BENDERRAnews, 9/8/17 (Jakarta): Pemerintah Pusat jangan terus membangun dan menerapkan dualisme kewenangan di Batam. Situasi ini sangat kontraproduktif dengan idealisme awal Batam dibangun, yang punya target spektakuler, antara lain menjadi ‘Menara Kembar’ (bersama Singapura) di Selat Malaka, alur pelayaran global teramai sejagat.
Demikian buku ‘Menjahit Laut Yang Robek: Paradigma Archipelago State Indonesia” (Jeffrey Rawis, 2004) dan “Batam: Komitmen Setengah Hati” (Jeffrey Rawis, Freddy Roeroe dkk, 2003).
Nah, di tengah gesekan kewenangan antara Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dengan Pemerintah Kota Batam dalam mengelola Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) atau Batam Free Trade Zone (FTZ), Pemerintah Pusat didesak mengembalikan Batam ke cita-cita awal. Yaitu sebagai kawasan industri untuk teknologi tinggi yang mampu bersaing di kawasan Asia Pasifik.
Hal itu ditegaskan secara terpisah oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati dalam acara diskusi kelompok terfokus (FGD) “Quo Vadis Batam” yang digelar di Jakarta, Selasa (8/8/17) kemarin, juga analisis Institut Studi Nusantara (ISN) dengan berbasis pada dua buku di atas.
“Sesuai amanat UU No.44 Tahun 2007, wewenang BP Batam sebagai pengelola Kawasan Batam, Rempang, dan Galang (Barelang) yang merupakan kawasan perdagangan bebas (FTZ) harus dipertegas. Wewenang dan tupoksi instansi lain yang terkait dengan pengembangan FTZ Batam dapat dilakukan dalam satu lembaga saja yakni BP Batam,” ungkap Enny.
UU No 44 Tahun 2007, yang sejalan dengan Keppres No 41 Tahun 1973, menugaskan BP Batam untuk mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industri, kegiatan transshipment (pengalih-kapalan), merencanakan dan mengusahakan kebutuhan prasarana dan fasilitas Batam, serta mengelola perizinan investasi.
Aturan yang sama juga memberi wewenang kepada BP Batam yang meliputi tiga aspek, yakni pertanahan (termasuk hak pengelolaan, peruntukan, penggunaan atas tanah dan menerima uang wajib tahunan atas tanah), pengembangan dan pengelolaan infrastruktur, dan pelayanan investasi.
Tidak mulus
Namun dalam prakteknya, tugas dan kewenangan tersebut tidak berjalan dengan mulus akibat munculnya “dua nahkoda” dalam pengelolaan kawasan tersebut. Yakni BP Batam dan Pemkot Batam.
Deputi BP Batam bidang Pelayanan Umum, Gusmardi, mengungkapkan, dengan adanya UU tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (UU No 44 Tahun 2007) yang menjadi dasar BP Batam dan UU Pemerintah Daerah (UU No 23 Tahun 2014) yang menjadi pegangan pemerintah kota, gesekan-gesekan antara kewenangan BP Batam dengan Pemerintah kota tidak terelakkan.
“Ini adalah kecelakaan sejarah yang dimulai dari munculnya otonomi daerah. Pemerintah nampaknya lupa mengecualikan Batam dari kebijakan otonomi daerah, padahal sejak awal Batam didesain menjadi daerah industri untuk teknologi tinggi,” kata Gusmardi.
Padahal, masih menurut Gusmardi, tidak ada satupun aturan perundangan, peraturan pemerintah, dan perpres yang membatalkan kewenangan BP Batam.
Bahkan, khusus untuk perizinan usaha, dibentuk lembaga pelayanan terpadu di bawah BP Batam sesuai Perpres No 97 Tahun 2014. Aturan ini dengan tegas menyatakan penyelenggaraan pengurusan perizinan dan non perizinan mulai dari yang menjadi urusan pemerintah, pemprov, pemkot di kawasan FTZ, diselenggarakan oleh BP Batam.
Masalah turunan
Sementara itu, Kepala BP Batam, Hatanto Reksodipoetro menyatakan, konsekuensi dari perundangan yang belum mendukung tugas dan kewenangan BP Batam ialah munculnya masalah turunan. Seperti permasalahan lahan, termasuk masalah spekulan tanah dan maraknya lahan tidur yang mencapai 7.700 hektar, bahkan ada yang 28 tahun dibiarkan.
Belum lagi jumlah industri berteknologi menengah rendah yang mencapai 78 persen dari 715 industri yang saat ini ada di Batam. Sementara jumlah industri berteknologi tinggi hanya tujuh persen. Hal ini jauh dari cita-cita awal Batam sebagai pusat industri teknologi tinggi.
Dikatakannya, dalam kurun waktu 15-20 tahun terakhir, banyak penyimpangan yang terjadi di Batam, antara lain pengalokasian lahan tanpa melihat tujuan penggunaan dan tujuan pengembangan wilayah.
Selain itu, ditemukan pula pengalokasian lahan yang didasarkan pada kepentingan tertentu sehingga terjadi tumpang tindih dan perizinan diberikan tanpa prosedur yang berlaku demi mendapatkan dukungan untuk kepentingan tertentu.
Tidak hanya itu, Batam yang didapuk menjadi kawasan industri ternyata sebagian besar dari 45 ribu hektar wilayahnya justru menjadi daerah pemukiman (28,3 persen), jauh di atas luas kawasan industri yang hanya mencakup 16,6 persen luas wilayah.
“Batam saat ini mengalami disorientasi arah pembangunan akibat aturan perundangan yang belum mendukung kewenangan BP Batam. Kita harus back to basic, mengembalikan Batam sebagai kawasan industri untuk kepentingan nasional, bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu semata,” tandas Hatanto.
Status FTZ
Terkait wacana mengubah Batam dari Kawasan Perdagangan Bebas (FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Enny menegaskan, status FTZ tetap dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional.
Sebab, manfaat FTZ jauh lebih besar daripada KEK, terutama dari sisi perpajakan, daya saing (kemudahan berinvestasi, ekspor dan biaya logistik), serta penerimaan devisa.
“Yang dibutuhkan saat ini adalah revitalisasi FTZ dengan menambah insentif untuk meningkatkan daya saing, bukan mengubahnya menjadi KEK. FTZ berorientasi pada kepentingan nasional yang berdampak pada pembangunan daerah, sementara KEK hanya efektif menyelesaikan permasalahan kelembagaan dan berorientasi pada daerah,” kata Enny seperti dilansir ‘Investor Daily’.
Ia juga menegaskan, polemik Batam harus diakhiri dan semua pihak harus mencapai kesepakatan dengan melihat best practices di kawasan FTZ yang telah berhasil seperti di Shenzhen, Tiongkok dan Iskandar/IRDA di Malaysia.
FTZ seharusnya dikelola langsung oleh pemerintah pusat melalui orang-orang profesional dan berintegritas. Keistimewaan ini diyakini Enny Sri Hartati mampu membuat Batam kembali ke tujuan awal untuk menjadi kawasan industri yang kompetitif dan dapat menjawab permintaan pasar, sehingga dapat bersaing di Asia Pasifik. (B-ID/BS/jr)