BENDERRAnews, 14/9/18 (Jakarta): Negara dengan volume ekonomi terbesar di dunia, seperti Amerika, Tiongkok, Jepang dan Jerman, tak luput dari utang. Begitu pula negara-negara berkembang seperti India, Indonesia, Brazil dan Meksiko.
Hanya saja, setiap negara punya strategi masing-masing dalam mengelola serta memberdayakan utang bagi kepentingan ekonomi nasionalnya. Ada protokol baku tertentu yang dipakai untuk mensiasati utang, seperti di Indonesia antara lain diatur dalam Undang Undang Keuangan Negara, yang di produksi bersama DPR RI dengan Pemerintah RI.
Nah, jelang Pilpres 2019, ada saja pihak yang mengeksploitasi sisi lain dan terkesan menyesatkan tentang utang RI tersebut. Seolah negara ini segera ambruk, persis seperti kondisi 1998, atau situasi yang pernah menimpa Yunani, lalu Turki.
Dan ironisnya, semua informasi itu diangkat berdasar narasumber kurang berkompeten, tak kredibel serta monopoli kalangan ‘seberang’ pemerintah. Apalagi data yang dipakai serta basis aturannya jauh panggang dari api.
Dalam batas aman
Be pnar, utang pemerintah mencapai Rp4.352 triliun per Juli lalu. Tapi, ini masih dalam batas aman. Salah satu indikatornya ialah rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 29 persen, jauh di bawah ketentuan UU Keuangan Negara, maksimal 60 persen. Rasio utang itu juga menurun dibandingkan 2007, saat presiden sebelum Jokowi, yang mencapai 35 persen.
Selain itu, jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB masih di bawah mereka.
Satu hal penting lagi, tambahan utang yang dilakukan pemerintah sejak 2015, juga lebih banyak dialokasikan untuk membiayai kegiatan produktif, seperti proyek infrastruktur, anggaran kesejahteraan, dan untuk pemerataan. Dengan demikian, beban utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun melalui Surat Berharga Negara (SBN) masih terkelola dengan baik.
Demikian kesimpulan pandangan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) A Tony Prasetiantono, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Febrio N Kacaribu, serta Direktur Investa Saran Mandiri, perusahaan private equity Indonesia Yohanis Hans Kwee, Selasa (11/9/18) dan Rabu (12/9/18).
Demi memenuhi kebutuhan fiskal
Tony mengatakan, utang diperlukan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan fiskal, dengan syarat masih terkendali. Indikator yang paling lazim digunakan ialah membandingkan utang dengan PDB. Sebab, variabel ini dianggap menggambarkan secara objektif kekuatan ekonomi suatu negara untuk menanggung beban utang.
Dari indikator rasio utang terhadap PDB, dia menegaskan, utang pemerintah sangat aman. Selain di bawah ketentuan UU, yaitu maksimal 60 persen, dibandingkan negara lain dalam satu kawasan, rasio utang pemerintah lebih rendah. Sebagai perbandingan, utang Malaysia terhadap PDB mencapai 56 persen, Thailand 42 persen, Filipina 34 persen, Vietnam 62 persen, dan Singapura 111 persen.
Dia menilai, kritik yang dilontarkan terhadap utang pemerintah saat ini tidak akurat. Pasalnya, utang memiliki banyak aspek sehingga berpotensi disalahgunakan dan menjadi informasi yang menyesatkan bagi masyarakat.
“Hal yang terpenting adalah modal utang tersebut dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan,” jelasnya.
Tak bisa andalkan APBN semata
Meski demikian, Tony mengingatkan, dalam kondisi nilai tukar rupiah rentan terhadap dinamika global, misalnya, terkait kenaikan suku bunga The Fed, serta di tengah perang dagang AS-Tiongkok, dan sentimen negatif akibat pemburukan ekonomi di sejumlah negara, sikap terbaik yang perlu diambil pemerintah ialah konservatif.
“Proyek-proyek besar yang memerlukan devisa besar perlu direm. Saya setuju dengan penjadwalan kembali proyek-proyek infrastruktur secara selektif. Proyek listrik 35.000 MW juga perlu disisir lagi. Dulu kita membuat perencanaan 35.000 MW kan dasarnya pertumbuhan ekonomi 6-7 persen, namun sekarang pertumbuhan ekonomi lima persen. Sehingga target 35.000 MW tersebut terlalu besar dan bisa diturunkan tanpa mengganggu pasokan di kemudian hari,” jelasnya.
