BENDERRAnews, 28/9/17 (Jakarta): Ada pepatah klasih yang tak lekang zaman: “Masa depan adalah misteri”.
Nah, tugas insan manusia ialah bagaimana bersiap menghadapi masa depan tersebut.
“Ini berhubungan dengan apa saja, termasuk dalam hal penataan suatu kota. Ini tak bisa instan. Upaya perencanaan saat ini akan berdampak pada masa mendatang, entah hitungan bulan, tahun, maupun abad,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia (REI), Soelaeman Soemawinata memiliki pandangan tersendiri mengenai idealnya sebuah kota masa depan tersebut.
Hal senada diungkapkan pakar teknik dan hukum lingkungan jebolan Universitas Indonesia (UI, Dr Ferol Warouw, yang melihat, kolaborasi Pemerintah (Puat dan Daerah) dengan para investor (Pengembang/pelaku industri prooperti, Red) serta dunia perbankan untuk membangun kota-kota ‘cerdas’, kota modern lebih manusiawi, di Indonesia patut terus digencarkan.
“Kita memang sudah sedikit terlambat. Tetapi ide ke arah itu terus berkecamuk, termasuk di lingkungan para akademisi. Nah, kawan-kawan akademisi berbagai latar, dan terutama ahli perencanaan kota juga harus ‘nimbrung’,” tuturnya kepada Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’, Kamis (28/9/17).
“Kami melihat, apa yang kini telah terjadi di kawasan-kawasan kota baru seperti BSD, Alam Sutra, Lippo Karawaci, Sumarecon Serpong di koridor barat Jakarta, lalu kini berkembang pesat pula di koridor timur Jakarta di antaranya yang paling ideal kini, yakni rencana membangun ‘smart and modern city’ Meikarta, patut mendapat atensi. Ini positif, jangan dihambat dengan alasan-alasan macam-macam, apalagi hanya karena urusan birokrasi”.
Kombinasi kebijakan
Disebutnya lagi, khusus bagi Indonesia, harus ada kombinasi antara mengejar pembangunan kota-kota yang ideal seperti itu, dengan kebutuhan memenuhi defisit rumah rakyat belasan juta, seperti sudah dikalkulasi lewat adanya backlog11,4 juta unit hunian.
“Pemerintah harus berpikir maju untuk membentuk kota-kota ideal dengan mempertimbangkan pula kebutuhan perumahan yang sangat mendesak. Karena rumah itu merupakan hak rakyat,” tegas Ferol Warouw.
Artinya, jangan ada hambatan-hambatan non ekonomi seperti birokrasi berbelit, yang menjadikan ‘high cost economy’ dan semakin lama kita mengejar ketertingalan akan idealnya kota-kota masa depan, plus pemenuhan backlog hunian.
Dia berharap, bakal semakin banyak kota-kota baru yang bergaya ‘smart city’, ada kehidupan terintegrasi di dalamnya (memperhitungkan posisi hunian dengan tempat kerja maupun arena-arena pendidikan, kesehatan, hiburan, wisata), plus situasi lebih manusia dan miliki ruang-ruang terbuka hijau (artinya sangat mempertimbangkan keseimbangan ekosistem), serta dipenuhi oleh komunitas aneka latar berbasis semangat gotong royong maupun ‘Bhineka Tunggal Ika’ khas Indonesia.
Kejar ketertinggalan
Sementara itu, Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata, menilai, kota masa depan merupakan kota yang direncanakan sedini mungkin. Sehingga tetap bisa dinikmati dengan baik oleh anak cucu generasi mendatang.
“Bisa 100 atau 200 tahun, peradaban kan berjalan terus. Nah, kota-kota yang ada sekarang harus dirancang siap ekspansi,” ujar Eman dalam sesi wawancara khusus dengan KompasProperti, Senin (18/9/17) lalu.
Pria yang akrab disapa Eman ini sepekat dengan Ferol, kota-kota di Indonesia perlu mengejar ketertinggalan dari negara lain dalam hal pembangunan kota. Dengan Singapura, misalnya. Negara tetangga itu kata Eman, memiliki keunggulan dalam hal penggunaan tanah secara efisien.
“Pelajaran yang bisa kita petik dari Singapura adalah semua huniannya vertikal, lebih efisien. Di kita (Indonesia), penduduknya besar dan tanahnya tidak banyak-banyak amat, sehingga harusnya jadi vertikal semua,” tuturnya. (Kota Meikarta pun dirancang antara lain dengan berbasis hunian vertikal di lingkungan kawasan komersial serta industri yang dikepung suasana lingkungan hidup asri lagi manusiwi, Red).
Mengapa demikian? Karena, menurutnya, efisiensi penggunaan tanah itu dipandang berguna agar proporsi lahan terbuka hijau tetap terjaga.
Ia juga mencontohkan kota Tokyo, Jepang, yang mana penduduknya padat, namun terpusat pada satu titik. Di luar titik kepadatan itu, masih tersedia lahan hijau yang luas.
“Future city (kota masa depan) juga terkait bagaimana kita menata ruang hijau. Kita semua butuh oksigen. Jadi, jangan sampai manusianya banyak, tetapi ruang terbukanya kecil. Bisa sesak,” ujar lulusan Institut Teknologi Bandung itu, hal ini juga yang disinggung Ferol Warouw di atas.
Infrastruktur dan kolaborasi
Lebih lanjut, Eman mengatakan, langkah pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur sudah tepat. Itu dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari segi infrastruktur. Hanya saja, ia menekankan, pemerintah perlu merancangnya untuk kebutuhan jangka panjang.
“Mungkin bangun jalan tol lebarnya tidak lagi 50-60 meter, tetapi 100 meter. Seperti misalnya di Tol Jagorawi, sisi-sisi jalannya kan bisa di-extend untuk LRT,” imbuhnya.
Lantas, siapakah yang harus merancang kota masa depan tersebut?
Dikatakannya, pemerintah tak dapat bekerja sendiri untuk menyiapkan suatu kota masa depan. Dibutuhkan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam mewujudkannya, misalnya pihak swasta.
“Karena kebutuhan suatu kota itu banyak sekali. Pemerintah membangun infrastruktur utama dan itu sudah jalan yang tepat. Hanya saja, infrastruktur utama bukan hanya jalan, ambil contoh Trans Sumatera. Baiknya jangan hanya tol, tetapi bisa untuk kereta api. Ada ruangnya dahulu, meskipun tidak dibangun sekarang,” paparnya.
Ke depannya, imbuh Eman, kota-kota di dunia juga akan menuju sebuah kota cerdas (‘smart city’). Hal itu menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah kota di seluruh Indonesia.
“Bicara kota cerdas, bicara juga redistribusi penduduk. Saat ini, penduduk masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, itu harus didistribusikan ke pulau lainnya. Bisa mulai dikembangkan sentra-sentra baru di luar Jakarta,” demikian Eman. (B-KP/jr)