BENDERRAnews, 13/11/18 (Jakarta): Hingga kini, publik terutama melalui media sosial masih ramai mempergunjingkan persaingan film A Man Called Ahok dan Hanum & Rangga: Faith and The City.
Dua film ini memang tampil bersamaan di berbagai bioskop barusan, sehingga masih hangat diperbincangkan warganet.
Diketahui, warganet membandingkan dan menyambungkan dua film yang tayang secara bersamaan pada Kamis (8/11/18) dengan unsur politik di dalamnya.
Hal ini pun disampaikan oleh dua pengamat film, Benny Benke dan Yan Wijaya.
Dalam pendapatnya mereka berdua sepakat, jika film Hanum terkena dampak dari persoalan nonfilm, yaitu setelah Hanum Rais membela Ratna Sarumpaet terkait kasus hoax. Sedangkan Ahok, selalu dikaitkan dengan persoalan politik yang pernah menimpa mantan gubernur DKI itu.
“Menyedihkan sih. Film dikaitkan dengan persoalan politik. Padahal, kedua sutradaranya mengaku (film ini) tidak terkait dengan kepentingan politik praktis. Namun, publik terlanjur mengaitkan hal itu, diperparah perang opini antara para pendukung dan pembenci,” jelasnya dalam pesan singkat kepada Suara Pembaruan, seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’, Senin (12/11/18).
Benny juga melanjutkan, saling sindir dan saling serang via sosial media juga akan mempengaruhi keinginan seseorang untuk datang menonton atau justru membatalkan niatnya untuk menonton film tersebut.
Di samping itu, Yan Wijaya saat dihubungi juga menuturkan, data penonton dua film tersebut. Pada hari pertama hingga hari ke empat penayangan, Ahok memimpin dengan total perolehan 587.474 penonton, sedangkan Hanum meraih 201.378 penonton.
Artinya, demikian pengamat film, Teddy Matheos, film Ahok unggul telak atas Hanum. Itulah fakta sesunguhnya. Juga menurutnya, bisa jadi indikasi, model film Hanum yang dulu sukses, kini mulai pudar. “Apakah pentonton mulai bosan dengan model film seperti ini,” tanyanya.
‘Ahok’ miliki kekuatan merangkul
Dia berpendapat, selain persoalan politik yang mengikat antarkeduanya, jumlah film Ahok yang lebih tinggi dari Hanura, juga karena dipengaruhi oleh konsep awal film ini dikemas oleh sang sutradara Putrama Tuta, dan tiga produser Ilya Sigma, Emir Hakim, dan Reza Hidayat yang menggawanginya.
Yan mengatakan, film A Man Called Ahok yang diadaptasi dari novel dengan judul sama karya Rudi Valinka memiliki kekuatan untuk merangkul seluruh keluarga. Karena mengisahkan tentang hubungan seorang anak, Basuki Tjahaja Purnama, kepada ayahnya, Kim Nam. Jadi, menurut Yan, film ini bisa ditonton untuk keluarga.
Sedangkan Hanum, menceritakan kisah romansa Hanum Rais dan sang suami, Rangga. Film ini bercerita tentang perjalanan mempertahankan cinta dan menekankan pada kisah dilemma yang dialami wanita karier. Apakah memilih untuk mengejar impian atau menjaga keutuhan sebuah keluarga.
“Segmennya berbeda, dan Ahok mendapatkan ruang yang lebih luas dari Hanum,” ujarnya lagi.
Lebih dari itu, Yan juga mengatakan film kelima dari novel garapan Hanum ini rupanya tidak sesukses dari yang sebelumnya. Sebut saja film, 99 Cahaya di Langit Eropa 1 dan 2, Bulan Terbelah di Langit Amerika 1 dan 2.
“Dulu, film model seperti ini banyak diminati karena saat itu jarang ada film yang mengambil latar tempat syuting di benua Eropa. Namun, kini sudah banyak film yang mengambil latar di luar negeri, jadi sudah biasa,” tembahnya.
Bukan panggung politik
Lain sisi, produser dari A Man Called Ahok, Emir Hakim saat dihubungi menampik jika film ini dianggap sebagai wadah atau panggung politik bagi kelompok tertentu. Dirinya menjelaskan, sejak pertama kali film ini direncanakan untuk dibuat, tujuan utamanya ialah untuk menginspirasi banyak orang.
“Kita sadar, orang mendengar kata pak Ahok pasti berpikir akan ada kisah politik yang kuat. Untuk itu, sejak film ini diumumkan 6 September 2018, kami roadshow ke beberapa kota untuk menyampaikan film ini tidak pernah memposisikan kisah, panggung atau alat politik di film ini. Ini adalah kisah yang diambil dari novel, yang menceritakan bagaimana cara seorang ayah membentuk karakter anaknya, hingga menjadi tokoh yang kuat,” ungkapnya.
Kendati demikian, sebagai produser dirinya pun tak kuasa untuk membatasi interpretasi publik terhadap film ini, dan menghargai segala komentar menjadi sebuah dorongan untuk tetap memberikan karya yang positif.
“Kami sebagai pembuat film tetap respek dengan film lain, dan harus kita berikan pujian juga, dan respek juga. Kita tidak mau disangkutpautkan dengan film mana pun. Kita dari awal komitmen sama-sama untuk membuat karya film yang bagus. Penonton jadi penilai saja. Kalau dibandingkan dengan film mana pun, sah-sah saja kalau mereka yang berbicara,” tegasnya.
Positifnya, Emir mengatakan respon yang ramai dari penonton di sosial media justru membuat jumlah penonton film Ahok terus meningkat. Saat ini sudah sekitar lebih dari 400 layar bioskop di Indonesia yang menayangkan film ini.
“Saya rasa ketika orang telah menonton film tersebut, mereka keluar dan menceritakannya bagaimana reaksi mereka setelah nonton film tersebut, itu yang menurut saya merupakan promosi yang paling kuat, word of mouth,” jelasnya seperti dilansir Suara Pembaruan dan ‘BeritaSatu.com’.
Instruksikan kader PAN?
Di pihak lain, seperti dilansir dari Tirto, Hanum memiliki cara promosi film yang berbeda dari Ahok. Yaitu dengan menggaet Partai Amanat Nasional (PAN) yang menginstruksikan kader menonton film. Begitu juga Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Rektor kampus langsung memberikan instruksi serupa.
Instruksi kepada kader PAN muncul dari Sekjen Eddy Soeparno dan Wakil Ketua Umum Viva Yoya Mauladi. Surat bernomor PAN/WKU-SJ/172/XI/2018 menjelaskan dengan terang alasan pengerahan kader menonton film itu.
Dalam surat itu, DPP meminta kesediaan kepada nama-nama yang terlampir untuk menjadi koordinator dan memfasilitasi nonton bareng bersama konstituen di daerah pemilihannya pada hari pertama film itu tayang, 8 November lalu. Para koordinator ini juga diminta melakukan blocking satu studio atau lebih di jaringan bioskop XXI di kota masing-masing untuk keperluan nonton bareng itu.
Tak lupa, surat tertanggal 2 November 2018 juga meminta kader PAN menghadirkan media massa demi pemberitaan yang luas dan masif. Dalam poin terakhir tertulis, gerakan itu bertujuan menciptakan gaung nasional atas film Hanum & Rangga karya anak bangsa yang bernuansa Islami dan memberikan teladan dalam membina keluarga muda. Wuauw, ini baru politis. (B-SP/BS/jr)