Oleh Karyono Wibowo **)
Penyataan Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah yang menyebut guru korupsi Indonesia itu adalah Soeharto, mantan mertua Prabowo, perlu dipahami secara jernih dengan menggunakan akal sehat. Begitu pula dalam memahami pernyataan dari kelompok yang kontra perlu dipahami secara kritis.
Pernyataan Ahmad Basarah tersebut bisa dipahami dalam empat perspektif, yaitu perspektif politis, psikologis, historis dan yuridis. Dari perspektif politis, pernyataan Basarah merupakan respon dari pernyataan Prabowo Subianto yang menyebut korupsi di Indonesia sudah seperti kanker stadium empat. Pernyataan tersebut disampaikan Prabowo pada acara “The World in 2019 Gala Dinner” yang diselenggarakan majalah The Economist di Hotel Grand Hyatt Singapura beberapa hari lalu. Pernyataan Prabowo ini perlu kita letakkan dalam sudut pandang politik, karena Prabowo adalah Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus calon presiden.
Karenanya, pernyataan Prabowo tersebut memiliki korelasi dengan dua posisinya sebagai peserta Pemilu serentak 2019.
Pernyataan yang menyebut korupsi di Indonesia seperti kanker stadium empat dapat digolongkan sebagai pesan kampanye negatif (negative campaign), bisa juga disebut kampanye hitam (black campaign), karena ‘statement’ tersebut terlalu hiperbola, bombastis tidak disertai fakta yang akurat dan terukur.
Makna kanker stadium empat itu jika diibaratkan seperti penyakit, sangat kecil kemungkinan bisa disembuhkan. Berarti sama saja Prabowo ingin mengatakan korupsi di Indonesia sangat parah nyaris tidak bisa diberantas.
Tujuan dari pernyataan itu mudah ditebak, yakni untuk mendelegitimasi pemerintahan Jokowi sekaligus membangun image negatif.
Pernyataan Prabowo itu sama saja tidak menghargai kerja keras KPK yang gigih memberantas korupsi.
Mengetahui pernyataan Prabowo yang menyerang Jokowi seperti itu, maka Ahmad Basarah sebagai juru bicara Tim Koalisi Nasional (TKN) pasangan Jokowi – Kyai Ma’ruf Amin sudah semestinya menanggapi pernyataan Prabowo dengan cara membangun argumen yang membalikkan logika Prabowo dengan menyebut, bahwa guru korupsi Indonesia itu adalah Soeharto mertuanya Prabowo.
Dalam perspektif psikologi politik, antara pernyataan Prabowo dan Basarah sama-sama mengekspresikan perasaan dan pikiran yang didorong oleh naluri sebagai politisi.
Dalam konteks ini, posisi Prabowo bisa dikatakan sebagai pihak pertama yang melempar isu, sedangkan Basarah berada pada posisi menahan serangan, lalu mencoba membalikkan serangan.
Akibat umpan balik akhirnya menimbulkan efek serangan dari berbagai penjuru; mulai dari pihak keluarga Soeharto, elite partai pendukung Prabowo-Sandiaga. Parta Berkarya, paling terdepan dan bahkan Laskar Berkarya organisasi sayap Partai Berkarya mau melaporkan Ahmad Basarah ke ranah hukum.
Dalam konteks strategi politik, Partai Berkarya memanfaatkan masalah ini dengan mendompleng popularitas dengan cara memelihara polemik ini dengan memainkan psikologi politik dengan memancing emosi, agar isu ini direspon dan menggelinding.
Karenanya, belum tentu upaya membawa kasus ini ke ranah hukum.
Lalu, Tomy Soeharto pun ikut angkat bicara mendorong agar kasus ini diteruskan ke ranah hukum. Tetapi, jika seandainya keluarga Soeharto atau Laskar Berkarya membawa kasus ini ke ranah hukum, itu merupakan hak setiap warga negara.
Namun legal opinion-nya masih belum kuat untuk membuktikan bahwa pernyataan Ahmad Basarah melakukan pencemaran nama baik. Apalagi jika pelapornya tidak ada hubungan darah dengan almarhum mantan Presiden Soeharto.
Membangkitkan ‘macan tidur’
Menjual Soeharto sebagai strategi marketing politik juga hak keluarga Soeharto dan simpatisannya, tetapi hal itu justru bisa membangkitkan ‘macan tidur’, karena sebagian besar masyarakat masih mengingat sisi buruk rezim Soeharto.
