BENDERRAnews, 5/9/17 (Jakarta): Ketika Theo L Sambuaga dipercayakan sebagai Menteri Perumahan Rakyat di akhir dekade 1990-an, total rakyat Indonesia yang belum memiliki rumah baru mencapai tiga juta KK.
Bayangkan, di dua dekade kemudian, Pemerintah mengungkapkan, ada sekitar 13 hingga 15 juta KK warga negara Indonesia belum memiliki rumah. Sebuah lonjakan drastis, yakni sebesar lima kali lipat.
“Dulu, kami menjawabnya dengan kebijakan (Pemerintah) mempercepat pembangunan 100.000 rumah per tahun, sedangkan para pengembang juga menyatakan tekad ketika itu mencapai 500.000 unit,” ujar Theo Sambuaga kepada Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’, di Jakarta, Senin (4/9/17) kemarin.
Kini, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, untuk menjawab adanya back log 11,7 hingga 11.8 juta unit rumah, atau guna memenuhi kebutuhan akan rumah bagi 13 sampai 15 juta (sesuai data di atas, Red), digencarkan program “Sejuta Rumah” per tahun.
Pertanyaannya, bisakah ini cuma dibebankan kepada Pemerintah? Akankah pemerataan kepemilikan rumah demi keadilan sosial (sila ke-l5 Pancasila, Red) itu dapat tercapai dalam lima tahun kabinet sekarang?
…….. (data lainnya sedang dikompilasi dari beberapa sumber……sabar yakh admin ??? dan Pembaca yang budiman ??? ….
(Bila ada maskan, silah dikirim…. ke jr2509@yahoo.com atau WA 085210251958 dengan menyebut nama dan sumber resmi, tq)
Prof Ernie Tisnawati, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, mengungkapkan, saat ini terdapat 3,1 juta keluarga memiliki rumah lebih dari satu.
“Namun ironisnya, ada 11,8 juta keluarga lainnya justru tidak memiliki rumah sama sekali,” katanya, di Bandung, Sabtu (26/8/17) akhir pekan lalu.
Secara terpisah, terkait adanya ‘backlog’ 11,7 hingga 11,8 juta unit tersebut, Dr Ferol Warouw, pakar ekonomi dan teknik lingkungan jebolan Universitas Indonesia (UI), juga hasil kajian Institut Studi Nusantara (ISN) menyimpulkan, konsep pemukiman vertikal merupakan salah satu solusi terbaik guna mengatasi sangat tingginya kelangkaan hunian layak dan terjangkau bagi rakyat.
“Ini (hunian vertikal, Red) harus digencarkan, karena backlog rumah di Indonesia sekarang mencapai 11,7 juta unit. Selain relatif bisa ramah lingkungan, juga tidak terlalu merusak ekosistem, serta dapat menghasilkan kualitas hunian lebih baik serta harganya terjangkau rakyat,” katanya kepada Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’ di Jakarta, Rabu (30/8/17) malam.
Sementara Prof Erni dalam analisisinya mengatakan, perlu adanya sebuah strategi kolaborasi antarelemen berbasis Pentahelix, yakni kolaborasi antara Akademisi, Pemerintah, Corporate, Komunitas dan Media demi mewujudkan rencana Pemerintah membangun satu juta rumah murah.
Tegasnya, demikian Prof Erni, ini bukan cuma urusan Pemerintah, tapi juga para Akademisi, kalangan Komunitas dan Media, serta yang sangat penting di ujung tombaknya, ialah kalangan Korporasi punya peran strategis.
Guru besar ini mewakili kalangan akademisi pada acara yang digelar Program Studi Doktor Ilmu Manajemen (DIM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran (Unpad), bertajuk “Doctorate Business Issue Forum (Dorbis) Executive Forum 2017” berupa Seminar Nasional dan Pameran Property dengan tema “Property Untuk Kemajuan Bangsa, Strategi Mencapai Satu Juta Rumah” di Kampus Unpad, Dipatiukur, Bandung.
Satu juta rumah
Pemerintah memang telah mencanangkan program satu juta rumah pertahun. Namun belum terealisasi secara maksimal.
Dilaporkan, pada tahun 2015 lalu capaiannya hanya sekitar 699.770 unit.
Kemudian, pada tahun 2016 baru terbangun 805.169 rumah. Sedangkan pada tahun ini pun masih terjadi kekurangan sekitar 541.000 rumah.
