Itulah kenapa redaksi mengangkat ulang artikel bertajuk “Cerita Taipan Ciputra dan Mochtar Riady di Krosis Mo eter” yang pernah tayang di sejumlah media Indonesia, diawali oleh CNNIndonesia (Edisi 18/5/18), lalu Kaskus (Edisi 19/5/18).
Tentu disertai sejumlah sisipan serta penguatan terutama dari sisi human interest, tanpa mengurangi isi serta fokus artikel tersebut. Mari mulai menyimak:
Krisis moneter yang menerpa 20 tahun silam memberi kesan mendalam bagi banyak pihak, terutama para konglomerat yang kehidupannya sempat berubah drastis akibat badai ekonomi 1997-1998.
Kondisi pertumbuhan ekonomi yang lunglai hingga minus 13 persen dan depresiasi rupiah sebesar 614,8 persen dalam satu tahun tentu sulit terlupakan. Momentum itu menjadi benang merah bagi perjalanan karier bisnis para hartawan yang menikmati cuan dari bisnis era Orde Baru hingga reformasi bergulir.
Bagi pengusaha senior Ciputra, era Orde Baru merupakan masa kejayaan bisnisnya, di mana tiga lini bisnis raksasanya berkembang pesat, yakni Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group.
Namun, Ciputra bercerita, bisnis yang ia bangun seketika dihadapkan pada ujian ketika krisis moneter berlangsung. Ia menggambarkan fase krisis tersebut menjadi pukulan terberat yang dipikul selama meniti karier sebagai pengusaha.
Pria yang memiliki nama asli Tjie Tjin Hoan ini mengaku bisa merasakan firasat bahwa masalah finansial Thailand pada pertengahan 1997 berpotensi menyeret Indonesia dalam pusaran krisis.
Namun, kala itu Ciputra belum terlalu khawatir karena proyek-proyek yang dimilikinya tengah disambut hangat oleh pasar. Dalam buku berjudul ‘Ciputra: The Entrepreneur-The Passion of My Life‘ terungkap dirinya percaya diri karena tak mungkin terpuruk dengan hadirnya bisnis perbankan yang dimilikinya.
“Kami tidak mungkin tidak bisa membayar utang. Kala itu kami juga sudah memiliki bisnis perbankan, Bank Jaya, Bank Ciputra, dan perusahaan asuransi bernama Ciputra Allstate. Tiga perusahaan yang kami yakini akan berkembang baik,” tambah Ciputra.
Namun, firasat berubah jadi kasatmata, gangguan terhadap bisnis dimulai ketika nilai tukar rupiah terjungkal dari Rp2.000 per dolar AS menjadi lebih dari Rp17.000 per dolar AS.
Kondisi itu membuat Ciputra cemas karena sebagian utang perusahaan dalam bentuk dolar AS, tak tanggung-tanggung mencapai US$100 juta. Otomatis nominal utang menggelembung jadi hampir lima kali lipat.
Krisis Ekonomi 1998 membuat inflasi sempat naik ke angka 60 persen dan membikin masyarakat berbondong-bondong menarik uang tunai dari bank. (Foto Reuters)
|
Di sisi lain, semua pendapatan lini bisnis Ciputra dalam bentuk rupiah, sehingga tak mampu menutupi pembengkakan utang.
Hal paling menyedihkan, lanjutnya, dua bank dan satu perusahaan asuransi yang dimilikinya harus ditutup pemerintah. Utang grup bisnis yang tadinya bisa dibayar sekitar Rp245 miiar tiba-tiba melambung jadi Rp1 triliun.
Situasi semakin buruk ketika terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia, disertai penurunan daya beli masyarakat. Dampaknya, situasi pasar properti menjadi tidak kondusif sehingga mengakibatkan nilai pemasaran penjualan (sales marketing) merosot drastis.
Keterpurukan Ciputra tak berhenti, manajemen tak bisa lagi membendung kemarahan pemasok material, mandor, dan seluruh pihak yang menuntut pembayaran bahan baku properti sesegera mungkin. Seluruh lini usaha propertinya hanya tinggal menghitung hari menuju kebangkrutan.
Tak berselang lama, ia memanggil jajaran direksi Ciputra Group untuk mengumumkan kondisi perusahaan yang tengah sekarat. Ia mengaku tak akan menghalangi langkah direksi jika ingin mangkat dari perusahaan.
Bisnis Ciputra mengalami keguncangan pada krisis ekonomi 1998 karena utang perusahaan mereka dalam bentuk dolar sehingga nilainya membengkak dua kali lipat. (Foto Reuters)
|
Namun, hatinya sedikit semringah saat mengetahui sebagian besar direksi tak meninggalkan bisnis yang dibangun selama berpuluh-puluh tahun itu. Hanya ada segelintir orang saja yang keluar, itu pun lantaran kesadaran tidak ingin membebani perusahaan lebih jauh lagi.