Kekuatan silent majority ini sewaktu-waktu bisa terbangun dan mendorong kesadaran kolektif untuk melawan kebangkitan orde baru.
Jika dilihat dari perspektif historis, latar belakang keluarnya pernyataan mantan Sekretaris Jenderal Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Periode 1996 – 1999 yang mengatakan Soehato adalah guru korupsi perlu dipahami, bahwa pernyataan tersebut merujuk pada sejarah lahirmya gerakan reformasi 98. Dimana salah satu pemantik gerakan reformasi 1998 adalah maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang diduga kuat melibatkan Presiden Soeharto, keluarga dan kroninya.
Di sisi lain, upaya penegakan hukum terhadap praktik KKN tidak berjalan sebagaimana mestinya. karena kekuasaan terpusat di bawah kendali Soeharto sebagai penguasa orde baru saat itu. Kekuasaan sentralistik ini telah membuat penegakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.
Walau demikian, meski hukum tak mampu berdiri tegak, tapi praktik KKN di era Soeharto sudah terlanjur menjadi ‘aksioma’, yaitu pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Praktik KKN menjadi aksioma karena sudah menjadi semacam kebiasaan, membudaya dan terjadi terus menerus, sehingga dipandang sebagai kebenaran yang tidak perlu lagi dibuktikan lagi. Namun demikian, dalam perspektif hukum positif, masalah KKN memang perlu pembuktian secara hukum.
Dari aspek historis, pernyataan Wakil Sekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah yang menyebut Soeharto adalah guru korupsi boleh dikatakan kongruen dan sebangun dengan tuntutan reformasi yang menuntut pengadilan terhadap Soeharto dan kroninya karena rakyat sangat yakin bahwa Soeharto telah menyuburkan praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Seolah sudah menjadi kesepakatan umum (common sense) untuk mengatakan bahwa telah terjadi praktik KKN dalam pelaksanaan pemerintahan di masa orde baru. Posisi Soeharto saat itu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang menjadi panutan sebagaimana seorang guru yang menjadi panutan dan memberi pelajaran.
Gerakan ‘people power’
Akhirnya, lemahnya penegakan hukum terhadap Praktik KKN dan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang terjadi di era pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto semakin meningkatkan kekecewaan rakyat.
Akumulasi kekecewaan itu telah mengkristal menjadi gerakan people power yang dikenal sebagai gerakan reformasi 98. Gerakan yang dipelopori mahasiswa bersama-sama rakyat tersebut telah berhasil melengserkan Soeharto dari singgasana kepresidenan.
Untuk mewujudkan salah satu tuntutan utama reformasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Berawal dari tuntutan reformasi yang dituangkan dalam Tap MPR XI/1998 inilah akhirnya lahir Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi dan terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perlu dipahami bahwa latar belakang dikeluarkannya TAP MPR tersebut adalah agar praktik KKN yang terjadi di era pemerintahan Soeharto tidak terulang kembali. Maka dari itu, dalam perspektif yuridis, pernyataan Ahmad Basarah memiliki landasan yang kuat.
Fakta hukum kasus Soeharto
Sebagai bentuk pengakuan secara hukum, bahwa benar telah terjadi praktik KKN di era pemerintahan Soeharto sangat jelas disebutkan dalam Tap MPR XI/1998 di bagian menimbang huruf d; bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
Pun demikian, sebagai bentuk pengakuan negara, bahwa di masa orde baru telah terjadi pemusatan kekuasaan kepada presiden yang mengarah pada sistem pemerintahan otoriter sangat gamblang disebutkan dalam TAP XI/MPR/1998 pada bagian menimbang, huruf b; bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
Sedangkan pengakuan secara yuridis terkait dugaan keterlibatan Soeharto dalam praktik KKN maka Pasal 4 Tap MPR XI/MPR/1998 memerintahkan negara untuk melakukan penegakan hukum terhadap Soeharto dan kroninya serta pihak lain. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan presiden Soeharto.
Meski demikian, ada hal pokok yang menjadi perdebatan yaitu masalah status hukum Soeharto yang dipandang belum ada vonis pengadilan yang membuktikan Soeharto secara sah melakukan korupsi. Terkait hal ini, yang perlu dipahami adalah apa penyebab belum adanya putusan pengadilan yang menvonis Soeharto terbukti bersalah atau tidak. Kita perlu menggunakan nalar yang sehat agar tidak tersesat oleh opini yang sengaja dibangun untuk memulihkan nama baik Soeharto.
