BENDERRAnews, 10/8/17 (Jakarta): Tudingan adanya sikap diktator dan otoriter terhadap Presiden Joko Widodo ditepis berbagai kalangan, di antaranya DPP GPPMP, ‘Setara Institute’ dan ‘Exposit Strategic’.
Secara terpisah, ketiga pihak ini menilai, tudingan tersebut mengada-ada. “Ini halusinasi atas sesuatu yang tak berdasar fakta dari elite yang mulai frustrasi, karena tidak lagi mendapat celah kesalahan, atau tidak tahu lagi apa yang kurang dan bisa dibusukkan atas rezim sekarang,” tulis Ketua Umum DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP), sebagaimana dirilis melalui Wasekjen, Irwan ‘Opo’ Lalegit, di Jakarta, Kamis (10/8/17).
Sama dengan pernilaian Setara Institute, DPP GPPMP sama sekali tidak melihat pemerintahan Jokowi sebagai rezim diktator.
“Sebaliknya, kita bisa saksikan saat ini, berbagai rambu dan prosedur demokrasi masih berjalan secara normal. Proses ‘check and ballance’ sebagaimana dalam teori kekuasaan yang demokratis berjalan dinamis. Pers, Parpol, Ormas, LSM dan kekuatan-kekuatan budaya, agama, daerah, pemuda, perempuan dan seterusnya termasuk militer, dunia usaha, perguruan tinggi beriringan dalam koridor negara kebangsaan berdasarkan Pancasila,” tulisnya.
Ketua Tim Satkersus DPP GPPMP, Hencky Luntungan dan Sekjen DPP GPPMP, Teddy Matheos pun menimpali dengan menyatakan, publik tetap menikmati kehidupan bersama dalam ‘rumah kekeluargaan Pancasila’.
“Tegasnya, inilah rezim yang beri makna hidup bagi warganya, termasuk yang di pinggiran (sesuai konsep ‘nawacita’, Red), bukan cuma di sentra kekuasaan, untuk bebas menikmati serta berkreasi bagi kehidupan lebih baik, sesuai cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Nyata benar bedanya dengan rezim 70-an hingga 90-an yang ditumbangkan gerakan reformasi,” papar Ketum DPP GPPMP, Jeffrey Rawis.
Jaminan kebebasan
Dan kebebasan untuk berekspresi ini benar-benar dijamin.
“Secara umum kebebasan sipil dan politik masih bisa dinikmati. Sejumlah UU juga memberikan jaminan kebebasan. Sementara seluruh mekanisme kontrol atas tindakan pemerintah juga workable. Jadi indikator-indikator diktatorisme tidak terpenuhi,” kata Ketua Setara Institute, Hendardi di Jakarta, Rabu (9/8/17) kemarin.
Ia melihat anggapan Jokowi sebagai diktator merupakan pandangan politik kelompok yang tidak mendukung pemerintah. Tuduhan itu bukan penilaian obyektif ketatanegaraan.
“Kalaupun Jokowi mengambil tindakan-tindakan yang dianggap cermin diktatorisme, tindakan tersebut bisa dikoreksi melalui mekanisme yang tersedia,” ujar Hendardi.
Tudingan berlebihan
Di tempat terpisah, analis pada Exposit Strategic, Arif Susanto, menilai tudingan Presiden Jokowi itu diktator, berlebihan.
Faktanya, tidak terjadi pembungkaman kritik, penutupan media, pemberangusan oposisi, atau tindakan-tindakan yang menihilkan hukum. Sejauh ini, tidak pula terdapat indikasi bahwa pemerintahan dijalankan secara autokratik dengan kekuasaan memusat tanpa batas di tangan seorang pemimpin.
“Di semua negara demokratis, pemimpin mungkin saja mengambil kebijakan yang keliru dan pemerintahannya tidak berjalan sebaik yang diharapkan. Namun, selama kebijakan tersebut masih bisa dikritisi publik, terlalu jauh untuk menyatakan pemerintahan tersebut sebagai suatu kediktatoran. Kritik publik masih mungkin menjadi penyeimbang kekuasaan dan alat kontrol untuk perbaikan kebijakan,” kata Arif.
Ia merasa aneh, karena tudingan Jokowi sebagai diktator justru muncul dari cuitan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Pertama, sebagai bagian dari pemimpin lembaga legislatif, Fadli sendiri masih bebas untuk menjalankan kontrol kekuasaan Presiden. Kedua, tudingan tersebut disampaikan melalui media sosial, bukan forum resmi kelembagaan. Ketiga, karena tudingan tidak pernah menuntut verifikasi, ini tidak lebih dari suatu intrik dengan maksud tersembunyi di belakangnya.
“Berkaca dari tudingan tersebut, bukan hanya harus meningkatkan kinerja pemerintahan, istana patut menimbang pandangan-pandangan yang berbeda sebelum mengambil suatu kebijakan. Hal ini jauh lebih baik ketimbang bersikap reaksioner terhadap insinuasi oleh lawan politik. Lebih lanjut, pemerintah tidak boleh mengijonkan masa depan negara dengan mengakomodasi kekuatan jahat dalam politik nasional,” kunci Arif Susanto. (B-SP/BS-jr — foto ilustrasi istimewa)