“Saya, Ciputra, di tahun 1998, menangis bersama detik yang berjalan. Di kamar tidur, di meja makan, bahkan pada saat mandi dengan air shower yang menyiram tubuh, air mata saya pun berlinangan. Kami jelas akan kehilangan banyak hal. Tapi yang pasti, kami tidak akan mengubur diri,” ungkap beberapa waktu lalu.
Ia sadar, tak ada waktu untuk membenamkan diri dalam nestapa. Segera, ia langsung meluncurkan aksi penyelamatan.
“Ujian ini sempat membuat saya goyah dan jatuh. Namun, saya tidak patah semangat dan bekerja lebih keras. Syukur kepada Tuhan, saya mampu melewati segala ujian dan tantangan tersebut,” tuturnya.
Saat krisis 1998 terjadi, ada satu peristiwa menarik yang merekat dalam ingatannya hingga saat ini. Dia bercerita, aset perusahaan berupa lahan menjadi terbengkalai karena proyek tidak berjalan baik.
“Saya juga masih fokus untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi persoalan bisnis. Beberapa karyawan saat itu berinisiatif agar bagaimana bisa tetap produktif,” ungkapnya.
Para karyawan kemudian bercocok tanam di lahan-lahan kosong. Banyak tanaman produktif yang dihasilkan, antara lain sayur-mayur, jagung, ubi, ketela, buah-buahan, dan lain-lain. Meskipun hasilnya tidak sebesar ketika menjual produk properti, namun uang hasil bercocok tanam itu digunakan untuk membantu biaya operasional perusahaan.
Dalam situasi yang sulit dan penuh tantangan tersebut, Ciputra, keluarga, dan karyawannya berpikir keras untuk bangkit dari keterpurukan. Di sisi lain, pihaknya juga dituntut untuk mampu menjaga level kepercayaan terhadap semua aspek bisnis, mulai dari konsumen, bank, maupun pemerintah.
“Saya berusaha membuat pikiran tetap fokus mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Saya tekankan waktu itu mengenai prinsip ‘Janji adalah utang, dan utang harus dilunasi’,” tegas dia.
Karena itu, negosiasi terus dilakukan terhadap para kreditur hingga akhirnya membuahkan hasil, dan semua utang direstrukturisasi.
“Kami bolak-balik Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan melakukan pertemuan dengan pejabat-pejabat terkait agar persoalan yang membelit kami bisa dihilangkan,” kata Ciputra.
Usaha para direksi akhirnya berbuah hasil. Ciputra juga mengapresiasi kepiawaian direksi Metropolitan Group dalam membayar utang dengan kavling tanah. Meski kehilangan banyak, setidaknya Ciputra tak kehilangan reputasi.
Saat itu, Ciputra harus melepas kepemilikan saham di beberapa proyek strategis, seperti Bumi Serpong Damai dan Pantai Indah Kapuk.
“Bagi kami, lebih baik kehilangan proyek daripada kehilangan kepercayaan dari bank, nasabah, masyarakat, serta karyawan,” tambahnya.
Di tengah-Di tengah krisis ekonomi 1998, masyarakat juga ada yang menyetorkan uang ke bank sebagai bentuk bantuan, salah satunya siswa ini. (Foto Reuters)
|
Mochtar Riady: puncak depresiasi
Krisis moneter juga masih membekas di ingatan Mochtar Riady, seorang konglomerat pendiri Grup Lippo. Kala itu, ia merupakan pemain kawakan di industri perbankan.
Ia sempat menggenggam saham Bank Central Asia sebanyak 17,5 persen dan kemudian melepasnya dan mendirikan Bank Lippo, yang merupakan merger dari Bank Umum Asia dan Bank Perniagaan Indonesia.
Ia mengasosiasikan krisis moneter sebagai puncak depresiasi mata uang. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tadinya Rp2 ribu menjadi Rp18 ribu dalam waktu 40 hari saja. Situasi ekonomi kacau, masyarakat galau. Bunga bank di pasar overnight bahkan sempat melambung di angka 70 persen.
Situasi rush (penarikan dana besar-besaran) di perbankan tak terkendali, sehingga Indonesia akhirnya bertekuk lutut dengan pinjaman International Monetary Fund (IMF). Kepanikan masyarakat mulai reda, namun tak begitu rupanya dengan industri perbankan.
Bank Lippo bertahan
Dari delapan bank swasta besar di Indonesia, lima di antaranya sudah diambil alih Bank Indonesia, yakni BCA, Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Danamon, BDNI, dan Bank Bali. Uniknya, Bank Lippo merupakan satu dari tiga bank yang bertahan kala itu. Setidaknya, usaha yang dirintisnya masih dalam taraf yang tidak mengkhawatirkan.
Mochtar menjabarkan, hal itu disebabkan karena Lippo telah belajar dari kejadian sebelumnya. Pada 1995 silam, Bank Lippo juga pernah mengalami rush besar-besaran.