Kasus Soeharto berhenti karena terbitnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Terbitnya SKP3 inilah yang membuat kasus dugaan korupsi Soeharto menjadi kabur, tidak jelas dan selamanya akan menjadi perdebatan. Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) karena alasan pengadilan tidak bisa menghadirkan Soeharto di persidangan karena alasan sakit permanen. Maka dengan terbitnya SKPP terpaksa pengadilan kasus dugaan korupsi tujuh yayasan yang melibatkan Soeharto terpaksa dihentikan oleh pengadilan.
Tentu ini menjadi “senjata” bagi keluarga Soeharto dan para Soehartois (pengikut dan simpatisan Soeharto) untuk menepis tuduhan korupsi dengan memberikan penafsiran secara subyektif bahwa Soeharto tidak terbukti melakukan korupsi. Maka atas dasar itu, penafsiran hukum dari pihak lain akan selalu ditepis guna menjaga nama baik Soeharto.
Tetapi penting untuk diingat bahwa berdasarkan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, menyebutkan bahwa penghentian penuntutan karena perkara ditutup demi hukum tidaklah menghapuskan tindak pidana terdakwa. Artinya, sampai kapanpun, status Soeharto tetap terdakwa korupsi.
Walaupun kasus dugaan korupsi Soeharto dihentikan dari aspek hukum pidana karena alasan gangguan kesehatan permanen, tetapi usaha untuk melanjutkan kasus ini ke perdata tetap dilanjutkan. Pada 9 Juli 2007, pemerintah melalui Jaksa Agung telah mengajukan gugatan kepada mantan Presiden Soeharto sebagai tergugat I dan Yayasan Supersemar sebagai tergugat II.
Gugatan tersebut mempersoalkan aliran dana pemerintah yang seharusnya dipakai untuk beasiswa pendidikan tetapi justru dialirkan ke berbagai perusahaan kroni Soeharto. Hasilnya, pengadilan melalui berbagai putusan mulai Putusan Pengadilan Negeri (PN) sampai putusan Peninjauan Kembali (PK) menyatakan Yayasan Supersemar terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum. Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) menghukum Yayasan Supersemar harus mengembalikan dana yang diselewengkan sebesar Rp4,4 triliun ke negara. (Selengkapnya baca putusan MA No.140 – PK/Pdt/2015).
Bayangkan, kerugian negara dari satu yayasan saja sudah mencapai 4.4 triliun. Ini belum termasuk yayasan milik Soeharto yang lain seperti Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Maka bisa kita bayangkan, apa yang terjadi seandainya nanti negara dan rakyat menggugat Soeharto dan yayasan lain milik Soeharto dan kroninya. Kira-kira berapa lagi uang rakyat yang berpotensi diselewengkan.
Hasil investigasi kekayaan Soeharto
Berbagai temuan yang dilansir sejumlah lembaga internasional dan hasil investigasi sejumlah media internasional memperkirakan kekayaan keluarga Soeharto yang diduga dari hasil korupsi selama dia berkuasa jumlahnya mencapai 35 miliar dolar AS. Jika temuan ini ditindaklanjuti maka bisa bayangkan berapa triliun uang negara yang berpotensi diselewengkan.
Transparency International (TI), lembaga internasional yang dikenal luas dengan komitmennya memberantas korupsi, pernah menobatkan bekas Presiden Soeharto sebagai koruptor paling kaya di dunia.
Seperti dikutip BBC News, Forbes dan sejumlah media internasional mencatat kekayaan Soeharto mencapai US$ 15-35 miliar. Sebagian besar di antaranya diduga kuat hasil jarahan selama 32 tahun berkuasa di Indonesia sejak 1967.
Nama Soeharto bertengger di pucuk daftar koruptor sedunia, di atas bekas Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan bekas Presiden diktator Kongo Zaire Mobutu Sese Seko, yang berada di peringkat kedua dan ketiga dengan nilai korupsi terpaut cukup jauh dari Soeharto.
Kekayaan Marcos diperkirakan sekitar 10 miliar dolar AS. Sedangkan Zaire Mobutu sekitar 5 miliar dolar AS.
Temuan ini merupakan Laporan Korupsi Global 2004 (Global Corruption Report 2004) yang dikeluarkan lembaga tersebut untuk bagaimana korupsi dan praktek suap-menyuap yang terkait dengan kekuasaan politik telah merusak habis proses pembangunan di banyak negara berkembang.
