BENDERRAnews, 11/10/17 (Jakarta): Masyarakat diminta mengantisipasi terjadinya gelombang pergeseran perdagangan dari offline ke online seiring kemajuan pesat teknologi informasi. Demikian Presiden Joko Widodo.
Kepala Negara mengungkapkan, kemajuan tren perdagangan secara online berkontribusi dalam memengaruhi terjadinya pergeseran budaya konsumen membeli sebuah produk.
“Perubahan digital sudah tidak bisa dilawan. Harus dirangkul untuk meningkatkan perdagangan kita. Contoh, kita kenapa tidak buat virtual showroom, jadi interaksinya bisa langsung tanpa harus menunggu expo,” kata Presiden Jokowi saat berpidato pada peresmian ‘Trade Expo Indonesia’ (TEI) ke-32 di Indonesia Convention Exhibition Bumi Serpong Damai (ICE BSD), Tangerang Selatan, Banten, Rabu (11/10/17).
Hadir pada kesempatan itu, Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Dia juga meminta Kementerian Perdagangan meningkatkan daya tarik TEI. Dikatakan, expo harus menjadi ajang pameran yang makin menarik bagi pembeli mancanegara.
“Saya bangga, setelah 32 tahun TEI, sekarang digeser ke Banten. Sekarang, kualitasnya kelasnya harus kelas dunia. Tidak boleh lagi kecil-kecilan dan fasilitas ala kadarnya. Dan saya lihat TEI tahun ini kualitasnya semakin baik dan saya minta tahun-tahun berikutnya lebih baik lagi,” ujar Presiden Jokowi.
TEI adalah pameran business-to-business (B2B) yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan. Tahun ini, Kementerian Perdagangan menargetkan jumlah peserta mencapai 1.100 peserta dan nilai transaksi US$ 1,1 miliar.
Harus berubah
Sementara itu dari Bogor dilaporkan, Pendiri Lippo Group, Dr Mochtar Riady, mengatakan, perubahan sosial yang terjadi di era digital saat ini tidak terelakkan. Menghadapi perubahan tersebut, perusahaan pun harus sensitif untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Jika tidak sensitif terhadap perubahan sosial yang tengah menuju ke era digital, perusahaan harus siap mengalami kehancuran.
Demikian Dr Mochtar Riady yang juga mantan Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI), saat didaulat berbicara di ‘BCA Learning Institute’, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/10/17) kemarin.
Sosok yang diberi label ‘si manusia ide’ ini lalu memberikan contoh, perusahaan taksi Blue Bird. Dilihatnya, perusahaan dengan dukungan 43.000 sopir taksi ini, secara perlahan bisnisnya mulai tergerus oleh kehadiran taksi online.
Ketika dirinya menjabat sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI), salah satu anggotanya pemilik perusahaan Blue Bird yang dikaguminya.
Dia mengaku merasa kagum dengan Blue Bird, karena dapat mengelola dan mengatur ribuan pengemudinya, serta para pengemudi seluruhnya tenang juga disiplin. Padahal, dirinya mengatur satu orang sopir saja mengalami kesulitan.
Namun, dalam waktu tidak lama setelah itu, kejayaan taksi konvensional, seperti Blue Bird, mendadak mulai surut lantaran kehadiran teknologi.
“Maka, kita semua harus belajar dari Blue Bird. Adanya Uber, Grab, dan Gojek bisa menghancurkan bisnis Blue Bird. Makanya, kalau tidak sensitif adanya perubahan teknologi bisa mengalami kehancuran,” kata Mochtar di BCA Learning Institute, Sentul, Bogor.
Disebutnya, padahal awalnya, dirinya sempat berpikir, bisnis transportasi taksi sulit untuk dikalahkan. Namun, kini, kehadiran beragam sarana transportasi berbasis online, atau taksi online begitu cepat membesar skala bisnisnya dan taksi konvensional pun mulai tergeser.
Harus sensitif
Dia pun mengingatkan, perusahaan di Indonesia harus dapat mengikuti perubahan yang terjadi saat ini. Dalam pepatah Tiongkok, dia menyebutkan, tidak ada kekayaan yang bisa bertahan lebih dari tiga generasi. Sebagai contoh apa yang terjadi pada perusahaan mobil terbesar di Jepang, yaitu Nissan yang telah diambil alih (take over) oleh perusahaan dari Prancis.
Beberapa bulan yang lalu, lanjut Mochtar, perusahaan raksasa elektronik di Jepang, antara lain Sharp dan Toshiba juga di-take over oleh perusahaan dari Tiongkok. Hal tersebut terjadi karena perusahaan tidak sensitif terhadap perubahan teknologi, sehingga mengalami kemunduran bisnis.
Tidak hanya perusahaan, negara juga akan mengalami kesulitan jika tidak sensitif terhadap perubahan. Hal itu telah terjadi pada negara-negara di kawasan Eropa Selatan dan Amerika Selatan. Mereka pernah mencapai kejayaan, dan saat ini rontok karena mengalami kemandekan pada pendapatan menengah (middle-income trap). Pendapatan setiap orang telah mencapai US$ 5.000. Nilainya tersebut sebenarnya sudah tinggi, namun, negara tidak bisa mempertahankannya karena tidak sensitif terhadap perubahan.
“Beberapa negara yang ada di Eropa Selatan, negara yang ada di Amerika Selatan, mereka mengalami hal yang sama. Karena, mereka tidak sensitif terhadap perubahan teknologi, tidak sensitif terhadap perubahan politik, perubahan ekonomi, maka negaranya akan mengalami nasib yang demikian,” ujarnya seperti dilansir ‘Investor Daily’ dan dicuplik ‘BeritaSatu.com’.
Perhatikan kemajuan teknologi
Dia pun mengajak masyarakat Indonesia untuk memperhatikan kemajuan teknologi. Sebab, jika tanpa memperhatikan kemajuan teknologi, tidak akan ada harapan bagi bangsa Indonesia untuk berkembang dan terus maju.
Selain itu, Mochtar juga memandang ada peluang dari perkembangan era digital untuk menjadi solusi mengatasi persoalan kemiskinan. Selama berabad-abad, kemiskinan selalu dibicarakan, tetapi tidak punya solusi yang jelas.
Dia pmemberi contoh, sejak lama, petani di Tanah Air hanya menikmati sebagian kecil dari harga jual dari hasil pertanian. Sementara itu, sebagian besar hasil harga jual justru dinikmati oleh pedagang yang berhubungan langsung dengan pasar.
“Saya baru sadar, di sini beli air harga Rp 2.000, di Papua sana sudah Rp 20.000, ini yang membuat kemiskinan. Sekarang, saya mengerti, kenapa Kementerian Perdagangan keberatan akan hadirnya Indomaret dan Alfamart, karena tujuannya melindungi pengusaha kecil,” jelas Dr Mochtar Riady. (B-ID/BS/jr)