Kasus Baiq Nuril yang dituduh melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyita perhatian masyarakat. Baiq Nuril didakwa telah menyebarkan konten asusila yang direkamnya lewat percakapan melalui telepon seluler dengan eks Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram Haji M.
Pada percakapan itu, Haji M menceritakan tentang tindakan asusila yang telah ia lakukan bersama seorang perempuan. Menurut Baiq Nuril, Haji M sering menceritakan perbuatan semacam itu. Pada waktu itu, ia berinisiatif untuk merekam sebagai tindakan “untuk menghindari dari fitnah”. Menurutnya, ia tidak mau disalahkan oleh suami dan anaknya berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dianggap menggoda dirinya. Dengan seringnya Haji M menelepon dirinya dengan menceritakan soal perbuatan asusila, menurut Baiq Nuril, merupakan tindakan pelecehan kepadanya.
Kasus itu sendiri bermula bukan atas inisiatif Baiq Nuril untuk menyebarkan konten rekaman pembicaraan asusila tersebut. Berdasarkan salinan vonis, diketahui bahwa tersebarnya rekaman itu karena adanya permintaan dari seseorang yang akan melaporkan tindakan asusila yang dilakukan oleh Haji M tersebut. Rekaman itu diperlukan sebagai bukti untuk memperkuat laporan sehingga tidak terkesan sekadar fitnah. Berdasarkan naskah vonis juga diketahui bahwa ada perjanjian antara Baiq Nuril dengan peminta rekaman agar rekaman yang dimaksud tidak disebarkan, melainkan hanya digunakan sebagai bahan laporan. Namun, tanpa sepengetahuan Baiq Nuril, rekaman itu menyebar hingga terjadi pelaporan terhadap dirinya.
Posisi Baiq Nuril
Ada dua hal yang patut dicermati di sini, yaitu kedudukan Baiq Nuril sebagai subjek hukum dan mengenai UU ITE yang dijadikan landasan untuk mengadili kasus ini. Kedua hal ini sangat menentukan apakah Baiq Nuril bisa dihukum atau mempunyai celah hukum untuk terhindar dari hukuman yang tidak seharusnya ia terima. Selain itu kedua hal itu juga bisa menjadi fokus perhatian bagi analisis politik hukum khususnya mengenai UU ITE.
Pertama, mengenai kedudukan Baiq Nuril. Karena dilaporkan oleh seseorang yang merasa dirinya dirugikan oleh tindakan yang bersangkutan, maka perempuan tersebut secara formal berkedudukan sebagai pelaku atau terlapor. Hal ini didasarkan pada fakta telah tersebarnya konten pembicaraan asusila yang semua berada di ponsel milik pelaku. Namun adanya pembicaraan asusila yang sengaja dilakukan oleh pelapor/korban, dalam hal ini Haji M, bisa juga mendudukkan Baiq Nuril sebagai korban.
Mungkin dipertanyakan apa motivasi dari penyebaran konten tersebut kepada Baiq Nuril. Namun, pada saat yang sama juga bisa dipertanyakan apa maksud dari Haji M menelepon Baiq Nuril untuk menceritakan perbuatan asusilanya? Sudah jelas bahwa dalam hal tersebarnya rekaman tersebut semula karena ada seseorang yang memintanya sebagai bahan untuk melaporkan Haji M. Dengan demikian, tidak ada maksud Baiq Nuril untuk mempermalukan Haji M atau perbuatan sengaja lainnya di luar hukum. Baiq Nuril juga tidak secara aktif menyebarkan, justru orang lain yang menyebarkannya. Dari situlah dapat dimengerti jika Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Baiq Nuril.
Namun, apa maksud dari Haji M menelepon Baiq Nuril dan berbicara soal perbuatan asusila? Jelas ini adalah perbuatan melecehkan Baiq Nuril secara seksual. Dengan demikian Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual.
