BENDERAnews, 30/11/18 (Manado): Ini pepatah tua: “tak kenal, maka tak sayang”…. Ada juga ungkapan khas Orang Minahasa: “Seisia” atau “sei sia”? (=Siapa dia). Juga : ‘Seiko’! (siapa kamu), atau ‘elo siape’?
Nah, bagi warga Minahasa khususnya dan daerah etnis Tombulu serta kawasan lainnya di Sulawesi Utara (Sulut), pasti sudah cukup mengenal, bahkan bisa menyanyikan dengan baik lagu “Opo Wananatas”.
Lirik lagu bernuansa sentimentil penuh ungkapan syukur ini, menceritakan tentang hubungan manusia dan Tuhan Sang Pencipta, sang “Opo Wananatas” (ALLAH Maha Tinggi). Dan lagu ini sering dinyanyikan dalam pelbagai kesempatan bernuansa rohani, atau ucapan syukur atas berkat kehidupan dari si “Opo” (“Amang Kasuruan Wangko” = TUHAN Pencipta Yang Maha Besar). yang kita terima setiap saat.
Syahdan !!! Sebagaimana dilansir AntaranewsSulut, kendati lagu ini sudah melegenda, tetapi tak banyak orang yang tahu siap pencipta lagu tersebut sebenarnya.
Hmmm…. dialah, Johanis Ngangi.
“Tuang guru” senior
Sosok seniman putra Tonsea Lama ini dilahirkan pada tanggal 18 Januari 1912.
Sesudah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Guru Normalschool Katolik Tomohon, dia kemudian membaktikan dirinya sebagai guru di berbagai sekolah.
Dulu, dari era pra kemerdekaan, bahkan hingga dekade awal 1970-an, sosok pendidik senior dan kawakan seperti ini, diberi julukan “tuang guru” atau juga disapa dengan “meneer”.
Bertutur-turut Johanis mengabdikan dirinya sebagai guru Sekolah Dasar pada 1933-1935, yakni sebagai Guru SR Katolik, Sarongsong, 1935-1937, lalu Guru SR Katolik, Kawilei-Tonsea, 1937-1940, selanjutnya Guru SR Katolik Pangolombian, 1940-1942 Leer School RK Tomohon, 1942-1945 Guru DAI ICHI, 1945-1946 Sekolah Gouvernement Tombaria, 1946-1947 SR Umum Tataaran, 1947-1948 SR Lahendong, 1948-1949 Katolike Leer School, Tomohon, 1949-1952 SR Umum Lahendong, 1952-1957 Penilik Pendidikan Masyarakat kewedanan Toulour, Tondano.
Hhhhh….harus tarik nafas panjang dulu. Betapa banyak sekolah yang pernah dilayaninya, dan pastinya telah melahirkan sangat bejubel alumnus, entah mereka sudah jadi apa sekarang di berbagai lapangan pengabdian.
Johanis kemudian pada 1 Agustus 1957 diangkat menjadi Kepala Pendidikan Masyarakat Kecamatan Tomohon dan 1 Juli 1971 menerima Beslit Pensiun dari Departemen P & K Republik Indonesia.
Selain di bidang pendidikan, Johanis juga mendapat amanat untuk mengabdi di lapangan pemerintahan dan politik. Yakni pada periode 1960-1964 sebagai Anggota DPRD Gotong Royong Tingkat Propinsi Sulawesi Utara-Tengah dan Anggotta DPRD Tingkat II, Minahasa, lalu 1964-1966 sebagai Anggota BPH (Badan Pengurus Harian) Bidang Pemerintahan Dati II Minahasa, Tahun 1966-1971 Masa jabatan ke II sebagai anggota BPH Dati II Minahasa, dan 17 Februari 1970 ditunjuk sebagai Wakil Ketua Panitia Pemilihan Umum 1971 Dati II Minahasa.
Banyak bukan?
Tak berhenti di lapangan pemerintahan dan politik, Johanis juga didaulat mengelola bidang Pergerakan dan Kemasyarakatan. Yakni pada periode 1939-1942 dan 1940-1942 aktif dalam pembinaan anak-anak remaja sebagai pemimpin dalam kepanduan (padvinderig).
Pada periode tahun 1945-1952, Johanis aktif dalam Pergerakan Pemuda Katolik (PPK) Vikariat Manado dan duduk sebagai anggota lembaga Pemuda Katolik.
Belum berhenti di sana, Johanis jugapunya kharisma sebagai seorang penulis dan jurnalis. Karenanya, dia sempat tercatat sebagai staf redaksi Majalah “Rangkaian” Pemuda Katolik.
Di sektor lain, Johanis juga merupakan salah satu tokoh pendiri Pendirian Masyarakat Katolik (Pemakat). Kemudian pada periode tahun 1952-1969 menjadi Ketua Persatuan Guru Katolik (PGK).
Dan yang juga patut diingat, Johanis Ngangi juga tercatat sebagai salah satu tokoh pendiri Sekolah Don Bosco Tomohon, sebuah pusat pendidikan katolik terkenal, dan telah beranak pinak dengan membuka cabangnya di Jakarta (atas inisiatif beberapa alumninya, Red).
Banyak mencipta lagu
Arkian !!! Johanis Ngangi kemudian pensiun sebagai pengajar di tahun 1970, tepat pada usia 58 tahun.
Johanis Ngangi memperistri seorang putri asal Kamasi Tomohon, bernama Bonifasia Mandagi. Sesudah hidup beberapa lama di kampung asal istri, mereka bermigrasi ke Walian, yang masih masuk wilayah Tomohon.
Dari delapan anak Johanis Ngangi diperoleh cucu-cucu yakni Sizy Warbung, Dr Ir Charles Ngangi MS, Debby Ngangi, Ir Riko Ngangi, Petty Ngangi SS, Dr Ir Edwin Ngangi MSi, Marcy Ngangi SPi, Tonny Ngangi, Randy Mondong, Linda Mondong, Alvin Sarayar SE, Alva Sarayar ST MSc, Alcy Sarayar SE, Allan Sarayar, Valerino Ngangi SE, Gregori Runtunuwu ST, Arlette Runtunuwu SE dan Priscilla Moreau.
Perjalanan kehidupan sebagai manusia bertalenta dari seorang Johanis Ngangi berujung pada 12 Nopember 1982, di Desa Walian-Tomohon. Johanis Ngangi meninggal dunia dan menghadap Sang “Opo Wananatas” yang telah dipuja-pujinya melalui lagu amat indah dan memiliki nuansa rohani sangat mendalam ini.
Sesungguhnya, selai “Opo Wananatas”, Johanis Ngangi juga banyak menciptakan lagu, misalnya khusus untuk Pergerakan Pemuda Katolik dan Generasi Muda Pro Merah Putih di era 1937-1942, sebelum Jepang masuk Minahasa.
Di antaranya (yang mesti kita generasi kini kumandangkan lagi), yakni “Madjoelah Pemoeda Kaoem Maesa”, Di “Bawah Bendera Jang Berkibar”, “Baersatoe Padoe” dan lain-lain.
Johanis Ngangi juga mencipta lagu-lagu ‘Rijdans’, antara lain “Di Bawah Bendera”, “Jang Erat Ikatan Moe”, “Sobat”, “Lili Eja”, “Sa Si Endo”, dan seterusnya. Ayo Tou MinaEsa, torang manyanyi akang ulang jo ini donci-donci hebat ini…...!!!
Wajar jika Negara melalui Kementerian Hukum dan HAM RI telah memberikan pengakuannya terhadap karya Johanis Ngangi:
Mari kita lestarikan jiwa-semangat-nilai (JSN) Johanis Ngangi. Dan mendukung upaya DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP) untuk terus menginventarisasi serta memperjuangkan sosok-sosok pejoang seperti ini, agar benar-benar mendapat pengakuan Negara, jika perlu diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Salam Merah Putih, Tetap Jaya!!! (B-Guido Merung-ANT/jr)