Menyikapi hal tersebutlah sehingga Program Studi DIM FEB Unpad menggelar forum akademik ini dengan menghadirkan para pembicara masing-masing, Guru Besar FEB Unpad, Prof Ernie Tisnawati (mewakili pihak Akademisi), Staff Ahli Menpupera Bidang Kemitraan dan Hubungan Antar Lembaga Kementerian Perumahan Rakyat, Pangihutan Marpaung (mewakili Pemerintah), Direktur Utama PT Danaro, Tigor Haposan dan Pemimpin Divisi KPR & KKB Bank BJB, Agus Kurniawan, Wasekjen Real Estate Indonesia (REI) Herry Sulistyono (semuanya mewakili Korporasi serta Komunitas), lalu Wartawan Senior Kompas, Dedi Muhtadi (mewakili Media).
Bangun rumah murah
Prof Ernie dalam Seminar itu selain menyinggung tentang terdapatnya 3,1 juta keluarga memiliki rumah lebih dari satu dan 11,8 juta keluarga lainnya justru tidak memiliki rumah sama sekali, juga menekankan perlunya sebuah strategi kolaborasi antarelemen berbasis Pentahelix. Yakni kolaborasi antara Akademisi, Pemerintah, Corporate, Komunitas dan Media demi mewujudkan rencana Pemerintah membangun satu juta rumah murah.
“Pembangunan perumahan merupakan urusan yang sulit dan juga rumit. Tidak bisa diselesaikan hanya dengan membagi urusan dan tidak ada lembaga yang bisa menanganinya sendirian, oleh karenanya beberapa pihak harus berkolaborasi, dan harus ada sistem yang mengatur kolaborasi tersebut,” ujar Prof Ernie.
Sementara itu, Staf Ahli Menpupera, Pangihutan Marpaung, menyebutkan, konklusi dari diskusi ini akan menjadi masukan yang sangat berharga bagi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kempupera).
“Kebetulan kita juga sedang menyusun program tahun 2018, harapan saya masukan-masukan dari diskusi ini dapat tertampung dan tertuang dalam program tahun depan,” ujarnya.
Dalam Seminar tersebut juga diramaikan oleh puluhan booth Pameran Properti dan Pendukungnya yang tampak ramai dikunjungi oleh masyarakat dan peserta seminar.
“Rencananya, hasil dari diskusi ini berupa masukan dari Akademisi, REI, dari pihak Pengusaha Properti dan Perbankan akan dirangkum dalam sebuah buku, dan akan diserahkan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan diharapkan akan dapat membantu pemerintah khususnya Kementerian PUPR untuk dapat mewujudkan Program Satu Juta Rumah tersebut,” ujar Kaprodi DIM FEB Unpad, Sulaeman Nidar.
Acara ini, tambah Sulaeman, merupakan bentuk tangung jawab sosial dari Prodi DIM Unpad dalam memberikan sumbangsih pemikiran berkaitan dengan topik-topik kekinian.
“Dorbis ini kami lakukan minimal tiga kali dalam setahun, selanjutnya akan dilaksanakan kembali pada bulan november tentunya dengan membahas topik-topik yang sedang sedang berkembang di masyarakat,” demikian Sulaeman Nidar, seperti dikutip ‘BeritaSatu.com’
Konsep hunian vertikal
Sebagaimana telah disinggung sekilas di atas, secara terpisah, Dr Ferol Warouw, pakar ekonomi dan teknik lingkungan jebolan Universitas Indonesia, juga hasil kajian Institut Studi Nusantara (ISN) menyimpulkan, konsep pemukiman vertikal merupakan salah satu solusi terbaik guna mengatasi sangat tingginya kelangkaan hunian layak dan terjangkau bagi rakyat.
Ia berpendapat, hunian vertikal harus digencarkan, karena backlog rumah di Indonesia sekarang mencapai 11,7 juta unit. Selain relatif bisa ramah lingkungan, juga tidak terlalu merusak ekosistem, serta dapat menghasilkan kualitas hunian lebih baik serta harganya terjangkau rakyat.
