BENDERRAnews, 21/5/18 (Medan): Dengan nada tegas, Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof Runtung Sitepu mengatakan, pihaknya langsung menonaktifkan Himma Dewiyana Lubis sebagai dosen karena yang bersangkutan sedang menjalani proses hukum terkait ujaran kebencian.
“Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan, mulai penanganannya di pihak kepolisian sampai dengan proses persidangan ke depan,” ujar Runtung Sitepu di Medan, Sumatera Utara (Sumut), Senin (21/5/18).
Runtung mengaku sangat menyesalkan kejadian yang menimpa Himma Dewiyana. Sebagai tokoh pendidik, Himma seharusnya memberikan pandangan positif dalam memberikan pendapatnya, khususnya saat mengunggah komentar di media sosial (Medsos).
“Tentunya, ada sanksi yang diberikan Universias Sumatera Utara (USU) terhadap oknum bersangkutan. Namun, saat ini kita mengikuti prosedur yang sedang berjalan. Keputusan akan diambil setelah ada keputusan hukum yang berkekuatan tetap,” katanya.
Disebutnya, ada tiga bentuk sanksi yang diberikan sesuai dengan keputusan tersebut. Sanksi itu berupa ringan, sedang dan berat. Jika keputusan hukum justru menyatakan Himma Dewiyana justru tidak bersalah, USU akan memulihkan nama baiknya.
“Jika nantinya dinyatakan tidak bersalah maka dosen bersangkutan akan diaktifkan kembali untuk mengajar. Ini merupakan upaya memulihkan nama baiknya. Sebab, kasus hukum yang dialaminya secara otomatis sudah mencemarkan namanya,” jelasnya.
Kendati demikian, tegas Runtung, pihaknya tetap tidak akan membenarkan dosen maupun mahasiswa dalam mengembangkan radikalisme di universitas tersebut. USU tidak akan memberikan celah maupun ruang atas ajaran radikalisme menyusup apalagi berkembang.
“Penanganan kasus hukum yang dihadapi dosen bersangkutan merupakan pelajaran berharga. Kita minta kepada dosen maupun mahasiswa supaya lebih hati-hati dan bisa mempertimbangkan postingan yang berbau ujaran kebencian,” sebutnya.
Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) meringkus Himma karena menampilkan postingan tentang kasus ledakan bom di Surabaya sebagai bentuk pengalihan isu 2019 ganti Presiden.
Oknum aparatur sipil negara (ASN) itu diringkus polisi dari kediamannya di Jl Melinjo II, Komplek Johor Permai, Kecamatan Medan Johor, Sumatera Utara (Sumut), Sabtu akhir pekan. Polisi menyita satu unit handphond dan Sim Card.
“Pelaku atas nama Himma Dewiyana Lubis alias Himma. Dia ditangkap karena salah satu postingan akun Facebook tersebut viral hingga mengundang perdebatan hangat di kalangan netizen. Diduga, ini berkaitan dengan ujaran kebencian,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Sumut, AKBP Tatan Dirsan Atmaja, Minggu (20/5/18).
Tatan mengatakan, setiap orang dengan sengaja menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
“Motif tujuan pemilik akun Facebook Himma Dewiyana yang dimilikinya tersebut karena terbawa suasana dan emosi di dalam media sosial Facebook dengan maraknya tagar #2019GantiPresiden. Himma merasa kecewa dengan pemerintah saat ini, di mana harga kebutuhan naik,” katanya.
Pemerintah dianggap tidak menepati janji saat kampanye 2014 lalu. Pelaku mengakui menulis status tersebut tanggal 12 Mei 2018 dan 13 Mei 2018 di rumahnya. Postingan Himma dinilai sudah meresahkan masyarakat. Saat ini, polisi melakukan digital Forensik atas handphone Himma. Demikian Suara Pembaruan memberitakan.
Dua guru diciduk
Sementara itu di Jakarta, pihak Kepolisian RI (Polri) telah menangkap sejumlah orang lantaran ujaran kebencian terkait aksi terorisme di sejumlah tempat dalam bulan Mei ini.
Orang-orang yang ditangkap itu, tidak sedikitpun berempati pada korban bom. Malah menyinyirkan korban dengan kalimat-kalimat yang bikin geram para netizen.
Misalnya, Direktorat Krimsus Subdit Cybercrime Polda Sumut menangkap oknum PNS yang bekerja sebagai dosen Ilmu Perpustakaan di Universitas Sumatera Utara (USU).
Bernama Himma Dewiyana Lubis alias Himma ditangkap di rumahnya, Medan, Sumatera Utara, pada Sabtu (19/5/18).
Penyebabnya ialah satu postingan akun Facebook Himma setelah tiga serangan bom bunuh diri pada Minggu (13/5/18) di tempat ibadah Surabaya.
Di akun Facebooknya, ia menyebutkan peristiwa itu sebagai pengalihan isu dengan mencantumkan hastag #2019GantiPresiden”. Kepada polisi ia mengakui perbuatannya.
Sebelumnya, satuan Reskrim Polres Kayong Utara, Kalimantan Barat, menangkap wanita bernama Fitri Septiani Alhinduan.
Ia juga ditangkap lantaran diduga telah melakukan ujaran kebencian atau hoaks soal bom Surabaya di media sosial Facebook.
Fitri ditangkap oleh Satreskrim Polres Kayong Utara, saat berada di rumah kos sekitar pukul 16.00 WIB pada Minggu (13/5/18) lalu.
Disebutkan, Fitri juga telah menulis status tragedi Surabaya sebagai sebuah drama yang dibuat oleh polisi agar anggaran Densus 88 Antiteror dapat ditambah.
Selain itu, seorang pria yang mengenakan seragam putih dengan emblem Departemen Agama, Fadly Moonik, mengunggah tulisan tentang korban bom teroris dengan kata-kata yang tak pantas pada Minggu (13/5/18) di akun Facebook pribadinya.
Ia menyebut jumlah korban ledakan bom di Surabaya dengan istilah “ekor”.
Di laman Kementrian Agama, kemenag.go.id, Kepala Biro Kepegawaian Setjen Kemenag Ahmadi mengungkapkan yang bersangkutan bukanlah Aparatur Sipil Negara yang bekerja di Kementerian Agama.
“Kami sudah cek database kepegawaian dan tidak ada nama Fadly Moonik,” katanya.
Sejumlah media menuliskan, Fadly Moonik pernah mengajar sebagai guru lepas di Yayasan MTs Hidayatullah, Bolaang Mongondow.
Belakangan diketahui, ia telah dikeluarkan dari madrasah karena melanggar aturan. Hanya saja belum jelas apakah dia sudah ditangkap atau belum.
Kini, pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan bahwa sekitar 9.500 situs yang menyebarkan radikalisme sedang dalam proses verifikasi untuk diblokir.
Tentu pemblokiran itu sudah seharusnya diikuti dengan penegakan hukum. Demikian ‘BeritaSatu.com’. (B-SP/BS/jr)