Temuan lainnya yang mengungkap dugaan korupsi Soeharto dan keluarga adalah laporan khusus Majalah Time Asia edisi 24 Mei 1999 dengan tajuk “Soeharto Inc.: How Indonesia’s Long Time Boss Built a Family Fortune” yang melaporkan adanya pergerakan transfer dana dari bank Swiss ke Wina, Austria sebesar sembilan miliar dolar AS yang diduga milik keluarga Soeharto yang ditransfer pada Juli 1998 atau kurang dari sebulan setelah mundur dari kursi kepresidenan. Time melakukan investigasi selama empat bulan di 11 negara untuk melacak kekayaan keluarga Soeharto.
Laporan investigasi Time juga menyebutkan, Soeharto dan anak-anaknya telah membangun kerajaan bisnis dan menimbun miliaran dolar AS. Jumlah kekayaan keluarga Cendana kala itu diperkirakan antara 15 miliar sampai 73 miliar dolar AS.
Atas laporan tersebut, keluarga Soeharto menggugat majalah Time ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN). Namun pada 6 Juni 2000 PN Jakarta Pusat mengeluarkan putusan menolak gugatan pihak Soeharto dan keluarga. Atas putusan PN Jakarta Pusat, Keluarga Soeharto mengajukan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tapi pada 16 Maret 2001, PT DKI Jakarta mengeluarkan putusan menolak banding yang diajukan keluarga Soeharto.
Lantas perkara berlanjut di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Alhasil, pada 30 Agustus 2007 MA mengeluarkan putusan mengabulkan pengajuan kasasi keluarga Soeharto dan menyatakan Time Asia melawan hukum dan diperintahkan membayar ganti rugi satu triliun dan harus meminta maaf kepada pihak penggugat.
Akan tetapi Time tidak mau menyerah. Pihaknya mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan di tingkat kasasi. Akhirnya pada 16 April 2009 MA mengeluarkan putusan final yang mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan majalah Time. Dan pada 16 April 2009, MA akhirnya memberikan keputusan final, yakni menerima PK yang diajukan Time dan membatalkan judex juris (putusan kasasi).
Dalam putusannya bertolak belakang dengan dakwaan pada tahap kasasi, MA dalam putusan PK justru menyatakan bahwa laporan yang diangkat Time tentang investigasi kekayaan Soeharto tidak termasuk perbuatan melawan hukum.
Dengan adanya putusan MA yang bersifat final ini, bisa menjadi petunjuk untuk menindaklanjuti temuan laporan majalah Time terkait harta dan kekayaan Soeharto dan keluarganya.
Negara harus mengusut seluruh kekayaan keluarga Soeharto yang diduga dari hasil korupsi. Pemerintah bisa membuka kembali kasus dugaan korupsi Soeharto dan keluarga dengan merujuk pada temuan majalah Time dan lembaga lainnya seperti temuan lembaga Transparancy International.
Aneka stigma Soeharto
Hampir setiap tokoh yang berpengaruh tidak luput dari stigmatisasi, apalagi di era keterbukaan informasi yang serba digital dan di tengah dunia yang dikendalikan internet.
Siapapun tokohnya, tidak mudah menghindar dari situasi ini, apalagi sosok Soeharto yang tergolong tokoh kontroversial di dunia,
Jika ditelusuri di berbagai laman media, buku-buku dan google, ditemukan beberapa stigma Soeharto yang sangat populer dan melekat, seperti “Soeharto presiden terkorup di dunia”, “Soeharto presiden otoriter”, “Soeharto diktator”, “Soeharto Kudeta Soekarno”, “Soeharto bapak pembangunan”, “Soeharto membungkam Islam”, “The Smiling General”.
Dari sejumlah stigma yang melekat pada Soeharto tersebut, maka pernyataan Ahmad Basarah yang menyebut “Soeharto guru korupsi” hanya melengkapi sejumlah predikat yang diberikan oleh sejumlah lembaga maupun individu kepada mantan mertua Prabowo Subianto tersebut.
Jika keluarga Soeharto ingin menjaga nama baik Soeharto, maka semestinya pihak keluarga melaporkan dan menuntut mereka ke ranah hukum.***
*) Artikel opini dengan judul asli: “Melawan Rezim Korup Orde Baru”
**) Penulis adalah Direktur Ekskutif Indonesia Public Institute (IPI)
=====
Redaksi menerima kiriman berbagai jenis artikel dan juga berita, dengan syarat harus disertai nama penulis juga alamat maupun profesi yang jelas. Khusus artikel opini, menjadi tanggungjawab penulisnya setelah penayangan.