Kedua, mengenai UU ITE. Dalam naskahnya Pasal 27 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa “Setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Ketentuan tersebut sebenarnya sudah komprehensif yaitu adanya “seseorang yang tanpa hak”. Sehingga sekalipun Baiq Nuril menjadi orang yang dengan aktif memberikan rekaman sebagai maksud untuk laporan, maka Baiq Nuril adalah orang yang berhak mengingat ia adalah merupakan korban yang sesungguhnya. Logika seperti ini disampaikan oleh praktisi hukum Hotman Paris Hutapea ketika menanggapi kasus ini.
Pertanyaannya mungkin adalah apakah Baiq Nuril memberikan laporan itu kepada institusi atau orang atau pihak yang berhak? Ini mungkin menjadi celah hukum yang bisa menjerat Baiq Nuril. Namun, berdasarkan berita dalam Vonis di PN Mataram disebutkan bahwa rekaman itu diberikan kepada seseorang yang bermaksud melaporkan kepada DPRD karena ini berkaitan dengan pelanggaran etik. Dengan demikian, Baiq Nuril tidak memberikan kepada sembarang orang dan tanpa maksud di luar dari keinginan untuk menegakkan hukum dan etika.
Pasal Karet?
Kembali kepada UU ITE. Dengan memperhatikan naskah dari Pasal 27 ayat (1) UU ITE tersebut sebenarnya sudah dapat diketahui bahwa pasal itu bukanlah pasar karet seperti yang dikeluhkan oleh sebagian kalangan. UU ITE sendiri dalam hal ini tidak salah. Ketentuan dalam pasal ini tidaklah selentur yang diduga oleh banyak pihak.
Namun demikian, memang tetap ada celah untuk mencoba menafsirkan secara elastis, dan itu wajar ada di semua pasal di semua undang-undang. Dalam memutuskan sebuah masalah hukum, hakim dan jaksa punya otonomi tersendiri untuk menafsirkan landasan undang-undang yang dipakai. Aspek manusiawi inilah yang kemudian bisa menjadi celah bagi adanya kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja. Namun dalam hal ini, pasal dalam UU ITE tersebut sebenarnya sudah cukup mengakomodasi asas-asas dan aspek-aspek dari sebuah pelanggaran.
Memang diperlukan kemampuan atau kapasitas yang memadai dalam menafsirkan hukum. Namun meskipun seseorang punya kemampuan yang cukup, tetap ada celah untuk berbeda pendapat dengan orang lain. Oleh karena itu, barangkali dalam kasus ini, persoalan tafsir hakim dan jaksa bisa jadi berbeda dengan pihak lain.
Mengingat kasus ini sudah menjadi kasus hukum yang sudah berjalan, maka benar kata Presiden Jokowi, bahwa eksekutif tidak bisa mengintervensi mekanisme yang berlaku di yudikatif. Mau tidak mau, Baiq Nuril harus menempuh prosedur hukum yang sudah seharusnya, yaitu melakukan Peninjauan Kembali (PK). Menempuh aturan di luar itu jelas merupakan pelanggaran hukum.
Jalur ketidaksetujuan yang diekspresikan melalui ungkapan individu atau kelompok sebagai sebuah upaya politik memang bisa ditempuh. Tapi itu semata-mata sebagai sebuah tekanan untuk memberikan rekomendasi terhadap sesuatu yang menurut pemberi ekspresi tidak benar. Pada akhirnya, para pengadil yang sah, yaitu para hakimlah yang memutuskan. Mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka kita harus menghormati proses hukum yang ada. Kita harus memisahkan antara isu hukum dan isu kemanusiaan.
Kita tentu berharap bahwa ada keadilan bagi Baiq Nuril yang sebenarnya tidak bersalah. Namun sekali lagi, kita juga harus mematuhi mekanisme hukum. Mudah-mudahan hasil akhir nanti mencerminkan keadilan bagi masyarakat yang sesungguhnya, khususnya bagi Baiq Nuril. (B-BS/jr)
*) Disadur dari ‘BeritaSatu.com’, Edisi Rabu, 21 November 2018, dengan judul asli: “Keadilan untuk Baiq Nuril”
**) Penulis adalah doktor ilmu politik, dosen Universitas Pelita Harapan, dan kolumnis Suara Pembaruan serta Wakil Ketua Umum DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP).