BENDERRAnews, 29/11/18 (Jakarta): Situasi ekonomi kelapa nasional belum ada tanda-tanda membai. Padahal, sejak pertengahan 2018 lalu, harga kopra (kelapa) di sejumlah sentra produksi terus menurun.
Akibatnya, aksi protes pun bermunculan dari petani dan mahasiswa di beberapa daerah seperti di Ternate (Maluku Utara), Manado-Minahasa Selatan-Minahasa Tenggara (Sulawesi Utara) hingga Jakarta.
Upaya melakukan ekspor kelapa untuk mencegah harga anjlok pun belum berdampak signifikan.
Secara umum, harga kopra masih jauh di bawah harga normal di sentra produksi seperti Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Di Halsel mulai naik
Dilaporkan Suara Pembaruan, ada daerah yang dilaporkan harga kopranya mulai naik, seperti di Halmahera Selatan (Maluku Utara), namun sebagian besar belum terlihat tanda-tanda membaik.
Bupati Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Maluku Utara (Malut), Bahrain Kasuba, Rabu (28/11/18) menyatakan, harga kopra di daerah itu saat ini telah naik dari Rp2.000 menjadi Rp4.000 per kg.
Informasi itu, menurutnya, seperti ditulis Antara, diperoleh dari pengecekan di sejumlah pedagang atau pembeli kopra di wilayah tersebut.
Sebelumnya, untuk mencegah harga kelapa yang terus merosot, Kementerian Pertanian (Kemtan) mendorong ekspor produk turunan kelapa, salah satunya kelapa parut kering (desicated coconut).
Ekspor dari Sulut
Ekspor dari Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut) itu ditujukan ke belasan negara di Asia, Amerika Serikat (AS), hingga Eropa.
“Produk kelapa yang diekspor antara lain dessicated coconut (DC), coconut crude oil (CCO), turunan CCO, kelapa bulat, karbon aktif, dan air kelapa,” kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementan, Bambang dalam keterangan pers, Sabtu (17/11/18).
Baca : Harga Kopra Anjlok, Aksi Protes di Sejumlah Daerah Semakin Marak
Sebagai informasi, pada 2017 terdapat peningkatan yang signifikan ekspor kelapa dan produk-produk turunannya, dari US$793,3 juta di tahun 2013, menjadi US$1,4 miliar (Rp14,1 triliun) pada 2017, atau meningkat sebesar 43 persen.
Nilai ekspor sektor perkebunan sendiri secara umum mencapai Rp432,4 triliun atau 96 persen dari total nilai ekspor pertanian pada tahun 2017.
Petani dililit penderitaan
Sekalipun ekspor terus didorong, turunnya harga kopra di sejumlah sentra produksi mash terjadi sejak pertengahan 2018 lalu.
Bahkan, ada beberapa daerah mulai terjadi sejak Maret 2018 sehingga para petani semakin dililit penderitaan.
Hal ini memicu aksi protes agar pemerintah dan para pihak tekait lainnya bisa mencegah anjloknya harga produk kelapa tersebut.
Para petani yang tergabung dalam Pergerakan Petani Kopra (PPK) Tarakani di seluruh wilayah Galela, Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Provinsi Malut sempat memboikot jalan trans Tobelo-Galela sebagai protes atas anjloknya harga kopra. Aksi petani ini kemudian dilanjutkan dengan protes dari para mahasiswa di Kota Ternate hingga Senin (26/11/18) lalu. Rombongan mahasiswa sempat menduduki kediaman Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba.
Sebelumnya, terjadi aksi demo damai dari ribuan petani kelapa Minahasa Selatan (Minsel) dan Minahasa Utara (Mitra), Sulut. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa ini bahkan menduduki sebuah pabrik minyak kelapa di Kota Amurang, ibukota Minsel.
Protes juga dilakukan sejumlah elemen mahasiswa yang ditujukan pemerintah daerah dan DPRD di Sulawesi Utara (Sulut). Jajaran DPRD setempat pun mengakui sulit melakukan intervensi terkait degan harga yang merosot tajam tersebut. Hal itu karena kopra bukan komoditas strategis yang dilindungi pemerintah sehingga mekanismenya pasar bebas, tergantung pesediaan dan permintaan.
Tidak hanya di sentra produksi kelapa, aksi protes juga digelar kelompok yang menamakan diri Petani Mal-Malut di Jakarta. Aksi tersebut dilakukan pada Senin (26/11/18) dengan membakar ban di depan kantor Kementerian Perdagangan (Kemdag). (B-ANT/SP/BS/jr)