Sementara itu, Institut Studi Nusantara (ISN) dalam diskusi terbatasnya terkait “Menemukan Solusi Pemenuhan Hak Rakyat atas Hunian Terjangkau’ jilid satu, akhir Agustus 2017 antara lain menyimpulkan, adanya ‘backlog’ 11,7 juta rumah di Indonesia jangan dijawab dengan sikap arogansi kebijakan dan bisnis melalui prnghancuran ekosistem
“Seyogianya, ‘backlog’ 11,7 juta rumah jangan sampai menciptakan masalah lain, yaitu kelaparan karena lahan pertanian di-‘occupy’, juga pemborosan karena polusi kemacetan. Jadi, konsep hunian vertikal yang hemat tanah, ramah lingkungan karena tidak membongkar-bangkir daerah-daerah penyanggah ekosistem dan kawasan resapan air, juga pengembangan pemukiman teritori (kota mandiri) yang terintegrasi (‘mixed used’), merupakan sebuah pilihan bijak ke masa depan, dimana total penduduk kita memasuki angka 300 juta-an dan butuh hunian,” demikian simpulan umum ISN, sebuah lrmbaga kajian yang didukung DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP).
Atasi sempitnya lahan
Ferol menunjuk dua faktor utama yang menjadikan konsep hunian vertikal sebagai salah satu solusi terbaik dalam rangka pemenuhan hak hunian layak terjangkau bagi rakyat Indonesia, dimana kini masih butuh 11,7 juta unit.
Pertama, menurutnya, ini mengatasi masalah semakin sempitnya lahan untuk dibongkar-bangkir bagi kepentingan lain, kecuali harus dilestarikan sebagai kawasan penyanggah lingkungan.
“Coba kalau sistem rumah deret, atau yang berkonstruksi berhalaman, dikali aja berapa juta hektar harus disiapkan untuk 11,7 juta unit sebagai kebutuhan minimal hunian yang harus dipenuhi,” bebernya.
Kedua, lanjutnya, kalau pun ada lahan yang bisa diolah untuk pemukiman model konvensional seperti di atas, kountur tanahnya berbukit-bukit, atau curam, bahkan sebagian merupakan kawasan penyangah atau untuk cadangan air. “Yang bila dikelola, bakal memicu bencana,” tuturnya.
Pemanfaatan tanah terlantar
Dalam waktu dekat, pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berencana merilis tiga Peraturan Menteri atau Permen terkait perizinan, tata ruang, dan cadangan lahan atau land bank untuk mengakomodir tren pembangunan saat ini.
Direktur Jenderal Pengendalian Ruang dan Pemanfaatan Lahan Kementerian ATR Budi Situmorang mengatakan dalam regulasi baru nantinya pemerintah akan lebih detail mengatur persoalan pembangunan dengan kondisi terbaru di lapangan.
Tak hanya itu, Permen juga akan mengatur tahapan sanksi yang tegas bagi pengembang yang melakukan penyelewengan dari rencana proyek awal.
Sejumlah proyek baru berkaitan dengan transportasi maupun infrastruktur serta pembangunan konsep transit oriented development atau TOD menjadi acuan dalam penerbitan regulasi tersebut.
“Pemerintah ini kan hanya berupaya melakukan pembangunan secara tertib, tidak hanya profit seperti menjalankan usaha. Jadi regulasi baru guna penyesuaian metode pembangunan saat ini sangat dibutuhkan,” katanya, (23/8/17), seperti dikutip ‘Bisnis.com’.
Masuk Biro Kepresidenan
Meski tak mau membahas secara detail soal isi beleid baru itu, Budi memastikan saat ini rancangannya sudah masuk di Biro Kepresidenan. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan untuk penyesuaian dengan lembaga dan pemerintahan terkait lainnya.
Budi menuturkan pada prinsipnya untuk perizinan dan penggunaan ruang pemerintah akan meninjau dan menyaring hal apa saja yang harus dipangkas atau digabung menjadi satu.
Adapun, tentang bank tanah pemerintah akan menjabarkan lebih detail termasuk di dalamnya skema pemanfaatan tanah telantar. (S-BC/jr)
Mudah dan murah
Mengambil contoh beberapa kota di banyak negara padat penduduk, seperti India, Brazil, juga Tiongkok, bahkan Jepang, Ferol Warouw memaparkan, pemukiman di sana sudah sejak tiga hingga lima dekade lalu memilih konsep hunian vertikal, dari tipe rumah susun sederhana, ‘flat’, apartemen hingga yang mewah (kondominium).
