BENDERRAnews, 11/10/18 (Mangupura): Suatu kehormatan besar dari seluruh dunia, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional atau IMF dan Bank Dunia (World Bank). Lalu, Bali dipilih menjadi lokasi rangkaian pertemuan yang dimulai Senin (8/10/18) hingga Minggu (14/10/18).
Namun, menjelang dan saat dimulainya pertemuan, ada saja kritik dilontarkan sejumlah kalangan di dalam negeri. Hmmmm…!
Mereka menilai, penyelenggaraan pertemuan tahunan merupakan pemborosan anggaran, karena menghabiskan dana hingga Rp855 miliar. Apalagi, di saat bersamaan Indonesia tengah berduka lantaran bencana alam beruntun, berupa gempa bumi di Lombok dan Sulawesi Tengah.
Lebih ironis lagi, penyelenggaraan pertemuan tahunan yang melibatkan banyak tokoh keuangan, baik 189 negara anggota ini, dianggap tidak berempati dengan duka para korban bencana alam. Para pengkritik pun menyerukan agar pertemuan itu dibatalkan, dan dananya dialihkan untuk penanganan pasca-gempa.
Hei kawan…! Tanpa mengurangi simpati kalian dengan para korban bencana, penyelenggaraan pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia ini harus disadari merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk mengambil manfaat, terutama secara ekonomi.
Membatalkan agenda pertemuan yang sudah di depan mata, tentu juga bukan pilihan yang bijak. Mengingat sudah banyak anggaran yang dikeluarkan untuk mempersiapkan event akbar ini dalam setahun terakhir. Justru kerugian yang akan didapat jika acara ini dibatalkan.
Lombok-Sulteng tak terabaikan
Pemerintah pada hakikatnya menerapkan kerja kolektif. Dengan demikian, ada delegasi tugas dan kewenangan sehingga penanganan korban gempa, baik di Lombok (dan sekitarnya) maupun Sulteng, tidak terabaikan. Dan pada saat bersamaan penyelenggaraan pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia bisa berjalan lancar dan sukses.
Tak hanya itu, perhelatan Asian Para Games ke-3 di Jakarta pun tak terganggu. Malah selain sukses penyelenggaraan (seperti Asian Games 2018 sebelumnya), juga sukses prestasi, plus tentunya sukses perekonomian (pariwisata), karena ada ribuan atlet plus ofisial memanfaatkan iven ini untuk kuliner, belanja suvenir dsb. Belum lagi ada aliran dana ke kas pengelola perhotelan, taksi, bus, pulsa dst, terutama di Jakarta dan sekitarnya.
Singkatnya, tak bisa dimungkiri, pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali ini merupakan peluang untuk menggairahkan perekonomian setempat dan perekonomian nasional.
Sebab bagi Bali, khususnya, ada investasi pemerintah untuk membangun infrastruktur dan sarana pendukung.
Warisan bermanfaat bagi Bali
Anggaran penyelenggaraan yang mencapai Rp855 miliar mayoritas terserap untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Seperti perluasan apron di Bandara Ngurah Rai untuk menampung lebih banyak pesawat yang membawa puluhan ribu delegasi dari dalam dan luar negeri, pembangunan under pass untuk memperlancar lalu lintas dari bandara menuju kawasan Nusa Dua tempat berlangsungnya acara, serta pembangunan dan perbaikan infrastruktur pendukung lainnya.
Semua investasi pemerintah tersebut tentu sangat bermanfaat bagi perekonomian Bali di masa mendatang. Perluasan apron di Bandara, misalnya, membuka peluang Bali menerima kunjungan lebih banyak wisatawan.
Demikian pula pembangunan infrastruktur under pass, ke depan akan memperlancar arus lalu lintas, sehingga wisatawan merasa nyaman tak terjebak kemacetan parah.
Dengan kata lain, biaya besar yang dikeluarkan tidak hilang, namun menjadi warisan bermanfaat bagi Bali, dan pada akhirnya bermuara pada kepentingan ekonomi nasional.
Dampak langsung Rp5,9 T
Selain itu juga ada dampak tak langsung yang dirasakan. Misalnya, penciptaan lapangan kerja selama pembangunan infrastuktur dan sarana penunjang, serta kebutuhan tenaga relawan untuk membantu kelancaran acara. Sektor-sektor perekonomian Bali, baik formal maupun informal, menangguk keuntungan dari event tersebut. Hal ini berarti ada peningkatan pendapatan masyarakat.
Pemerintah memperkirakan, dampak langsung penyelenggaraan pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia terhadap perekonomian Bali selama tahun 2017-2018 mencapai Rp5,9 triliun. Jumlah itu terdiri dari Rp3 triliun investasi infrastruktur dan sisanya diharapkan dari belanja delegasi yang hadir di Pulau Dewata.
Kondisi tersebut tentu juga berdampak terhadap perekonomian nasional, terutama dari sektor pariwisata. Pasalnya, pariwisata menjadi sektor andalan untuk mendukung strategi kebijakan penguatan cadangan devisa. Ribuan tamu mancanegara yang hadir tentu akan membawa devisa dan menukarnya dengan rupiah. Ini tentu akan berdampak pada penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Selain itu, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (Wisman) dengan sendirinya meningkat, dan tren pendapatan devisa dari sektor ini juga bertambah. Pada tahun 2017, sebanyak 14 juta Wisman hadir ke Indonesia. Tahun ini, ditargetkan sebanyak 17 juta wisman, dan meningkat menjadi 20 juta Wisman pada 2019. Devisa dari sektor pariwisata juga terdongkrak, dan diperkirakan menjadi Rp 280 triliun pada tahun depan.
