BENDERRAnews, 4/2/18 (Jakarta): Aduh Jakarta….Jakartaku…. Terus diburu, tapi semakin kurang layak jadi kota yang nyaman bagi penduduk.
“Pembangunan kota ini tak bisa lagi berbasis kepentingan politik penguasa atau kehendak segelintir elite yang lebih andalkan mesin birokrasi yang ritualis birokratis. Harus komprehensif, dan segala unsur penentu dinamika harus diperhitungkan matang,” demikian kesimpulan diskusi terbatas Lembaga Studi Nusantara (LSN), sebuah institusi kajian yang dibantuk DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP), merespons hasil survei Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) baru-baru ini.
“Membangun hanya untuk pencitraan diri, dan sama sekali tidak dalam perencanaan matang, hanya akan mencelakakan rakyat yang berdomisili di kota terbesar se-Asia Tenggara ini. Ada beberapa model konsep, gaya dan kiprah pemimpin ibukota dari waktu ke waktu yang bisa jadi acuan, utamanya lima ini: Ali Sadikin, Sutiyoso, Fauzi Bowo, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama,” demikian salah satu ‘point’ penting yang terangkat dalam diskusi ini, Sabtu (3/2/18) kemarin.
Bang Ali alias Bang Ali di eranya tegas serta tak kompromi dengan apa pun yang tak sejalan dengan perencanaan kota, seperti melarang becak, keras terhadap pengaturan kawasan hunian, kawasan komersial, kawasan pariwisata (yang berhasil mengubah Jakarta dari ‘kampung besar’ jadi ‘kota’) dan seterusnya.
Sutiyoso alias Bang Yos dengan gayanya melibatkan tim perencanaan yang terdiri dari banyak ahli, dan bisa mengadopsi kota-kota besar dunia lainnya, utamanya dalam hal penataan transformasi massal dan seterusnya.
Fauzi Bowo, alias bang Kumis, seorang akademisi serta profesional birokat yang piawai menyusun rencana-rencana strategis jangka menengah maupun jangka panjang, baik dalam bidang transportasi, perumahan hingga lingkungan dan seterusnya.
Lalu Joko Widodo alias Jokowi dengan pendekatan kerakyatannya dalam memobilisasi partisipasi berbagai pihak termasuk menerapkan beberapa gaya kepemimpinan ‘out of the box’ untuk menata transportasi, pemukiman layak hingga upaya mengatasi problem lingkungan khususnya ancaman banjir (mulai memprogramkan rumah-rumah susun layak huni bagi warga eks pemukiman kumuh-bantaran kali-dll) dan seterusnya.
Dan last but not least Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang mengombinasikan birokrasi efektif didukung spirit entrepreneurship, menggali sumber-sumber energi kota dari lingkup masyarakat (termasuk dunia swasta sehingga banyak ‘output’ tanpa membebani APBD), lalu keras terhadap kemapanan-kemapanan konyol penghambat laju penataan kenyamanan hidup orang kota besar, ibukota negara kita ini (penerapan aturan ‘ganjil-genap’ kendaraan bermotor roda empat, pengaturan lalu lintas sepeda motor di beberapa kawasan strategis, pembangunan dengan mengubah lokasi-lokasi amburadil jadi taman-taman serta ruang terbuka ramah anak-perempuan dan seterusnya).
“Jangan lagi cari model kepemimpinan yang justru kontraproduktif. Belajarlah dari Bang Ali, Jokowi dan Ahok khususnya yang tak takut popularitasnya anjlok hanya karena ingin cari muka kepada rakyat tertentu,” kata salah satu pakar hukum lingkungan dan perencanaan kota, Dr Ferrol Warouw, akademisi sekaligus aktivis jebolan Universitas Indonesia yang merupakan salah satu peneliti senior LSN serta pengurus GPPMP.
Intinya, demikian LSN, kita ingin menjadikan Jakarta semakin layak huni karena level kenyamanannya terus meningkat. Dan terkait itu, perlu kepemimpinan yang bijak menghadapi tantangan sekaligus merangkum masalah serta mengaplikasikan solusi-solusi bagi kebaikan kehidupan bersama. Serta bagi sesama.
Kondisi Jakarta kini
IAP beberapa hari lalu merilis hasil survei Most Liveable City Index (MLCI) pada tahun 2017. Survei yang dilaksanakan serentak di 19 Provinsi dan 26 Kota tersebut, mencakup beberapa aspek, seperti perumahan, keamanan kota, fasilitas kelompok rentan, perekonomian, fasilitas ekonomi, sektor informal, politik kota, fasilitas taman kota, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hasil survey MLCI, Provinsi DKI Jakarta termasuk dalam average tier city. Atau termasuk dalam kelompok kota dengan index livability rata-rata. Dengan skor 62,6 pada tahun 2017, memang DKI Jakarta mengalami peningkatan performa bila dibandingkan survei MLCI yang dilakukan pada tahun 2009, 2011, dan 2014 yang menempatkan Jakarta dalam kelompok bottom tier city.
Ketua IAP DKI Jakarta, Dhani Muttaqin, mengatakan, hasil MLCI ini perlu dijadikan refleksi bagi kota Jakarta dan menjadikan temuan ini sebagai patokan dalam pembangunan. “Salah satu bentuk konkretnya, menjadikan hasil survei MLCI sebagai salah satu patokan dalam penyusunan RPJMD DKI Jakarta 2017-2022 dan proses peninjauan kembali RTRW DKI Jakarta yang sedang dilakukan,” ujar Dhani, di Jakarta, Jumat (2/2/18) seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’.
Dhani menambahkan, livability merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan warga yang akan memicu produktivitas dan efisiensi kota. “Hasil survei MLCI ini, sejalan dengan visi gubernur DKI Jakarta yang ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang maju dan bahagia warganya,” tegasnya.
Disebutnya, hasil survei MLCI juga menjadi pegangan bagi pihaknya untuk mengawal proses pembangunan Jakarta. Sebagai asosiasi profesi di bidang perencanaan kota, kata Dhani, pihaknya akan selalu memberikan masukan dalam pembangunan kota. “MLCI ini merupakan salah satu kiprah IAP dalam memberikan benchmark bagi pembangunan kota yang layak huni dan nyaman untuk seluruh warga,” tambahnya.
Dhani mengutarakan, IAP DKI Jakarta memiliki beberapa program untuk menjadikan Jakarta sebagai kota layak huni. Di antaranya, bagaimana menjadikan Jakarta sebagai walkable city atau kota ramah pejalan kaki dengan meningkatkan kualitas pedestrian maupun program ‘One Kecamantan One Planner’ (OK-OP) yang ditujukan guna meningkatkan partisipasi warga dalam pembangunan kota.
“Kedua program ini, sebagai upaya untuk meningkatkan tingkat kenyamanan hidup di Jakarta. Apalagi, aspek fasilitas pedestrian dan rendahnya partisipasi publik adalah dua aspek yang dianggap buruk oleh masyarakat dalam survei MLCI 2017 di Jakarta,” tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jendral IAP DKI Jakarta, Raja Malem Tarigan, mengungkapkan, Jakarta ke depan harus memiliki berbagai program nyata untuk memperbaiki aspek-aspek yang dianggap terburuk atau terendah dalam survei MLCI 2017.
“Jakarta sebagai kota paling besar di Indonesia harus dapat bersaing dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Jakarta perlu mencontoh dan menjadikan Melbourne sebagai benchmark, yang merupakan kota paling livable di dunia,” kata Raja Malem. (B-BS/jr — foto ilustrasi istimewa)