BENDERRAnews, 2/2/18 (Jakarta): Banyak pakar dan studi sudah membeberkan ini. Jadi, sadar atau tidak, Jakarta terancam tenggelam.
Sekali lagi, ini bukan isu baru, sejak lama sudah banyak kalangan membahas sekaligus mengingatkannya.
Fakta sekarang ini menunjukkan, penurunan tanah (land subsidence) di Jakarta setiap tahunnya mencapai 3-18 cm. Artinya, jika tidak ada ada upaya preventif, Jakarta tinggal sejarah.
Direktur Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Abdul Malik Sadat Idris menyebut, dengan variasi kecepatan penurunan tanah mencapai 3-18 cm, hasil dari simulasi Bappenas menyimpulkan, pada 2050, 30 persen tanah di Jakarta berada di bawah permukaan laut.
Hal itu dikemukakan Abdul dalam acara diskusi bertajuk “Jakarta Tenggelam Tanpa Reklamasi?” yang digelar Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) di ‘President Executive Lounge’ Menara Batavia, Jakarta, Kamis (1/2/18) kemarin.
Penggunaan air tanah
Disebutnya, penurunan tanah di Jakarta diakibatkan dari penggunaan air tanah yang berlebihan. Pengendalian akan hal itu bisa dilakukan asalkan Pemprov DKI cepat mengambil tindakan, sebab banyak kota di negara-negara lain dengan persoalan yang sama berhasil mengatasinya.
“Kita bisa memperlambat atau mempercepat. Tokyo dan Osaka berhasil mengendalikan, Bangkok juga berhasil. Sekarang, DKI mau berhasil apa gagal ? Kalau mau berhasil, kita harus banyak melakukan percepatan-percepatan, dari pasokan air termasuk mengubah perilaku masyarakat,” kata Abdul usai memberi pemaparan.
Sejauh ini, sudah ada tindakan yang dilakukan Pemprov DKI serta pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PUPR dengan membangun atau memperbaiki tanggul. Misalnya, pembangunan tanggul di Muarabaru dan Kalibaru dengan total panjang mencapai 20 km atau giant sea wall yang merupakan proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
Pemprov DKI turut ambil bagian dengan membangun tanggul sepanjang 6,7 km di wilayah Kamal Muara, Muara Angke, Sunda Kelapa dan Kali Blencong, hanya saja proyeknya belum rampung. Sedangkan BUMD kebagian membangun tanggul sepanjang 8,5 km di wilayah Pantai Mutiara dan Ancol, tetapi belum dikerjakan akibat kendala teknis.
Sinergi antar daerah
Abdul meyakini, pembangunan tanggul dan pasokan air merupakan isu utama dalam mencegah Jakarta agar tidak tenggelam. Dan yang perlu disadari ialah, pentingnya kerjasama lintas provinsi yakni DKI, Jabar, serta Banten untuk bersinergi mengerjakan proyek NCICD dari pemerintah pusat.
Dia tidak bisa memastikan, apakah pembangunan tanggul harus diiringi dengan reklamasi Teluk Jakarta agar mendapat hasil yang maksimal bagi Ibu Kota.
“Semua pembangunan di Teluk Jakarta memang harus dijadikan satu karena untuk kepentingan banyak seperti pelabuhan, nelayan, perhubungan, ada kabel laut, PLTU, PLTGU, ada konservasi,” katanya.
Sedangkan mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, menyebut, solusi tepat untuk menyelamatkan sekaligus mengembangkan Jakarta ialah pembangunan tanggul, bukan reklamasi yang menggunakan tanah urukan.
“Jadi yang diutamakan bukan reklamasi, tetapi penyelamatan Jakarta dari banjir rob dan kekurangan air tawar sehingga banyak terjadi penyedotan sehingga tanah menjadi turun. Penyelamatannya adalah pembangunan tanggul lepas pantai, bukan reklamasi,” tegas Emil.
Tanggul lepas pantai, kata Emil, efektif untuk mencegah dampak perubahan iklim naiknya permukaan laut, membendung banjir rob, memungkinkan air dari 13 sungai mengalir bebas ke Teluk Jakarta yang membawa sedimen untuk membentuk lahan alami. Artinya, reklamasi yang dikehendaki adalah terjadi secara alami imbas pembangunan tanggul.
“Dengan tanggul lepas pantai itu menciptakan danau air tawar yang langka di Jakarta dan Jabar. Adanya sedimen bisa membentuk lahan yang bisa digunakan untuk kepentingan umum. Ini reklamasi yang baik karena terjadi secara natural, bukan menguruk tanah dari tempat lain,” jelas Emil Salim, seperti dilansir ‘Suara Pembaruan’. (B-SP/BS/jr)