Komitmen investasi
Pengalaman dari negara lain yang menjadi tuan rumah event internasional selalu memberi keuntungan positif bagi perekonomian. Selain keuntungan secara ekonomi, ada juga keuntungan nonfinansial yang bisa menjadi peluang untuk dimanfaatkan di masa mendatang. Keuntungan non-finansial dimaksud, di antaranya, terciptanya jejaring dengan delegasi yang hadir. Hal ini bisa melahirkan kerja sama antarperusahaan, memperkuat pemasaran, dan memperkenalkan destinasi wisata baru.
Keuntungan lain ialah kompetensi Indonesia menggelar event berskala besar semakin dikenal dan diakui. Hal ini akan membantu untuk memperbesar kesempatan menjadi tuan rumah event serupa di masa mendatang. Selain itu, menjadi tuan rumah juga berkesempatan dikenal seluruh dunia melalui promosi dan pemberitaan melalui media.
Komitmen investasi Rp300 T
Pemerintah juga memanfaatkan momentum pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia ini untuk mempromosikan potensi investasi. Diperkirakan, akan ada Rp300 triliun komitmen investasi yang ditandatangani di Bali.
Semua ini merupakan manfaat yang bisa dipetik, yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat kondisi ekonomi nasional, yang saat ini tengah menghadapi tekanan eksternal, seperti tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan dampak perang dagang AS dan Tiongkok.
Pemerintah dan semua pihak, baik pengusaha maupun seluruh elemen masyarakat, harus mampu memanfaatkan momentum emas ini. Demikian SuaraPembaruan
Dari Nusa Dua, Bali, dilaporkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan membantah tuduhan, Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 yang berlangsung 8-14 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali diselenggarakan dengan terlalu mewah dan menelan dana hingga Rp1 triliun. Sebaliknya, kegiatan ini dilakukan dengan anggaran yang sangat hemat.
Ia mengungkapkan, berdasarkan pagu anggaran tahun 2017-2018, dana yang disiapkan untuk kegiatan ini mencapai Rp855,6 miliar.
Namun, hingga kini dana yang dimanfaatkan baru mencapai Rp566 miliar dengan pembayaran untuk penyelenggaraan yang sudah dilakukan mencapai Rp192 miliar.
“Saya sebagai ketua penyelenggara, angka ini sangat hemat. Saya tanggung jawab. Mudah-mudahan tokoh yang ada di luar sana dengar omongan saya ini. Saya dan Gubernur BI dan Menteri Keuangan tidak mau korupsi dana ini, dan kami tidak gila,” kata Luhut yang juga Ketua Panitia Nasional Annual Meetings International Monetery Fund-World Bank Group ( IMF-WBG) 2018 dalam konferensi pers di Nusa Dua, Senin (8/10/18) awal pekan ini.
Ia memaparkan, peserta yang ikut acara pertemuan tahunan ini mencapai 34.223 orang yang terdiri atas peserta dari asing mencapai 14.003 orang. Sementara 23.220 dari dalam negeri termasuk panitia, perbankan, pengusaha, dan media.
“Peserta asing itu banyak yang datang bersama keluarganya. Biarkan saja mereka datang dan mereka bayar sendiri. Kita sama sekali tidak bayar anggota keluarga peserta,” tandasnya.
Luhut mengatakan, kalau pembangunan infrastruktur yang dilakukan untuk mendukung acara ini dianggap pemborosan, hal itu salah. Misalnya pembangunan under pass di Bali itu untuk meningkatkan jumlah wisatawan menjadi sekitar 1,2 juta wisman per tahun. Demikian juga pembangunan apron bandara Banyuwangi di Jawa Timur, itu ditujukan untuk meningkat wisatawan 250 persen.
Begitu juga, lanjutnya, dengan peningkatan Bandara di Danau Toba yang meningkatkan jumlah wisatawan hingga 350 persen. “Semua untuk percepatan pembangunan infrastruktur itu terkait dengan peningkatan pariwisata, tidak hanya karena IMF-WBG,” tegasnya.
Dampak jangka panjang
Hal senada juga disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Biaya pembangunan infrastruktur di beberapa destinasi pariwisata seperti pembangunan perpanjangan bandara tidak bisa dimasukkan ke dalam dana penyelenggaraan acara.
Karena itu rencana pemerintah dalam jangka panjaang untuk tujuan peningkatan wisatawan.
Misalnya, menurutnya, pembangunan apron Bandara Banyuwangi yang menelan biaya hingga Rp2,3 triliun itu karena untuk meningkatkan jumlah wisatawan. “Bahkan saya dengar biasanya di Banyuwangi itu kalau Oktober low season, tetapi bulan Oktober ini malah tinggi dan ini berpengaruh ke Bali,” demikian Sri Mulyani, seperti dilansir Investor Daily. (B-SP/ID/BS/jr).