BENDERRAnews, 1/3/18 (Jakarta): Pada tanggal 2 Maret 61 tahun silam, tercetuslah teks proklamasi yang dibacakan Ventje Sumual selaku Panglima Teritorium VII (kini Pangdam VII Wirabuaba, Red).
Permesta!!! Ya, pekikan Perjuangan Rakyat Semesta ini menggema ke mana-mana, apalagi dikumandangkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Makassar.
Kendati Piagam Permesta itu diproklamasikan di ‘Bumi Bawakaraeng’, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), namun ‘greget’perjuangannya justru lebih konkret eksis di Tanah Minahasa Raya (kini Mabado-Minahasa-Bitung, Red) dan ‘Bumi Nyiur Melambai’, Sulawesi Utara (Sulut) pada umumnya.
Bayangkan saja, ketika itu sampai ada istilah: “Bukang cuma tanah, hele daong-daong kalapa, daong Parmesta…torang samua Meta’..”
Benar-benar dahsyat!!! Betapa membaranya api Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) demi menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat secara merata melalui otonomi (salah satu inti tuntutan yang akhirnya terealisasi pasca Orde Baru, Red).
Permesta yang melegenda
Enam puluh satu tahun telah berlalu. Kendati besok kita harus menyambutnya dengan optimisme tinggi, dengan tetap dilandasi spirit menggebu, namun penting juga tuk bernapak-tilas, menengok dari kisi-kisi sempit ihwal aneka kisah menarik di balik peristiwa Permesta yang melegenda itu.
Satu di antara banyak kisah klasik itu, ialah serunya cinta di tengah pergolakan.
Mari simak lebih lanjut tulisan Yudith Rondonuwu yang ditayang ‘TribunManado.co.id’, berikut ini:
“Sekali Dua Maret, Tetap Dua Maret.” Semboyan ini bagian tak terlupakan dari Peristiwa Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) yang diproklamasikan sekira 55 tahun silam. Betapa menggebunya darah panas para pemuda Minahasa dan sekitarnya saat mendengarkan teks proklamasi ini dibaca Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol HN Ventje Sumual (alm) pada 2 Maret 1957.
SEMBOYAN tersebut menurut Letkol Saleh Lahede, dan singkatan Permesta untuk diciptakan dan dipopulerkan oleh G Kairupan, seorang pejabat Kantor Penerangan Kota Makassar. Kedua semboyan itu senantiasa terdengar melalui RRI Makassar, Manado, dan Ambon. Itulah catatan sejarah dari upaya tokoh masyarakat Sulut untuk mendapatkan keadilan dari pemerintah pusat yang saat ini dibawah pimpinan Presiden Soekarno.
Sejarah Permesta saat ini ada berbagai versi yang bisa kita temukan dalam bentuk buku ataupun ‘catatan internet.’ Namun ternyata ada berbagai kisah unik dibalik peristiwa ini termasuk kisah cinta sejumlah tentara Permesta. Kapten Lengkong Worang (85); misalnya, yang takkan pernah bisa melupakan betapa kaget panit dan kegetnyanya Ia saat pemboman radio RRI di Banjer.
“Saya memutuskan bergabung dengan Permesta karena ingin daerah kita (Sulut) lebih maju dengan pesat. Dalam perjuangan ini saya tahu ada banyak hal yang menjadi resiko termasuk nyawa saya sekeluarga yang teramat ketakutan saat pemboman di Radio RRI Banjer,” ungkap Opa Lengkong Worang kepada Tribun Manado beberapa waktu lalu.
Saat pemboman di pusat pemancar Radio Republik Indonesia (RRI) di Tikala dan di Perumahan Perwira di Sario itu banyak hal yang terjadi. “Saya akhirnya harus memindahkan isteri dan anak saya ke tempat aman karena pusat Kota Manado sudah diserang secara tiba-tiba dengan bom dari pesawat. Bukan hanya saya, semua warga di Manado kocar-kacir waktu itu,” ujar suami tersayang dari Corrie Amy Rumondor ini.
Kapten Lengkong Worang bersyukur karena isteri dan anaknya bisa menerima kondisi keluarganya saat itu. Apalagi saat perjuangan permesta harus dilanjutkan dengan bergerilya. “Jujur saja waktu untuk bertemua isteri dan anak hampir-hampir tidak ada karena gejolak saat itu mengharuskan semua tentara Permesta standby dan harus siap bertempur walaupun kalah jumlah,” kata ungkap adik dari mantan Gubernur Sulut HV Worang ini.
Belum sampai disitu. Pesawat Mustang tak henti-hentinya melakukan maneuver di atas Kota Manado. Akhirnya Lengkong Worang harus berpikir bahwa “Saya harus terima semua resiko termasuk tidak selalu bersama keluarga. Inilah perjuangan yang tak pernah saya sesali dan bersyukur semua perjuangan itu tidak sia-sia,” ucapnya.
Tidak pernah terlintas sedikitpun untuk menghabiskan waktu hidupnya sebagai tentara gerilya. Walaupun hal ini sudah biasa namun baginya ada banya kisah membekas dihidupnya dan warga Sulut. “Satu yang pasti semangat orang Minahasa itu luar biasa,” ujarnya. (B-yudithrondonuwu/jr — foto ilustrasi istimewa)