BENDERRAnews, 31/10/18 (Jakarta): Dalam sorotan kritis, Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan belum merepresentasikan umat beragama di Indonesia.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut juga tidak memerhatikan kultur dan tradisi peribadatan sejumlah agama. Sepatutnya RUU yang menjadi usul inisatif DPR itu dikaji ulang secara komprehensif.
Sekretaris Jenderal Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Clance Teddy, menegaskan itu dalam sebuah sorotan kritis, Rabu (31/10).
“Perlu diperhatikan kultur dan tradisi keagamaan, termasuk kekhasan agama-agama yang ingin diatur. Tidak semua agama itu sama dan tidak boleh kita menyamaratakan begitu saja,” tandasnya, seperti dilaporkan Carlos Paath, jurnalis ‘Suara Pembaruan’, yang dilansir BeritaSatu.com.
Dikritisi kalangan aktivis
Untuk diketahui, beberapa pasal dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dikritisi kalangan aktivis dan tokoh lintas agama. Misalnya terkait pasal penerapan sekolah minggu dan katekisasi yang berpotensi berbenturan dengan realitas di lapangan.
Clance menyatakan, DPR ketika menjalankan fungsi legislasi semestinya melibatkan elemen-elemen keagamaan. DPR dalam menyusun sebuah produk RUU juga berkewajiban berdiri di atas semua kepentingan.
Konsensus nasional yang sudah terbangun sejak bangsa ini merdeka, tidak perlu diusik lagi.
“DPR wajib hukumnya melibatkan semua unsur-unsur keagamaan yang berkaitan dengan RUU ini, sehingga tidak misleading dalam seluruh tahapan proses legislasi dan dapat dijalankan dengan baik di lapangan,” ujar alumnus Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), di Manado, Sulawesi Utara ini.
Terkesan terburu-buru
Hal senada disampaikan Ketua DPP GMNI Bidang Kaderisasi dan Ideologi, Arjuna Putra Aldino, yakni, pembahasan draf RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan terkesan terburu-buru.
Dii gatkannya, jika tetap diberlakukan begitu saja, berpotensi merugikan kalangan agama tertentu.
“RUU ini harus menyerap semua aspirasi keagamaan yang ada,” katanya.
“RUU ini harus berfokus melindungi hak dan tradisi keagamaan yang ada di republik ini. Bukan hanya lekat dengan simbolisasi agama dan nuansa sektarian semata. Jika tidak RUU ini akan membahayakan keberagamaan, yang berarti membahayakan Pancasila itu sendiri.” (B/SP/jr)