BENDERRAnews, 4/8/18 (Jakarta): Sesungguhnya, perdebatan tentang agama dan nasionalisme pernah terjadi sekitar 30-40 tahun sebelum kemerdekaan. Namun, perdebatan itu selesai setelah diputuskan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara pada 18 Agustus 1945.
Dan terbukti, Pancasila bisa menjadi jalan tengah terbaik dalam menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kita bangsa Indonesia sudah maju bahwa agama disandingkan dengan nasionalisme. Di negara Muslim lain, itu tidak terjadi, kita justru tuntas menyelesaikannya. Kita menggunakan kaidah bahwa agama dan negara tidak mungkin dipisahkan makanya Indonesia bukan negara teokrasi, bukan sekuler, tetapi negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Itulah Pancasila,” kata mantan Wakil Ketua Umum PBNU, KH Asad Said Ali dalam keterangannya, Jumat (3/6/18) kemarin.
Kiai Asad mengajak seluruh bangsa untuk kembali ke kesepakatan para pendahulu bangsa, yaitu semangat bersama bangkitkan negara Pancasila dan kebersamaan sebagai suatu bangsa. Juga kebebasan beragama, serta sikap tidak boleh saling menyalahkan. Oleh karena itu perlu suatu konsolidasi demokrasi.
“Kalau kita berpegang pada semangat Pancasila, saya yakin semua bisa diselesaikan dengan baik,” ungkap mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini.
Intinya, lanjut Kiai Asad, semua pihak atau golongan harus dirangkul dan jangan distigma. Juga jangan memaksakan sesuatu yang tidak dipaksakan.
“Misalnya, kita harus menjadi barat atau kita harus menjadi Arab. Yang benar kita Indonesia. Mana yang baik dari demokrasi dan mana yang baik dari nasionalisme barat kita ambil, sementara yang jelek harus dibuang. Mana yang baik dari nilai-nilai agama kita ambil, yang tidak cocok jangan dipakai,” tukas Kiai Asad, seperti diberitaka Suara Pembaruan, sebagaimana dilansir ‘BeritaSatu.com’.
Kemajemukan harus disyukuri
Kecintaan terhadap Tanah Air menjadi suatu hal yang wajib di dalam agama. Oleh karena itu, setiap orang Indonesia, baik Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu harus cinta kepada Indonesia yang penuh kemajemukan.
“Ini karena kita dilahirkan, menghirup udara, hidup dengan oksigen, hidup dari hasil bumi, mencari nafkah yang semuanya ada di Indonesia,” kata guru besar sejarah Universitas Islam Negeri (UIN), Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, di Jakarta, Selasa (31/7/18) lalu.
Ia menegaskan, kalau ada orang yang menolak nasionalisme Indonesia, hal itu berarti kufur atau mengingkari nikmat.
Dalam Islam, mengingkari nikmat itu merupakan salah satu dosa terbesar. Jadi penganut agama apa pun, khususnya dalam konteks Islam, wajib mensyukuri nikmat Allah yaitu telah memberikan Indonesia majemuk, beragam, dan plural tetapi bersatu.
Azyumardi juga menekankan agar tidak ada lagi masalah antara Islam dan nasionalisme karena Pancasila itu adalah bentuk nasionalisme religius, terutama dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang mencerminkan nasionalisme yang religius.
“Pancasila adalah aktualisasi dari nasionalisme religius itu. Jadi sebetulnya masalah itu sudah selesai,” ujarnya dalam rilis yang diterima redaksi.
Azyumardi menceritakan, seorang ulama asal Kalimantan Barat bernama, KH Basyuni Imran mengirim surat kepada salah satu pembaru Islam Syech Muhammad Rasyid Ridha di Kairo, Mesir. Basyuni menanyakan mengenai bagaimana hubungan antara Islam dengan nasionalisme, bertentangan atau tidak. Dari situlah Syech Muhammad Rasyid Ridha menjawab bahwa Islam dan nasionalisme itu tidak bertentangan.
“Beliau mengangkat sebuah hadits yaitu Hubbul Wathan Minal Iman yang artinya Mencintai Tanah Air itu adalah bagian dari iman. Dari penjelasan itulah disebutkan bahwa Islam dan nasionalsime itu tidak bertentangan,” ujar Azyumardi.
Ditegaskan, di Indonesia tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Menurutnya, ajaran Islam yang rahmatan Lil Alamin itu kompatibel dan cocok dengan demokrasi di Indonesia. (B-SP/BS/jr)