“Kita di Indonesia sesungguhnya tidak ketinggalan. Hanya saja, para pengembang sering masih bingung berhadapan dengan patron birokrasi yang belum melihat atau berorientasi mencari solusi bagi adanya kompleks hunian layak terjangkau,” katanya lagi.
“Padahal, inilah (rumah vertikal, Red) yang sangat efisien dan murah dibangun dan mudah dikontrol dari berbagai aspek. Apakah itu penggunaan sumberdaya, lahan, juga penyediaan berbagai fasilitas pemukiman, dari air bersih, energi, juga kebutuhan kaum milenial seperti IT, ‘shopping’, rumah sakit, sekolah dan seterusnya, yang ada dalam satu blok,” ujarnya sembari menunjuk sejumlah konsep Kota Modern di Indonesia.
Misi penuhi kebutuhan papan
Kini tercatat setidaknya delapan juta warga Indonesia yang punya pekerjaan dan gaji, tetapi tidak punya hunian layak. Sementara BPS mengekspos, defisit rumah kini mencapai 11,4 juta unit.
Padahal, hak memperoleh hunian layak dan terjangkau, merupakan salah satu perjuangan kita bersama untuk memenuhi kedaulatan rakyat Indonesia secara utuh, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Nah, belajar dari pengalaman sebagai pengembang yang punya reputasi internasional, Lippo Group mengembangkan megaproyek Mekarta di kawasan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi.
Kawasan pemukiman kota modern dengan infrastruktur terlengkap di Asia Tenggara ini, diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengurangi defisit hunian.
CEO Lippo Group James Riady menyatakan, Meikarta akan melengkapi pengembangan koridor timur Jakarta yang saat ini terus menggeliat.
Selaras dengan hal tersebut, megaproyek dengan invetasi Rp278 triliun ini akan berkontribusi menentaskan defisit hunian di Indonesia.
Adanya jumlah defisit yang dihimpun dari Badan Pusat Statistika (BPS) sebanyak 11,4 juta unit tidak mungkin selesai di tangan para pengembang swasta saja.
“Sekarang ada delapan juta masyarakat yang punya pekerjaan dan gaji tetapi tidak memiliki rumah. Tiap tahun REI saja yang digebuki untuk menyelesaikan backlog, ini yang salah,” katanya saat peluncuran Meikarta, Kamis (17/8).
Butuh dinamika baru
Industri perumahan ini, menurut James, sedang membutuhkan dinamika baru. Namun, sebenarnya tidak perlu dengan menelurkan ide atau gagasan baru untuk dilakukan dalam jangka pendek.
James menilai, Indonesia memiliki banyak contoh negara jiran yang sukses dalam program penyediaan rumah terjangkau untuk masyarakatnya. Tidak perlu melihat Tiongkok atau Singapura bahkan di Nepal dan Myanmar saja harga properti secara umum sudah dua kali lipat dibanding di Indonesia.
Lippo Group, lanjutnya, juga mendulang untung yang baik di negara-negara tersebut. James mengaku dirinya baru saja meresmikan Rumah Sakit Siloam yang keempat di Myanmar.
“Untuk itu, di Indonesia dibutuhkan gerakan serta pentolan-pentolan properti turut serta menyelesaikan pembangunan yang merata. Kalau tidak, kita tinggal tunggu saja masyarakat marah karena tidak bisa punya rumah,” tutur James seperti dilansir ‘Bisnis.com’.
Misi jawab persoalan
James melanjutkan Meikarta hadir dengan misi menjawab persoalan sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan papan. Proyek skala kota ini akan terhubung langsung dengan enam fasilitas infrastruktur pemerintah yang rerata rampung pada 2019 – 2020 mendatang.
Sehingga, akses masyarakat menuju Meikarta dipastikan akan mudah baik melalui transportasi umum seperti LRT Jabodetabek dan Kereta Cepat Jakarta – Bandung, atau jalur tol elevated Jakarta – Cikampek.
Tak hanya itu, proyek ini juga akan mudah dijangkau dari perencanaan Bandara Internasional Kertajati maupun Pelabuhan Patimban. (S-BC/jr)
Terintegrasi berbasis ‘tower’
Apa yang disorot Ferol Warouw ini sesunguhnya kini bisa kita nikmati di kawasan BSD oleh ‘Sinar Mas Land’, atau PIK 1 dan 2 (Agung Podomoro), Sumarecon di Kelapa Gading maupun Serpong, Lippo Group di Karawaci (Lippo Karawaci) juga Lippo Cikarang, lalu kini ada Kota Meikarta.
