BENDERRAnews, 18/9/17 (Yangon): Panglima Militer Tertinggi Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, menyalahkan warga Rohingya atas krisis yang menyebabkan ratusan ribu orang melarikan diri ke Bangladesh.
Hlaing menyebut Rohingya tidak pernah dianggap kelompok etnis, serta menyalahkan ekstremis karena mencoba membangun satu benteng di negara bagian sebelah utara, Rakhine State.
Tentara di bawah Hlaing disalahkan karena menargetkan warga sipil di Rakhine. Hal itu dibantah militer, sebaliknya mengklaim hanya merespons serangan mematikan dari milisi.
Dalam pesan di media sosial Facebook, Hlaing mendesak warga dan media di Myanmar untuk bersatu atas isu Rohingya.
Upaya terorganisasi
Dia menyatakan operasi militer dimulai setelah 93 kali bentrokan dengan ekstremis Bengalis, yakni merujuk kepada milisi Rohingya, sejak 25 Agustus lalu.
Disebutnya, kekerasan itu merupakan upaya terorganisasi untuk membangun satu benteng di Rakhine State.
“Mereka menuntut pengakuan sebagai Rohingya, yang tidak pernah menjadi sebuah kelompok etnis di Myanmar. Isu Bengali ini adalah penyebab nasional dan kita perlu bersatu untuk membangun kebenaran,” kata Hlaing lewat pesannya di Facebook.
Kekang serangan militer
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah memperingatkan, serangan terhadap Rohingya, yang sebagian besar Muslim, sementara mayoritas 90 perseb warga Myanmar merupakan penganut Buddha, bisa dianggap sebagai pembersihan etnis.
Sekjen PBB, Antonio Guterres, Sabtu (16/9/17) akhir pekan lalu, memperingatkan pemimpin ‘de facto’ Aung San Suu Kyi memiliki kesempatan terakhir untuk mengekang serangan militer sebelum situasi benar-benar menjadi sangat mengerikan.
Milisi menyerang pasukan
Milisi Rohingya melakukan serangan ke pos-pos polisi di Rakhine State pada 25 Agustus lalu sehingga menewaskan 12 pasukan keamanan.
Sejak saat itu, warga Rohingya terus melarikan diri ke Bangladesh demi menghindari tindakan keras militer Myanmar dalam mengejar milisi dengan membakar desa-desa dan menyerang warga sipil.
Dilansir ‘BeritaSatu.com’, pada hari Minggu (17/9/17) kemarin, Guterres mendesak Suu Kyi agar menghentikan serangan di Rakhine.
Disebutnya, situasi di Rakhine jelas menunjukkan, militer Myanmar masih berada di atas angin.
Suu Kyi tidak akan menghadiri Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS), akhir September ini karena masih berkutat dengan situasi di Rakhine. (B-BS/jr)