Dikatakan, sembilan buku untuk calon wirausaha tersebut di antaranya di bidang usaha kriya batik, kriya keramik, kriya perak, ‘fashion’ muslim, kuliner soto, ‘game digital’, studio animasi, studio musik, dan pengembangan aplikasi digital.
“Dari 2,5 juta pekerja pendatang baru, sekitar 20 persen atau 25.000 pekerja masuk ke bidang ekonomi kreatif. Jadi, tenaga kerja di bidang ini merupakan yang paling banyak dibanding bidang lainnya. Sehingga, buku panduan ini sangat dibutuhkan. Sementara, 83 persen pengusaha yang bergerak di bidang ini belum memiliki izin badan usaha,” kata Ricky, di sela acara peluncuran buku oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tersebut.
Sementara iti, Kepala Pusat Pengembangan Kewirausahaan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNS, Eddy Tri Haryanto MP, menambahkan, terdapat sejumlah masalah yang dihadapi oleh pelaku usaha bidang ekonomi kreatif, di antaranya ekosistem tidak mendukung, akses permodalan, dan marketing.
“Pelaku usaha sangat membutuhkan ekosistem yang mendukung untuk kemajuan bisnisnya. Kalau tidak, mereka akan berjalan sendiri-sendiri dan susah majunya,” kata Eddy.
Masalah pemasaran juga diakui oleh pengusaha Soto Lamongan, Mas Bukin. Walaupun sekarang zaman media sosial (Medsos), kata dia, tidak semua pelaku usaha bisa memanfaatkannya untuk keperluan marketing.
“Apalagi umumnya untuk pelaku usaha yang usianya di atas 40 tahun sudah malas belajar,” kata Sekjen Asosiasi pengusaha Kuliner Indonesia (Apkulindo) yang menawarkan waralaba untuk Soto Lamongan Mas Bukin dengan harga mulai Rp25 juta ini, sebagaimana diberitakan ‘Investor Daily’.
Buku panduan ini dibuat selengkap dan sederhana mungkin. Mulai dari peluang usaha, permodalan, manajemen produksi dan SDM, keuangan dan pemasaran hingga legalitas dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), serta dikemas menjadi sebuah referensi yang mudah dimengerti dan diterapkan. (B-ID/BS/jr)