Ini semua merupakan bentuk-bentuk hunian terintegrasi dengan berbasis adanya ‘tower-tower’ pemukiman vertikal.
Selain itu, ada tambahan manfaat lain seperti pernah dinyatakan oleh sejumlah pengembang tersohor dan senior seperti Tjiputra serta Mochtar Riady. Yakni di kawasan terintegrasi yang berbentuk ‘integrated superblok’, atau juga oleh Lippo Group disebut ‘mixed used’, mobilitas demografi berlangsung secara dinamis dalam satu kawasan saja.
Artinya, jauh dari akan terjadinya kemacetan dan lalulintas yang amburadul, pelayanan kesehatan sulit dijangkau (karena ada dalam blok itu, Red), juga sistem keamanan dan kenyamanan relatif lebih baik, termasuk dalam upaya mengatasi banjir, masalah sampah dan seterusnya bisa diantisipasi lebih terkoordinasi.
Ruang banyak fungsi
Satu hal lagi yang kini semakin jadi tren dan berkembang bahkan cenderung disukai para warga perkotaan, ialah konsep hunian smart interior minimalis.
Sebab, bagi masyarakat perkotaan besar yang memiliki hunian dengan luas tanah terbatas, konsep smart interior dapat menjadi solusi.
Misalnya saja, dalam sebuah ruangan dapat menjadi tiga hingga empat fungsi.
Tidaklah mengherankan, jika semakin banyak saja pengembang menawarkan bagaimana menyatukan ruang makan, ruang tidur, ruang keluarga, dan ruang bersantai dengan konsep minimalis.
Kenapa? Karena konsep hunian minimalis memang sangat dibutuhkan terutama bagi para pemilik tipe vertikal studio yang sangat terbatas luasnya. Salah satu yang bisa dilakukan, misalnya, fungsi dari kasur bisa digunakan pula secara maksimal menjadi lemari, sofa, hingga meja makan.
Primadona kaum urban
Seperti pernah diulas ‘Suara Pembaruan’, perkembangan akan properti menjamur bagi kaum urban megapolitan Jabodetabek.
Selain harganya yang murah dan lokasi strategis, perkembangan properti dengan konsep smart interior minimalis tumbuh subur.
Sehingga, konsep hunian smart interior kemudian menjadi kebutuhan menarik. Apalagi dalam satu ‘tower’ apartemen setidaknya tipe studio menjadi primadona bagi kaum muda eksekutif yang belum menikah.
Agaknya, tren ini akan terus berlangsung dalam dasawarsa ke depan, karena dua hal tadi: faktor lahan terbatas, dan kekhawatiran mengelola tanah sebagai ‘arsip’ air’ atau penyanggah eko sistem.
Dua praktisi bisnis dan pemerhati properti di Jakarta, Teddy Sanjaya serta Dadiet Waspodo, sama-sama menilai, tipe hunian ‘smart interior’ minimalis berbasis hunian vertikal solusi pemerataan kebutuhan hunian rakyat
“Saya melihat, saat ini semakin jadi tren dan berkembang, malahan hal ini kian jadi kesukaan orang kota, yakni, konsep hunian smart interior minimalis,” kata Teddy Sanjaya, dalam bincang-bincang santai dengan Tim ‘SOLUSSInews’ dan ‘BENDERRAnews’ di Jakarta bagian Selatan, belum lama berselang.
Ia menilai, dengan kondisi lahan atau luas tanah serba terbatas, masyarakat perkotaan cenderung menjadikan konsep smart interior sebagai alternatif bahkan solusi untuk memiliki rumah layak.
Dalam konsep hunian tersebut, menurutnya, bisa saja dalam satu ruang sudah tersedia sejumlah fungsi bagi keluarga. “Bisa sampai tiga atau bahkan empat funsi,” katanya lagi.
Karena itulah, Dadiet Waspodo secara terpisah mengatakan, tidaklah mengherankan, jika semakin banyak saja pengembang menawarkan bagaimana menyatukan ruang makan, ruang tidur, ruang keluarga, dan ruang bersantai dengan konsep minimalis.
“Dan konsep hunian ini berbasis pemukiman vertikal seperti rumah susun, apartemen dan sejenisnya,” ujarnya.
