesty pada 2016, uang tebusan yang disampaikan Tommy disebut mencapai Rp12 triliun.
“Bisa dibayangkan, dari tax amnesty saja, kabarnya besaran uang Tommy mencapai Rp12 triliun. Sebanyak itu. Anda bayangkan berapa sesungguhnya uang yang disimpan di luar negeri,” kata Usman.
Dikatakan, pada era pemerintahan SBY, uang Tommy di Inggris juga dicairkan, yang diduga diperoleh dengan cara tak benar. (B-BS/jr)