BENDERRAnews, 30/7/17 (Jakarta): Di tengah tudingan segelintir partai, justru mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jimly Asshiddiqie mengatakan, ambang batas atau ‘threshold’, baik parlemen maupun calon presiden bukanlah persoalan konstitusional atau tidak.
Tetapi, menurut Jimly yang juga mantan Ketua MK, ini persoalan kesepakatan. Hal itu lazim disebut ‘open legal policy’.
Jimly pun menilai, persoalan ‘threshold’ sudah berkali-kali diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai ‘open legal policy’.
“Threshold ini kan sudah berkali-kali diputuskan di MK dan dinyatakan sebagai open legal policy atau kebijakan terbuka pembuat UU asalkan besarannya tidak berlebihan sehingga tidak mengganggu pesan-pesan konstitusional,” ujar Jimly di Jakarta, Sabtu (29/7/17) akhir pekan lalu.
Jimly juga menilai, ‘threshold’ (termasuk ‘Presidential Threshold’) merupakan rekayasa konstitusional untuk melakukan perbaikan dan konsolidasi demokrasi.
‘Threshold’ tersebut, kata dia, jangan terlalu tinggi, karena bisa menghambat demokrasi. Tapi juga jangan terlalu kecil, karena akan menghambat konsolidasi demokrasi.
“Jadi ‘threshold’ ini bukan persoalan konstitusionalitas, tetapi rekayasa konstitusional agar memperkuat demokrasi dan konsolidasinya. Makanya, jangan terlalu tinggi atau terlalalu rendah angkanya karena dia bisa menjadi konstitusional,” jelasnya.
Jimly mencontoh angka ‘Presidential Threshold’ (Pres-T) 50 persen merupakan angka yang tidak konstitusional, karena desain Pemilu Presiden kita bisa dua putaran. Pres-T 50 persen bisa memunculkan calon presiden tunggal.
“Bagaimana dengan Pres-T 20 persen? Yah, kita sudah pernah terapkan itu, dan tidak terjadi calon presiden tunggal, masih bisa muncul dua atau tiga pasangan calon. Jadi dia masih konstitusional,” ungkap dia.
Angka Pres-T 20-25 persen, menurut Jimly memang masih terlalu tinggi. Dia sebetulnya mengusulkan sebelumnya Pres-T 10 persen, sehingga tetap menjamin munculnya banyak calon presiden dan memperkuat konsolidasi demokrasi.
“Tetapi, ini sudah diputuskan 20-25 persen. Kita tunggu saja hasil uji materi di Mahkamah Konstitusi sebagaimana mekanisme konstitusional untuk memastikan konstitusionalitasnya. Apapun yang diputuskan MK, kita harus menerimanya. Namun, saya berharap MK memperhatikan pertimbangan-pertimbangan dan putusan MK terdahulu terkait threshold ini, dengan mengaitkan dengan konteks kekinian,” jelasnya.
Jangan diubah terus
Lebih lanjut, Mantan Ketua MK ini mengusulkan agar tidak mengubah UU Pemilu setiap kali ada pemilu atau setiap 5 tahun sekali. Menurut dia, hal tidak sehat bagi perkembangan demokrasi.
“Saya justru mengusulkan agar UU Pemilu tidak boleh diubah sampai 10 tahun ataupun kalau diubah sekarang, berlakunya tidak untuk Pemilu berikut ini atau Pemilu 2019, tetapi untuk Pemilu berikutnya lagi,” tambahnya.
Jimly mengakui, banyak kepentingan di dalam UU Pemilu. Khususnya kepentingan partai politik. Sehingga, dalam membahas dan merumuskan serta memutuskan UU Pemilu, pasti para pembuat UU akan memperhatikan kepentingan politiknya masing-masing.
“Setiap pihak ini kan mempunyai kepentingan masing-masing di UU Pemilu dan cara berpikirnya pasti memikirkan kelompok atau partainya. Karena itu, untuk menghindari tegangan antara kelompok partai, maka sebaiknya UU berlaku 10 tahun ke depan atau tidak langsung berlaku untuk pemilu sekarang, tetapi untuk pemilu berikutnya lagi,” demikian Jimly.
Kekalahan politik
Sementara itu, Partai Golkar (PG) menyayangkan pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang kembali menyinggung ambang batas pemilihan presiden atau Presidential Threshold (Prest-T) dari aspek konstitusional.
Sudah seharusnya masalah itu tidak perlu disinggung lagi, karena sudah diputuskan di Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika tidak puas, tinggal mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kekalahan politik di DPR seharusnya diterima dengan lapang dada dan tidak perlu disinggung-singgung sebagai bentuk tipu-tipu rakyat. Pak SBY kan mantan presiden dua periode yang waktu itu dipilih dengan adanya ambang batas presiden. Juga dengan Pak Prabowo pernah mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wapres dengan persyaratan ambang batas,” kata Wakil Sekjen PG, Ace Hasan Syadzily di Jakarta, Sabtu (29/7/17).
Ia menjelaskan, keputusan politik memang kadang belum tentu dapat memuasa0kan semua pihak. Seharusnya keduanya sebagai tokoh bangsa harus menunjukkan sikap kenegarawanan. Jangan karena kalah dalam voting lalu menggagap hasilnya tidak sesuai keinginan rakyat.
“Terimalah hasil keputusan UU Pemilu tersebut dan jika tidak puas ya biarkan masyarakat mengajukan judicial review ke MK. Itu biasa terjadi,” ujar anggota Komisi II DPR ini, seperti dikutip ‘Suara Pembaruan”.
Disebutnya, yang harus dilakukan para elit politik bangsa saat ini adalah bagaimana menindaklanjuti UU politik ini untuk diterjemahkan ke dalam Pileg dan Pilpres yang berkualitas. Misalnya, jika dimungkinkan dari sekarang mencari format koalisi yang dapat memperkuat sistem presidensial. Atau melakukan rekruitmen calon anggota legislatif lebih baik.
“Jangan cengeng. Jadi tokoh politik harus dewasa. Sebuah keputusan politik harus diterima dengan lapang dada,” demikian Ace Hasan Syadzily. (B-SP/BS/jr)