Sebab, menurutnya, konsep hunian minimalis memang sangat dibutuhkan terutama bagi para pemilik tipe vertikal studio yang sangat terbatas luasnya.
“Salah satu yang bisa dilakukan, misalnya, fungsi dari kasur bisa digunakan pula secara maksimal menjadi lemari, sofa, hingga meja makan,” tuturnya.
Kebutuhan kaum urban
Harian ‘Suara Pembaruan’ pernah mengulas perkembangan akan properti yang menjamur bagi kaum urban megapolitan Jabodetabek.
Ditemukan, selain harganya yang murah dan lokasi strategis, perkembangan properti dengan konsep smart interior minimalis begitu diburu kaum urban tersebut. Dan karenanya, tumbuh subur.
Apa artinya itu? Konsep hunian smart interior kemudian menjadi kebutuhan menarik. Apalagi dalam satu ‘tower’ apartemen setidaknya tipe studio menjadi primadona bagi kaum muda eksekutif yang belum menikah.
Agaknya, tren ini akan terus berlangsung dalam dasawarsa ke depan, karena dua faktor: Pertama, faktor lahan terbatas, dan kedua, kekhawatiran mengelola tanah sebagai ‘arsip’ air’ atau penyanggah eko sistem.
Tipe minimalis vertikal
Dua praktisi bisnis dan pemerhati properti di Jakarta, Teddy Sanjaya serta Dadiet Waspodo, sama-sama menilai, tipe hunian ‘smart interior’ minimalis berbasis hunian vertikal solusi pemerataan kebutuhan hunian rakyat
“Saya melihat, saat ini semakin jadi tren dan berkembang, malahan hal ini kian jadi kesukaan orang kota, yakni, konsep hunian smart interior minimalis,” kata Teddy Sanjaya, dalam bincang-bincang santai dengan Tim ‘SOLUSSInews’ dan ‘BENDERRAnews’ di Jakarta bagian Selatan, belum lama berselang.
Ia menilai, dengan kondisi lahan atau luas tanah serba terbatas, masyarakat perkotaan cenderung menjadikan konsep smart interior sebagai alternatif bahkan solusi untuk memiliki rumah layak.
Dalam konsep hunian tersebut, menurutnya, bisa saja dalam satu ruang sudah tersedia sejumlah fungsi bagi keluarga. “Bisa sampai tiga atau bahkan empat funsi,” katanya lagi.
Karena itulah, Dadiet Waspodo secara terpisah mengatakan, tidaklah mengherankan, jika semakin banyak saja pengembang menawarkan bagaimana menyatukan ruang makan, ruang tidur, ruang keluarga, dan ruang bersantai dengan konsep minimalis.
“Dan konsep hunian ini berbasis pemukiman vertikal seperti rumah susun, apartemen dan sejenisnya,” ujarnya.
Sebab, menurutnya, konsep hunian minimalis memang sangat dibutuhkan terutama bagi para pemilik tipe vertikal studio yang sangat terbatas luasnya.
“Salah satu yang bisa dilakukan, misalnya, fungsi dari kasur bisa digunakan pula secara maksimal menjadi lemari, sofa, hingga meja makan,” tuturnya.
Kebutuhan kaum urban
Harian ‘Suara Pembaruan’ pernah mengulas perkembangan akan properti yang menjamur bagi kaum urban megapolitan Jabodetabek.
Ditemukan, selain harganya yang murah dan lokasi strategis, perkembangan properti dengan konsep smart interior minimalis begitu diburu kaum urban tersebut. Dan karenanya, tumbuh subur.
Apa artinya itu? Konsep hunian smart interior kemudian menjadi kebutuhan menarik. Apalagi dalam satu ‘tower’ apartemen setidaknya tipe studio menjadi primadona bagi kaum muda eksekutif yang belum menikah.
Agaknya, tren ini akan terus berlangsung dalam dasawarsa ke depan, karena dua faktor: Pertama, faktor lahan terbatas, dan kedua, kekhawatiran mengelola tanah sebagai ‘arsip’ air’ atau penyanggah eko sistem.
Solusi pemukiman vertikal
Sementara itu, Dr Ferol Warouw, pakar ekonomi dan teknik lingkungan jebolan Universitas Indonesia menilai, konsep pemukiman vertikal merupakan salah satu solusi terbaik guna mengatasi sangat tingginya kelangkaan hunian layak dan terjangkau bagi rakyat.