Ia lalu menyebut Bank Lippo terkena serangan hoax yang mengatakan, proyek Sentul yang tengah digarapnya sedang dalam masalah. Gosip yang menyeruak kala itu ialah kontraktor Sentul tidak mendapat bayaran yang semestinya. Lalu, isu itu juga digulirkan oleh bank pesaing.
Seketika, isu yang dianggap kabar burung itu menjadi kabar buruk bagi Lippo. Banyak nasabah menarik pinjamannya dari Lippo tanpa mengetaui keadaan sebenarnya. Padahal, menurut Mochtar, proyek Sentul bukanlah hal yang sukar, mengingat perusahaannya telah membangun proyek serupa di Karawaci, Cikarang, dan Karawang.
Rush semakin tak terkendali setelah satu bulan kabar itu beredar. Tak kuasa menahan penarikan dana yang tak kunjung reda, Mochtar kemudian mendapat telepon dari Liem Sioe Liong, sang konglomerat BCA untuk hadir di kantornya.
Bukan Hanya terjadi kepanikan, masyarakat pun melampiaskan marah mereka kepada para pengusaha ketika terjadi krisis ekonomi 1998. (Foto Reuters)
|
Begitu sampai di tempat Liem, Mochtar dihadapkan pada Eka Wijaya dari BII, Usman Admajaja dari Danamon, Ramli dari Bank Bali, dan Syamsul Nursalim dari BDNI yang bersedia menyokong dana bagi keperluan Bank Lippo setelah rush.
Namun Mochtar meminta kelima bos bank itu untuk menempelkan surat di kantor cabang lima bank tersebut yang bertuliskan, Bank Lippo dalam keadaan sehat dan lima bank tersebut bersedia membantu Lippo. Tak lupa, kelima bank tersebut juga memberikan dana cadangan selama tiga sampai lima hari ke Bank Lippo jikalau rush masih terjadi.
“Peristiwa rush itu sekali lagi mengingatkan saya harus selalu mawas diri dan setiap saat memelihara kesehatan manajemen perusahaan,” jelas Mochtar.
Segera setelah itu, ia mengaplikasikan langkah penyelamatan rush tahun 1995 dalam melalui krisis moneter tahun 1998. Hanya saja, krisis moneter menyebabkan bunga kredit yang menjadi tinggi, yang akhirnya ikut memukul Bank Lippo.
Demi penyelamatan Bank Lippo, hanya ada dua pilihan, yakni melepas saham dan menyerahkan Bank Lippo ke Bank Indonesia atau menginjeksi modal kerja. Pilihan terakhir inilah yang akhirnya ditempuh Mochtar.
Bank Lippo akhirnya menjual 70 persen saham Lippo Life kepada perusahaan asuransi AIG. Secara tidak langsung, ini merupakan titik balik perubahan lini bisnis utama Lippo dari jasa keuangan menjadi properti.
Apalagi, Lippo telah mendapat modal berupa berkavling-kavling lahan kosong lantaran banyak debitur yang tidak bisa mengembalikan kreditnya.
Bukan itu saja, Lippo Group kini masuk deretan papan teratas dalam industri properti, ritel (antara lain Matahari Department Store, Hypermart, Boston, FMX, Maxx Coffee, Bioskop Cinemaxx, media & IT (di antaranya First Media, BigTV, BOLT), hospitality (RS dan hotel), mengelola bisnis beberapa platform (angkutan online, situs e-commerce/bisnis online MatahariMall, kartu e-money), financial (seperti Nobu Bank dll) dan seterusnya masih banyak lagi, di seluruh pelosok Nusantara, bahkan di tak kurang dari delapan negara (termasuk terkini mengakuisisi rumah sakit terdepan di Shanghai, juga berinvestasi di bisnis konglomerasi Tencent, yang bersama Alibaba merupakan dua besar industri teknologi informasi di Tiongkok, Red).
Hebatnya lagi, sejumlah produk bisnisnya jadi model bahkan icon di bidangnya, seperti Siloam Hospitals, OVO Card, juga bergabung di Grab, hingga yang paling spektakuler sampai jadi sorotan media-media internasional: Meikarta, kota modern dengan infrastruktur terlengkap di Asia Tenggara.
Lippo Group yang didirikan Mochtar Riady ini, memang telah berpengalaman membangun sekitar enam hingga delapan kota terintegrasi, lalu kini mantap dengan revolusi digital.
“Saya selalu mengatakan, di dalam krisis terdapat peluang. Ketika Indonesia dilanda krisis, Lippo mendapat peluang lahan yang banyak dan luas akibat kredit macet. Bersyukur kami dapat memposisikan arah yang tepat untuk mengembangkan lahan mentah menjadi lahan matang, sehingga bisnis real estate ini membawa berkah dan berkat bagi Lippo Group,” jelas Dr Mochtar Riady, yang pernah didaulat jadi Ketua Majelis Wali Amanah Universitas Indonesia (UI), dimana kepiawaiannya berkarya serta melahirkan ide-ide besar menjadikan dirinya mendapat julukan ‘si manusia ide’. (B-CI/jr — foto ilustrasi istimewa)