BENDERRAnews, 11/9/17 (Jakarta): Pihak Kejaksaan Agung mengusulkan agar kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi meniru proses di negara tetangga, Malaysia dan Singapura.
Disebutkan, di dua negara itu, kewenangan menuntut hanya ada pada kejaksaan, sementara lembaga anti-korupsi hanya bertugas menyelidiki dan menyidik.
“Proses pemberantasan korupsi di kedua negara itu pun dinilai jauh lebih efektif”, kata Jaksa Agung M Prasetyo dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (11/9/17).
Ia menjelaskan, ada perbedaan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita dengan lembaga sejenis di Malaysia dan Singapura. Di kedua negara itu, kewenangannya terbatas pada penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi.
“KPK mereka terbatas pada fungsi penyelidikan dan penyidikan saja. Dan meskipun Malaysia memiliki divisi penuntutan, tapi dalam melaksanakan kekuasaan, harus ada izin dari jaksa agung Malaysia,” kata Prasetyo.
Disebutkan, dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki, lembaga pemberantasan korupsi bersama Kejaksaan dan Kepolisian di kedua negara itu, ternyata mampu menciptakan pemberantasan korupsi yang cukup efektif.
IPK lebih baik
Buktinya, Indeks Pemberantasan Korupsi (IPK) kedua negara itu jauh lebih baik dari Indonesia. Pada 2016, Malaysia mendapat skor 49 dengan peringkat 55, Singapura mendapat skor 84 dengan peringkat tujuh dari 170-an negara yang disurvei.
Meskipun penindakan kasus korupsi melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilaksanakan di Indonesia terasa gaduh dan hingar bingar, namun menurut Prasetyo, IPK Indonesia tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Pada 2016, Indonesia hanya mendapat skor 37 dengan peringkat 90.
Yang perlu dicermati, lanjutnya, bahwa Kejaksaan Agung, baik di Singapura dan Malaysia, merupakan institusi yang berwenang menentukan dapat tidaknya suatu perkara ditingkatkan ke tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan. Hal itu adalah perwujudan sistem universal penuntutan tunggal yang berlaku di setiap negara.
Diakui dia, pihaknya pernah mencoba belajar dan berkomunikasi dengan pihak Singapura dan Malaysia. Dan aparat di kedua negara itu sama-sama mengatakan bahwa lembaga apapun yang diberi kewenangan luar biasa besar, tanpa batas dan tanpa kontrol, cenderung sewenang-wenang dan merasa benar sendiri.
“Dan merasa tidak dapat disentuh, dan tidak boleh dipersalahkan. Ini disampaikan oleh mereka,” katanya lagi seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’.
Dikatakan, baik di Malaysia maupun Singapura, praktik penegakan hukum berjalan harmonis, tidak saling bersaing, apalagi menjatuhkan. Maka Prasetyo menilai, sudah saatnya dan selayaknya semua belajar dari Singapura dan Malaysia, sebab praktik di negara itu dalam jangka panjang dinilai akan lebih berhasil, efektif dan efisien.
“Memang di sana penegakan dan pencegahan tidak banyak populer, tidak banyak dilihat, karena jauh dari hiruk-pikuk,” kata Jaksa Agung M Prasetyo. (B-BS/jr)