“Ini (hunian vertikal, Red) harus digencarkan, karena backlog rumah di Indonesia sekarang mencapai 11,7 juta unit. Selain relatif bisa ramah lingkungan, juga tidak terlalu merusak ekosistem, serta dapat menghasilkan kualitas hunian lebih baik serta harganya terjangkau rakyat,” katanya kepada Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’ di Jakarta, Rabu (30/8/17) malam.
Ferol menunjuk dua faktor utama yang menjadikan konsep hunian vertikal sebagai salah satu solusi terbaik dalam rangka pemenuhan hak hunian layak terjangkau bagi rakyat Indonesia, dimana kini masih butuh 11,7 juta unit.
Pertama, menurutnya, ini mengatasi masalah semakin sempitnya lahan untuk dibongkar-bangkir bagi kepentingan lain, kecuali harus dilestarikan sebagai kawasan penyanggah lingkungan.
“Coba kalau sistem rumah deret, atau yang berkonstruksi berhalaman, dikali aja berapa juta hektar harus disiapkan untuk 11,7 juta unit sebagai kebutuhan minimal hunian yang harus dipenuhi,” bebernya.
Kedua, lanjutnya, kalau pun ada lahan yang bisa diolah untuk pemukiman model konvensional seperti di atas, kountur tanahnya berbukit-bukit, atau curam, bahkan sebagian merupakan kawasan penyangah atau untuk cadangan air. “Yang bila dikelola, bakal memicu bencana,” tuturnya.
Hadir atasi ‘backlog’
Nah, dari pemikiran di atas, sesungguhnya apa yang kini tengah dilakukan pihak pengembang Kota Meikarta, merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kurangnya hunian bagi masyarakat di Indonesia.
Artinya, Meikarta hadir untuk ikut atasi backlog rumah di Indonesia ini mencapai 11,7 juta unit.
“Iya, Meikarta mencoba hadir untuk mendukung pemerintah dalam menyediakan hunian untuk rakyat. Kami juga meluncurkan Meikarta di tengah kondisi pasar properti yang sedang lesu. Dengan demikian, Meikarta menjadi sebuah gebrakan besar di industri properti,” ujar ‘Vice President and Head of Corporate Communication’ PT Lippo Karawaci Tbk, Danang Kemayan Jati.
Mengenai kesuksesan pemasaran Meikarta, Danang menjelaskan perusahaan memakai strategi yang jitu untuk memasarkan hunian di kawasan tersebut.
“Kami menjual properti tidak setengah-setengah. Kami mencatatkan penjualan hampir 120.000 unit dalam empat bulan pemasaran atau sejak Mei 2017,” katanya.
Inovasi baru properti
Danang Kemayan Jati juga menyebutkan, Meikarta merupakan inovasi baru di dunia properti.
Kota modern yang berada di jantung ekonomi Indonesia di koridor Jakarta-Bandung ini juga menjadi solusi bagi masyarakat untuk memiliki hunian dengan harga terjangkau.
“Ini solusi di tengah tingginya permintaan rumah murah. Banyak masyarakat yang sudah bekerja dan memiliki penghasilan, namun belum bisa membeli rumah. Meikarta akan menjadi solusinya, karena kami memasarkan hunian terjangkau dengan harga mulai dari Rp127 juta per unit,” kata Danang.
Sebelumnya, Chief Marketing Officer (CMO) Lippo Homes, Jopy Rusli mengatakan kota modern Meikarta juga berada di pusat kawasan industri yang besar.
Kawasan itu memiliki sekitar 4.000 perusahaan multinasional dengan jumlah ekspatriat berkisar 12.000-15.000 orang yang hampir semuanya bekerja di kawasan industri Cikarang.
“Kota Baru Meikarta ini merupakan wujud dari keinginan membuat kawasan hunian yang nyaman dan aman bagi penghuninya, dengan fasilitas lengkap,” kata Jopy Rusli.
Proyek kota baru Meikarta senilai Rp278 tiliun itu dibangun di atas lahan seluas 500 hektare (ha) di kawasan Lippo Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Visi Meikarta ialah menjadi kota paling besar dan paling indah di Indonesia untuk kehidupan dan pekerjaan yang lebih baik, bahkan lebih baik daripada Jakarta.