Sementara itu, Febrio Kacaribu menjelaskan, membangun infrastruktur tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi, Indonesia tertinggal sangat jauh dalam penyediaan infrastruktur dasar. Pemerintah tak dapat mengandalkan APBN semata. Sebab itu, pemerintah perlu berutang agar pembangunan infrastruktur dapat dilakukan lebih cepat.
“Satu lagi indikator taraf hidup dari suatu negara yang sering digunakan adalah ketersediaan infrastruktur yang sepadan dengan pertumbuhan ekonominya. Dan Indonesia masih di bawah rata-rata. Jadi wajar jika pemerintah berutang untuk membiayai percepatan pembangunan infrastruktur,” katanya.
Di bawah Amerika
Sedangkan, Yohanis Hans Kwee mengingatkan, jumlah nominal utang pemerintah memang meningkat, tetapi masih dalam taraf aman.
Utang Indonesia masih lebih rendah dari Amerika Serikat yang lebih dari 100 persen terhadap PDB, dan juga Jepang yang lebih 200 persen terhadap PDB. “Di Eropa, angkanya juga lebih besar sekitar 80-90 persen terhadap PDB. Bahkan, Yunani mencapai lebih dari 200 persen,” katanya.
Hans menilai, jika dibandingkan dengan negara-negara tersebut, langkah pemerintah menambah utang bukan suatu hal yang buruk. Asalkan masih di angka yang wajar.
Warisan utang rezim lama
lumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, besaran utang pemerintah yang disoroti banyak pihak akhir-akhir ini masih terkelola dengan baik. Selain itu, dari total utang Rp4.253 triliun per Juli 2018, tambahan utang oleh pemerintahan saat ini sejak 2015 hanya Rp1.645 triliun.
Dia mencontohkan, pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp396 triliun, yang dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut 44 persen merupakan utang yang dibuat pada periode sebelum 2015.
“Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?” ujarnya.
Menkeu juga mengungkapkan, tambahan utang saat ini diimbangi dengan peningkatan anggaran untuk bidang kesehatan dan juga pembangunan daerah, seperti dana desa. Rasio pembayaran pokok utang terhadap anggaran kesehatan, disebutkan oleh Sri Mulyani, saat ini mengecil dibandingkan rezim sebelumnya.
Jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 ialah Rp117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan Rp25,6 triliun. Dengan demikian, rasionya 4,57 kali lipat. “Pada tahun 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp396 triliun sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam sembilan tahun sebesar 19,4 persen,” ujarnya.
Pertaruhkan perekonomian dan kesejahteraan
Ditambahkan, anggaran kesehatan akan makin meningkat tahun depan, menjadi Rp122 triliun atau sebesar 4,77 kali anggaran tahun 2009. Terkait dana desa, Menkeu juga menyebutkan rasionya terhadap pembayaran pokok utang semakin menurun. Pembayaran pokok utang dibandingkan dana desa tahun 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat. Pada tahun 2018 rasio menurun menjadi 6,6 kali, bahkan di tahun 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali.
“Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang,” tandasnya.
Selain itu, tambahan utang juga diimbangi dengan peningkatan anggaran infrastruktur. Pada 2014, anggaran infrastruktur hanya Rp157 triliun. Dalam APBN 2018 dialokasikan sebesar Rp 410 triliun, atau naik lebih dua kali lipat.
Sri Mulyani juga menegaskan, pemerintah melakukan pengelolaan utang dengan sangat hati-hati dan terukur. “Defisit APBN selalu dijaga di bawah tiga persen per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara. Defisit APBN terus dijaga dari 2,59 persen dari PDB tahun 2015, menjadi 2,49 persen tahun 2016, dan 2,51 persen tahun 2017. Dan tahun 2018 diperkirakan 2,12 persen, serta tahun 2019 sesuai Pidato Presiden di depan DPR akan menurun menjadi 1,84 persen,” ujarnya.
Hal tersebut, Menkeu menegaskan, menjadi bukti pemerintah berhati-hati dan terus menjaga risiko keuangan negara secara kredibel.
“Ini karena yang kami pertaruhkan adalah perekonomian dan kesejahteraan serta keselamatan rakyat Indonesia,” tandas Menkeu Sri Mulyani. (B-SP/BS/jr)
*) Catatan: Artikel ini sudah terbit di harian Suara Pembaruan edisi 12 September 2018 dan ditayang BeritaSatu.com, 14 September 2018.