‘Imej’ dan ikon
Berhasil membangun ‘imej’ sebagai ikon properti nasional dan simbol kota baru modern dengan dukungan infrastruktur terlengkap, menjadikan Meikarta langsung diburu ratusan ribu peminat sejak di-‘soft launching’ awal Mei 2017.
Antusiasme konsumen yang kini tiap hari antre mendapatkan unit-unit hunian menarik lagi terjangkau, jelas tak terlepas pula dari kepiawaian Tim Marketing Meikarta dalam membuat aneka gebrakan yang inovatif.
Sosok pebisnis sekaliber Hary Tanoesoedibjo pun termasuk di antara para pesohor negeri yang mengagumi dan memuji konsep Meikarta ini.
Tak pelak lagi, siasat dan cara marketing Meikarta kemudian mendapat pengakuan dan pujian dari salah satu koran ‘mainstream’ nasional, Koran Sindo, salah satu media milik grup Hary Tanoe.
Ya, tersebutlah PT Mahkota Sentosa Utama yang membangun Meikarta–kota mandiri baru dengan total investasi Rp278 triliun–meraih penghargaan dalam ajang “Apresiasi Inovasi untuk Negeri” oleh Koran Sindo.
Pasalnya, hanya dalam empat bulan pemasaran atau sejak Mei 2017, kota yang dirancang lebih indah dari Jakarta itu berhasil mencatatkan penjualan hampir 120.000 unit apartemen.
Diinformasikan, proyek terbesar Lippo Group yang berlokasi di Cikarang, Kabupaten Bekasi, tersebut mendapat penghargaan untuk kategori “Inovasi Pemasaran”.
Rumah untuk semua
Dari amatan di lapangan, Meikarta akan menjadi sebuah kawasan residensial yang bisa dihuni semua kalangan masyarakat aneka latar dengan berbagai lapisan sosial dan ekonomi.
Meikarta akan dilengkapi berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang didukung oleh akses infrastruktur yang lengkap dan baik.
Misalnya juga Central Park atau taman di tengah Meikarta juga merupakan inovasi terbaru bagi sebuah lingkungan tempat tinggal. Pihak korporasi pun bertekad terus mengembangkan Meikarta menjadi suatu kota baru yang nyaman bagi semua strata masyarakat.
Tegasnya, Meikarta hadir untuk semua. “Memberi dan melayani bagi banyak orang”. (Jeffrey Rawis, dari berbagai sumber — foto ilustrasi istimewa)
Definisi
Rumah Susun adalah Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam satu Iingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
Rusuna (Rumah Susun Sederhana) adalah Rumah Susun yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke·bawah.
Sarusun (Satuan Rumah Susun) adalah Unit Hunian Rumah Susun yang dihubungkan dan mempunyai akses ke selasar/ koridor/ lobi danlantai lainnya dalam bangunan rumah susun, serta akses ke Iingkungan dan jalan umum.
Masyarakat berpenghasilan menengah bawahdan berpenghasilan rendah adalah Kelompok sasaran keluarga/ rumah tangga termasuk perorangan baik yang berpenghasilan tetap maupun tidak tetap, belum memiliki satuan rumah susun sederhana, belum pernah menerima subsidi satuan rumah susun sederhana dengan berpenghasilan sampai dengan Rp 4.500.000,00 per bulan.
KLB (Koefisien Lantai Bangunan) adalah angka perbandingan jumlah luas lantai seluruh bangunan terhadap luas tanah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana kota.
KDH (Koefisien Dasar Hijau) adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan jumlah luas lahan terbuka untuk penanaman tanaman dan/ atau peresapan air terhadap luas daerah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana kota.
Batasan Koefisien Dasar Hijau adalah suatu nilai hasil pengurangan antara luas Daerah Perencanaan dengan luas proyeksi tapak bangunan dan tapak besmen dibagi luas Daerah Perencanaan.
Lingkungan dengan KDB rendah adalah lingkungan dengan tapak bangunan pada lantai dasar maksimal sebesar 20% dari daerah perencanaan.
Insentif dan/ atau kemudahan perizinan adalah Pemberian dari Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada perusahaan pembangunan perumahan di bidang rumah susun sederhana dalam bentuk antara lain penyediaan sarana, prasarana, pemberian bantuan teknis dan fasilitas, keringanan biaya dan kemudahan dalam memperoleh izin pembangunan rumah susun sederhana.